Pabrik Bahagia

Ariyanto
Chapter #34

Batas Kesabaran

 Hari ini Dharma ikut aku ke kantor karena kebetulan istriku ada keperluan dengan temannya, jadi tidak bisa menjaga bocah itu. Biasanya memang pagi aku jemput dan kubawa ke rumah, lalu sore kupulangkan. Kondisi Bu Waginah, Emaknya Satya, mengalami kemajuan yang luar biasa. Sudah mulai bisa ke kamar mandi sendiri dengan menggunakan alat bantu jalan. Meskipun agak riskan memulangkan Dharma kepada Emaknya Satya, tetapi kami tak punya pilihan lain.

Melihat kemajuan Emaknya Satya, aku meminta Mbak Wiwik yang selama ini membantu merawatnya di rumah, supaya datang agak siang sekitar pukul 10.00 WIB, sehingga bisa pulang lebih sore lagi, misalnya Maghrib. Ini karena aku sudah datang ke rumah mereka pukul 08.00 WIB, sekalian kubawakan sarapan, lalu menjemput Dharma, sehingga praktis tidak banyak pekerjaan di rumah Emaknya Satya. Lepas pukul 17.00 WIB, sambil pulang ke kantor aku antar Dharma balik. Kalau di rumah dengan Nia, maka Nia yang akan mengantarnya. Biasanya, sehabis Maghrib anak itu sudah kecapekan lalu tertidur. Sehingga tidak merepotkan Emaknya Satya pada malam hari.

Hari ini Dharma bersamaku di kantor. Bagiku tidak masalah, karena Dharma adalah bocah yang tidak merepotkan. Cukup dibekali mainan, maka dia akan diam. Seperti yang terlihat saat ini, dia duduk di lantai di pojokan ruang kerjaku, sambil bermain mobil-mobilan yang dibelikan Nia.

Usianya sudah 5 tahun, seharusnya Dharma sudah sekolah TK. Tetapi sang nenek tak memiliki biaya untuk menyekolahkannya, karena bahkan untuk makan pun mepet. Aku dan Nia berpikir untuk menitipkannya sementara di TK di yayasan tempat teman Nia bekerja. Selain membantunya mengenal sekolah, juga membuatnya senang karena bisa bertemu teman-teman baru. Kami baru merencanakan akan melakukan ini sambil melihat perkembangan lebih jauh kasus Satya. Kami tidak mungkin langsung mengambil alih kehidupan anak itu meskipun itu berguna bagi dirinya. Faktanya, dia bukan anak kami.

Telepon di mejaku berbunyi. Kuraih gagang telepon, “Ya..?’

“Bapak ada telepon, mau langsung bicara dengan Bapak,” kata Asti dari lantai bawah.

“Oke, sambungkan...”

“Haloo...” terdengar suara berat di ujung telepon.

“Selamat siang, ada yang bisa saya bantu, Pak?” jawabku sopan.

“Ada. Kamu...jauhi urusan kami. Atau kami akan menghabisimu...menghabisi istri...kalau perlu keponakanmu dan pembantumu.”

Aku terkesiap. Jantungku mendadak berdebar kencang. Seperti tidak percaya dengan apa yang baru saja aku dengar, “Maksudnya apa? Kamu siapa?”

“Tak perlu kamu tahu siapa aku. Kamu hanya perlu tahu, tindakan apa yang selanjutnya bisa aku lakukan kepadamu dan keluargamu!”

“Hoooi...bajingan kamu ya....kamu yang selama ini menteror keluargaku? Pengecut! Datang ke sini temui aku!” emosiku langsung meningkat. Terdengar tawa di ujung telepon.

“Aku akan membuat kerusakan secara pelan-pelan. Tapi aku pastikan sakitnya akan  luar biasa. Selama kamu tidak menghentikan apa yang kamu lakukan...kamu tahu, aku tidak pernah main-main!”

“Setaaaan!” kulempar gagang telepon ke lantai. Aku sudah tak mampu menahan diri. Pesawat telepon itu pecah di lantai. Dharma yang duduk di pojok ruang kerjaku langsung terlonjak kaget, berbalik menghadapku, lalu pelan-pelan memundurkan badannya, menatapku dengan takut, lalu menangis keras.

Dengan masih emosi dan berusaha mengendalikannya, buru-buru kurangkul anak itu. Kupeluk erat, kubenamkan kepalanya di bahuku. Kuusap-usap kepalanya. Tangisnya tak berhenti.

“Maaf...maaf. Dharma, Om minta maaf...itu tadi nggak sengaja teleponnya jatuh kena tangan Om,” kugendong bocah laki-laki itu, kupandangi wajahnya.

“Nggak apa-apa, Dharma. Itu tadi Om nggak sengaja, oke?” kupandang kedua bola mata bocah itu, lalu kucium pipinya. Kuusap-usap lagi kepalanya. Tangisnya masih belum berhenti, tapi tak sekeras sebelumnya.

“Takuuut...” bocah itu berkata lirih di sela isak tangisnya. Aku merasa sangat bersalah. Aku tidak sadar kalau Dharma ada di ruangan bersamaku, karena memang selama ini aku terbiasa sendirian di dalam ruangan. Itu tadi emosi yang spontan meledak tanpa bisa kukontrol. Aku terus berusaha menenangkan bocah itu.

Lihat selengkapnya