Elmo ditangkap semalam saat hendak menuju ke Bandara Soekarno Hatta dalam upaya melarikan diri. Entah aku harus berbahagia atau aku harus bersedih mendengar berita itu. Aku tidak bereaksi berlebihan saat Dimas datang ke rumahku dan menyampaikan berita itu. Pandanganku justru tertuju kepada Dharma, anak Satya yang saat itu dipangku oleh istriku.
Bagiku, penangkapan Elmo serupa harapan bagi Dharma. Karena hal itu akan membuka peluang bagi Satya untuk lepas dari jerat kasus penyelundupan narkoba itu. Aku sangat berharap bukti-bukti tambahan yang kami upayakan dan kami serahkan ke polisi bisa mewujudkan kebebasan Satya. Tetapi kata Dimas, itu bukan soal mudah mengingat Satya tertangkap tangan dengan lebih dari 100 kilogram ganja kering di mobilnya. Aku hanya berdoa semoga hukuman bagi Satya tidak akan maksimal, termasuk tidak sampai hukuman mati.
“Aku harus ke Jakarta untuk bertemu dengan Elmo. Please, Dim ... usahakan dan atur pertemuan itu untukku,” pintaku kepada Dimas.
“Aku tidak janji, Ka. Lagi pula baru semalem lho ditangkepnya. Mungkin Selasa atau Rabu, coba kuusahakan. Kamu yakin mau terbang ke Jakarta? Lagi?” Dimas seperti meragukan kemauanku.
Aku menggangguk dengan tegas. Aku akan menyelesaikannya segera. Selesai semua persoalan, pun kalau harus selesai juga persahabatan. Tak masalah, tak ada tangis, tak boleh terluka. Hidup selalu sama, manusianya yang berubah. Aku, Elmo dan Satya harus berbesar hati menerima bahwa kami sudah berubah dengan segala konsekuensinya. Tidak bisa lagi kami terjebak pada masa lalu yang indah, meskipun melupakannya bukan hal yang mudah pula.
The good old days. Terbayang lagi bagaimana masa lalu kami yang indah. Di angkatan kami, siapa yang meragukan persahabatan antara Deka, Elmo dan Satya. Lalu berkelebatan lagi banyak hal-hal baik yang pernah Elmo berikan kepadaku dan Satya. Aku masih ingat satu-satunya ulang tahun dalam hidupku yang dirayakan. Bukan oleh kedua orangtuaku, tetapi oleh Elmo. Elmo yang mengatur kejutan bagiku bahkan dibela-belain bolos dari sekolah dan merencanakan sesuatu yang gila. Itu adalah sejarah dalam hidupku, karena bahkan hingga kini aku tidak pernah merayakan ulang tahun.
Lihat bagaimana Elmo, remaja tanggung yang selalu berani mengambil inisiatif untuk melindungi kami sahabatanya. Aku tidak pernah bisa melupakan bagaimana Elmo menonjok temannya Dimas karena menghinaku sebagai maling saat itu. Aku seperti melihat Elmo merasakan sakit hati yang sama dengan sakit hati yang kurasakan saat mereka mengolok-olokku sebagai maling. Aku juga tidak akan pernah lupa apa yang telah dilakukan Elmo kepada Satya. Dialah penolong Satya dan Emaknya dari jerat rentenir. Anak sekecil itu sudah memiliki jiwa mengayomi. Di luar itu semua, dia telah banyak melakukan banyak hal lain demi sahabatnya.
Aku memang tak lagi mengenakan gelang tali paracord yang dibuat Elmo sebagai penanda persahabatan kami. Tapi aku masih menyimpannya baik-baik. Meskipun terlihat lucu bila mengingatnya, bahwa kami mengucap ikrar akan menjaga persahabatan selamanya, menjaga satu sama lain selamanya, tetapi sejujurnya dalam lubuk hatiku yang terdalam waktu itu, aku ingin ikrar kami menjadi nyata. Tetapi lihat yang terjadi sekarang, kami bahkan saling menyakiti satu sama lain.
“I’m so sorry, Ka,” Dimas memandangku dengan perasaan iba. Dia tahu benar hatiku terluka dengan berita penangkapan Elmo itu. Dia tahu benar betapa berartinya Elmo bagiku, sama berartinya Satya bagiku.
“Nggak papa, Dim. Hidup kan kadang memang begitu. Tak selalu indah, tak selalu lempeng. Ini pelajaran bagi kami, bahwa apa yang kita lakukan kadang memiliki konsekuensi-konsekuensi yang tak hanya kita sendiri yang merasakan, tetapi juga orang-orang terdekat kita pun ikut merasakan,” ujarku datar. Aku seperti sudah pada titik nadir. Seolah batu besar di pundakku terangkat, tetapi juga menyisakan lubang menganga di bekasnya.
“Tapi aku harus ke sana, Dim. Lakukan sebisamu untuk mengaturnya.”
**
Ini kemudian seperti sebuah rutinitas. Aku ke Jakarta, ke ruang tahanan Polda Metro Jaya untuk menemui seseorang. Hanya kali ini berbeda orangnya. Elmo duduk di hadapanku dengan pandangan kosong, lurus kepadaku, tetapi seperti menembus tubuhku. Tak ada senyum, tetapi juga seperti tidak ada penyesalan. Meskipun aku tidak menyukurinya, tapi dia masih terlihat tampan dengan baju tahanan warna oranye itu.
“Kamu benar-benar terlibat dengan semua ini?” aku hanya ingin memastikan ada jawaban dari mulut Elmo langsung. Wajah Elmo terlihat kuyu seperti kelelahan. Ada lebam di dekat sudut mata kirinya. Mungkin dia jadi bulan-bulanan saat penangkapan, entahlah.
Elmo mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
“Keluargamu tahu? Papah Mamah? Kakak perempuanmu? Brian?” cecarku.
“Mungkin Brian tahu gue make. Yang lain tidak. Tapi Brian tidak tahu gue ikut mengedarkan,” jawab Elmo setengah berbisik.