Luna duduk tegap di balik meja kerjanya, menatap layar laptop dengan tatapan tajam. Di hadapannya, beberapa eksekutif perusahaan PT. Kiem Tekstil duduk dengan raut wajah serius. Rapat strategi bisnis baru saja dimulai, dan seperti biasa, Luna selalu memegang kendali.
"Kita harus meningkatkan kualitas bahan baku tanpa mengorbankan biaya produksi," ujar Luna dengan suara tegas. "Saya ingin semua lini produksi tetap berjalan efisien tanpa ada kendala distribusi."
Seorang manajer pemasaran, Pak Aditya, mengangguk dan mencatat sesuatu di tabletnya. "Kami sedang bernegosiasi dengan pemasok baru dari India, Bu Luna. Mereka menawarkan harga lebih murah, tapi kita harus memastikan kualitasnya."
Luna menyandarkan tubuhnya, menautkan jemarinya di atas meja. "Saya ingin laporan rinci sebelum kita menandatangani kontrak. Kualitas tetap jadi prioritas utama. Kiem Tekstil sudah punya reputasi tinggi, dan saya tidak akan mengorbankannya demi harga murah."
Para eksekutif mengangguk setuju. Di dunia bisnis tekstil, nama Kiem Tekstil adalah raksasa. Dan semua itu berkat kepemimpinan Luna yang cerdas dan penuh dedikasi.
Setelah rapat usai, sekretaris pribadinya, Mira, masuk ke ruangan dengan ekspresi ragu. "Bu Luna, Kakek Kiem menelepon. Beliau ingin bertemu malam ini untuk makan malam keluarga."
Luna menghela napas panjang. "Pasti soal jodoh lagi, kan?"
Rina tersenyum simpul. "Sepertinya begitu, Bu. Beliau meminta anda hari ini datang, kalau tidak akan dicoret dari pewaris tunggal."
Luna berdiri dan merapikan jasnya. "Baiklah. Aku akan datang. Tidak ada pilihan lain."
Malam harinya datang memenuhi panggilan kakek, Luna duduk di meja makan besar rumah keluarga Kiem. Bos Kiem, pria tua dengan rambut putih rapi dan mata yang masih tajam meskipun usianya sudah senja, menatap cucunya dengan serius.
"Luna, kamu sudah 28 tahun. Sampai kapan kamu hanya fokus bekerja?" Tanya Kakek Kiem dengan nada penuh wibawa.
Luna meletakkan sendoknya dan menatap sang kakek. "Kakek, aku belum menemukan orang yang tepat. Lagipula, aku masih sibuk membangun perusahaan."
Kakek Kiem menggeleng. "Jangan jadikan pekerjaan sebagai alasan. Kamu harus menikah. Kalau dalam tiga bulan kamu masih sendiri, Kakek yang akan menjodohkanmu."
Luna hampir tersedak. "Apa? Tiga bulan? Itu terlalu cepat, Kek!"
"Kalau kamu tidak mau dijodohkan, buktikan bahwa kamu punya pacar." Kakek Kiem menatapnya tajam, tidak membuka ruang untuk perdebatan.
"Tapi kek, cari pacar itu tidak semudah beli pisang goreng."
"Kakek, tidak mau berdebat, pikirkan apa yang aku omongkan!"
Luna terdiam. Kali ini, ancaman Kakek Kiem bukan main-main.
Setelah makan malam selesai, Luna berjalan ke luar rumah sambil menghubungi Rina sahabatnya.