Satya menyerahkan perwalian Dharma kepadaku selama dia menjalani masa tahanan. Beruntung Satya ditempatkan di Lapas Narkotika Kelas IIA Cirebon, sehingga tak terlalu jauh dari Solo. Aku dan Nia telah dua kali mengantarkan Dharma untuk mengunjungi Satya di Cirebon. Dharma terlihat dingin saat bertemu dengan ayahnya. Aku sendiri tidak tahu benar bagaimana hubungan bapak dan anak itu sebelumnya. Tetapi yang kulihat sekarang, seperti tidak terlalu banyak ikatan di sana. Satya menampakkan wajah kecewa saat Dharma seperti enggan dipeluknya. Dharma malah beringsut balik badan dan lari kepadaku, memelukku. Itu perasaan yang paling tidak enak, setelah kebebasannya direngut, anaknya pun seolah kurengut juga.
Aku berjanji kepada Satya untuk tidak memisahkan dia dengan anaknya. Aku akan membawa Dharma secara berkala mengunjungi Satya. Aku akan ceritakan selalu kebaikan-kebaikan Bapaknya. Aku bahkan akan merancang skenario sering memberikan hadiah untuk Dharma tetapi atas nama Satya, bukan aku. Aku juga menolak keras saat Emaknya Satya meminta Dharma memanggilku Papah. Bagiku, ayah Dharma adalah Satya.
Iya, Emaknya Satya sudah tahu di mana saat ini Satya berada. Tetapi memang dia belum pernah kuantar menemui anak semata wayangnya itu. Awalnya cukup sulit untuk memberitahukan kondisi Satya sebenarnya kepada Emaknya. Aku khawatir ini akan memperburuk kesehatan Emaknya Satya. Tetapi akan lebih buruk lagi bila Emaknya Satya tahu tentang kasus Satya dari orang lain, atau dari tetangga yang usil.
Secara persuasif aku mencoba membuka rahasia itu. Kuceritakan kepada Emaknya Satya, bahwa Satya adalah orang baik yang dimanfaatkan oleh orang lain untuk mencari keuntungan. Saat Emaknya Satya bertanya siapa orang itu? Aku menjawab tidak tahu. Satya hanya dijebak dan orang itu tidak tertangkap. Aku merasa perlu berbohong untuk kebaikan.
“Itulah kenapa Emak harus sehat dan bersemangat ... kenapa? Karena Satya menunggu Emak menjemputnya nanti saat dia keluar dari tahanan,” kataku kepada wanita itu, yang dijawab dengan isak tangis. Aku berulang berbohong kepadanya tentang Satya yang tidak akan menjalani hukumannya secara penuh. Karena laki-laki baik akan keluar lebih cepat dari penjara. Kuberikan suntikan optimisme pada wanita itu, yang bahkan sebagian besar hanya angin surga.
Aku iba dengan Bu Waginah, Emaknya Satya ini. Aku seperti menemukan sosok ibuku yang sudah meninggal pada wanita itu. Terlebih saat ini aku merawat cucunya. Ibuku kurang beruntung karena keburu meninggal sebelum aku sempat memberikan cucu kepadanya.
Hidup di Solo berangsur-angsur kembali normal. Emaknya Satya dan Dharma tinggal bersama kami dan mengosongkan rumah kontrakannya di Laweyan. Tak ada yang dibawa dari rumah itu kecuali pakaian dan televisi tabung ukuran 14 inch. Kata Emaknya Satya, TV itu satu-satunya harta peninggalan Satya yang masih tersisa. Selain itu, tidak ada barang-barang berharga lainnya. Emaknya Satya menyumbangkan etalase kios, beberapa kursi usang, juga dipan reyot kepada tetangga dan temannya yang mau. Pindah ke rumahku, aku sudah penuhi semua kebutuhan mereka.
Rumahku sekarang ramai. Kami berbahagia.
Selisih tiga bulan sejak Satya divonis, pengadilan untuk Elmo digelar. Aku sudah menawarkan kepada Elmo bahwa Dimas bersedia mendampinginya dalam kasus ini. Tapi Elmo menolak karena tidak mau membebani aku. Tetapi kemudian dia menggunakan alasan bahwa itu adalah “Dimas”, salah satu musuhnya di sekolah. Aku bilang kepadanya, bahwa kami bukan lagi anak kecil yang baperan. Itu tak mampu membuatnya berubah pikiran. Elmo akhirnya menggunakan pengacara yang disediakan Papah dan Mamahnya.
Belakangan aku tahu dari Dimas, bahwa Elmo tidak memiliki dendam apapun kepada Dimas. Hal itu diceritakan Dimas usai persidangan Satya, saat Elmo menjadi saksi yang meringankan Satya. Dimas mengatakan, dirinyalah yang berinisiatif mendatangi Elmo.
“Aku sempat berbincang dengannya sebentar dan menawarkan diri untuk mendampinginya dalam persidangan nanti. Dia tersenyum menyalamiku, lalu membisikkan sesuatu ....” kata Dimas. Pengacara muda itu menggantungkan kalimat sedemikian rupa, entah ingin membuatku penasaran atau dia tak kuasa untuk meneruskannya.
“Apa?” desakku.
“Dia membisikkan kepadaku ... ’Gue berterima kasih sekali atas penawaran elu. Tetapi sebaiknya jangan lu tangani kasus gue karena ini tidak bagus bagi karir lu. Sudah jelas gue bakal kalah karena semua hal memberatkan gue. Elu butuh portofolio bagus buat karir lu.’ ... dia bilang itu,” mimik muka Dimas berubah serius. Aku tercekat menelan ludah.
"Itu sarkas atau?"
“Dia juga mengucapkan terima kasih kepadaku karena telah mendampingi Satya ... kata dia, aku pengacara muda yang hebat dan memiliki masa depan yang cerah,” lanjut Dimas.
“Elmo adalah orang yang baik, Dim. Dia sangat baik kepadaku, kepada Satya. Kalau dia mengatakan itu kepadamu, kupikir itu karena dia benar-benar tulus memujimu," kataku.
“I know, Ka ... I know ... aku melihat ketulusan itu di matanya.Bukan ejekan saat dia bilang bahwa aku butuh portofolio. Memang kenyataannya demikian, jangan mengambil kasus yang jelas-jelas kita akan kalah. Itu yang kerap diomongkan senior-seniorku."
“Sejujurnya aku takut banget Dim. Aku takut kalau apa yang dikatakan Elmo benar, bahwa dia kalah dan akan mendapatkan hukuman maksimal. Aku tidak bisa membayangkan itu,” gumamku. Aku selalu menghindari mengatakan "hukuman mati". Alih-alih mengucapkan itu, aku memilih menggunakan "hukuman maksimal." Entahlah, aku tak sampai hati membicarakan sahabatku sepaket dengan hukuman mati.