Nia mengambil kursi besi yang agak tinggi, lalu meletakkan tepat di tengah rumah tamu yang terlihat berantakan. Dikumpulkannya beberapa balon warna silver juga kertas-kertas perak panjang berjuntai yang ujungnya sudah dipotong seperti pita, menyiapkan double tape, lalu menyuruhku naik ke kursi.
“Minta tolong pasang di sisi tengah. Lalu ujung-ujung kertas perak ini dibikin melengkung empat sisi ya. Lalu balonnya tempel di tengah-tengah,” perintah Nia. Dia mempersiapkan balon-balon lain yang dalamnya sudah diisi potongan kertas kecil-kecil. Balon-balon itu yang akan diletuskan, lalu potongan kertas itu akan menghambur disambut sorak-sorai anak-anak.
“Kuat nih double tape-nya?” tanyaku agak ragu. Aku menaiki kursi lalu mulai mengikuti perintah Nia.
Pagi ini kesibukan terasa di rumahku, karena siang ini adalah perayaan ulang tahun Dharma yang ke-6. Nia sudah menyiapkan kue ulang tahun dengan tema Thomas & Friends, karakter kereta api yang bisa berbicara bernama Thomas, kesukaan Dharma. Nia tentu tidak membuat sendiri, namun memesan secara khusus. Terlihat sekali kue itu bukan kue murahan. Beberapa dekorasi sudah disiapkan Lintang, keponakanku, yang didominasi warna perak. Entah dapat ide dari mana, Dharma tiba-tiba memilih warna perak untuk warna utama dalam ulang tahunnya. Di sudut lain, Budhe Partinah tampak sibuk menata goodie bag untuk tamu undangan yang datang, berisi paket makanan ringan aneka macam plus satu mainan yang disiapkan oleh anak-anak kantorku. Untuk tamu anak perempuan, mainan yang kami pilih adalah boneka cantik berbaju kembang-kembang. Sementara untuk tamu anak laki-laki, mainan yang kami pilih adalah mobil-mobilan lucu. Butuh biaya yang tidak sedikit untuk semua ini, tapi aku senang mewujudkannya untuk Dharma.
Di sudut dalam tampak Emaknya Satya menata snack yang disiapkan di meja khusus dengan piring kecil dari kertas. Topi-topi lucu berbentuk kerucut dengan rumbai-rumbai tergeletak di sisi meja itu. Topi itu akan dibagikan untuk tamu undangan.
“Tang, lagu anak-anak sudah kau siapkan di laptop?” seruku bertanya.
“Sudah, Om...nanti tinggal pasang bluetooth speaker aja, Om,” jawab Lintang sambil masih serius menata dekorasi utama yang akan jadi background tempat Dharma duduk di depan kue ulang tahunnya.
“Mah, Badut sudah dikonfirmasi ulang?”
Nia mengiyakan cepat. Kami memang menyewa badut satu untuk menyemarakkan suasana. Sementara yang menjadi MC nanti adalah Nia sendiri. Sejak masih kuliah, Nia kerap aktif di organisasi dan sering menjadi pembawa acara. Aku sebenarnya tidak ingin Nia menjadi pembawa acara, supaya dia bisa fokus mendampingi Dharma sepanjang acara. Tapi kata Nia tak apa-apa, toh ini bukan acara yang serius, jadi bisa dilakukan sambil ngapain aja.
Enam bulan sejak Dharma kami asuh, acara ulang tahun ini menjadi momentum untuk membahagiakan dia. Sewaktu secara resmi kami menjadi walinya di umurnya 5 tahun 6 bulan, kami menawari Dharma ingin hadiah apa? Dia menggeleng, tak mau hadiah apa-apa. Tapi dari Emaknya Satya alias neneknya Dharma, kami tahu bahwa Dharma ingin suatu hari ulang tahunnya diperingati.
“Gara-garanya ya dia beberapa kali dapat undangan anak-anak di kampung yang ulang tahun. Habis itu dia selalu tanya, apa dia juga bisa ulang tahun seperti mereka?” begitu Emaknya Satya bercerita. Sejak itu kami pun mengatur rencana untuk merayakan ulang tahunnya, yang meskipun tak mewah tapi kami ingin membuatnya berkesan. Ini sekaligus sebagai cara semakin mendekatkan Dharma dengan teman-temannya di TK, yang semuanya kami undang. Ada sekitar 25 anak yang akan datang siang ini.
Tentang sikap Dharma di sekolah, aku lumayan kewalahan soal ini. Dharma menjadi sosok yang sulit sekali bersosialisasi dengan teman-temannya dan cenderung menyendiri. Tetapi di sisi lain, dia bukan anak yang rewel. Dia sangat bersemangat bersekolah, tetapi ketika di sekolah dia jarang berbaur dan bermain dengan anak-anak lain. Ada satu dua anak yang kemudian mendekatinya, mencoba menjadi temannya. Aku merasa Dharma seperti bocah yang tidak pede dan tidak berani bergaul. Itulah kenapa aku ingin di acara ulang tahun ini Dharma merayakan dengan teman-temannya. Aku ingin anak ini merasakan pengalaman bergembira bersama teman, yang aku berharap akan berlanjut di sekolah.
“Mas, sepertinya itu mobilnya Dimas,” celetuk Nia.
Aku keluar ke depan. Kulihat sebuah Grand Livina putih merapat parkir di depan rumahku. Itu memang Dimas. Laki-laki itu tampak terlihat santai dengan kaos polo putih dan celana warna khaki, berjalan menuju ke pintu pagar.
“Selamat pagiii....” serunya begitu melihatku menyambut di teras.
“Pagi. Tumben Minggu pagi datang. Ulang tahun Dharma masih nanti siang, tapi nggak apa-apa kalau mau menunggu,” sambutku.
“Lho...ada acara ulang tahun? Aku kok nggak diundang? Hahaha...” Dimas menyalamiku, lalu mengambil duduk di teras tanpa kuminta. Kutawari dia kopi, tapi laki-laki itu menggeleng.
“Lagi sibuk banget kayaknya?”
“Kerja bakti, buat nanti siang...Dharma hari ini tepat berusia 6 tahun,” kataku. Aku suka sekali mengucapkan ini, karena perasaan memiliki anak dan membahagiakannya adalah perasaan yang tak terlukiskan.
“Masih bisa meminta waktu sebentar?”
Kulihat Dimas, kalimatnya, tone suaranya, berubah. Kali ini lebih serius. Pun wajahnya tak memajang senyum lagi. Aku merasa ada sesuatu yang penting yang akan disampaikannya. Aku pun mengerti, lalu mengangguk cepat. Kututup pintu depan, supaya orang di dalam tahu bahwa aku dan Dimas sedang melakukan pembicaraan serius di teras dan tak ingin ada yang mengganggu. Aku mengambil duduk di kursi, terjeda meja dengan kursi yang diduduki Dimas.
“Apa?”
Dimas terdiam, memandangku lekat-lekat.
“Aku baru menerima kabarnya semalem. Pengajuan grasi Elmo ditolak Presiden,” kata Dimas dengan lugas.