Malam itu, langit Surabaya tampak cerah, tetapi hati Luna sedang mendung. Setelah hari yang melelahkan di kantor, ia tidak langsung pulang ke apartemen. Sebaliknya, ia mengarahkan mobilnya ke sebuah tempat yang selalu bisa membuatnya merasa lebih tenang di Kafe Cinta.
Begitu mobil mewah hitamnya berhenti di pelataran parkir, Luna keluar dengan langkah mantap. Sepatu hak tingginya beradu dengan lantai batu kafe yang dihiasi lampu-lampu hias redup.
"Nona Luna!" Seru seorang wanita dari dalam kafe bibir tersenyum bahagia.
Luna mengangkat wajah dan tersenyum tipis ketika melihat seorang wanita dengan rambut panjang sebahu melangkah menghampirinya. Wanita itu adalah Niken, pemilik Kafe Cinta sekaligus sahabat Luna sejak kuliah.
"Luna, akhirnya kamu datang juga! Udah lama banget nggak nongkrong di sini," ujar Niken sambil memeluknya sebentar.
Luna terkekeh kecil, "Iya, aku sibuk banget di kantor. Makanya malam ini aku pengin mampir sebentar."
"Kebetulan kafenya nggak terlalu ramai malam ini. Ayo, kita duduk di tempat favoritmu!"
Niken menggandeng tangan Luna dan membawanya ke sudut kafe yang lebih tenang. Meja kayu dengan hiasan lilin kecil di tengahnya memberi suasana hangat dan nyaman.
Setelah duduk, Niken memanggil seorang pelayan. "Kopi hitam favoritnya Luna, sama aku cappuccino, ya!"
"Siap bos," jawab seorang waiters perempuan mengangguk dan segera berlalu.
Niken menatap Luna dengan curiga. "Kayaknya ada sesuatu yang lagi bikin kamu pusing, ya? Aku udah kenal kamu bertahun-tahun, Luna. Kalau kamu sampai mampir ke sini sendirian malam-malam, pasti ada yang lagi bikin kamu stres."
Luna menghela napas panjang. Ia melepaskan blazer-nya dan menyandarkan tubuhnya ke kursi. "Kamu benar, Nik. Aku lagi pusing berat."
Niken menyilangkan tangan di dada. "Coba cerita. Aku siap jadi tempat curhatmu seperti dulu."
Luna menatap temannya sesaat sebelum akhirnya berbicara. "Kamu tahu, aku satu-satunya cucu kakek Kiem, kan?"
Niken mengangguk. "Tentu saja. Semua orang tahu. Bos Kiem itu legenda di dunia bisnis."
"Dan sekarang, dia memaksaku untuk segera menikah."
Mata Niken membesar. "Hah? Serius? Secepat itu?"
"Dia memberiku waktu tiga bulan untuk punya pacar. Kalau nggak, dia sendiri yang akan menjodohkanku dengan seseorang yang bahkan aku nggak kenal," ujar Luna, suaranya terdengar frustrasi.
Niken menatapnya dengan ekspresi antara terkejut dan geli. "Wow… Itu ultimatum yang lumayan gila, sih. Terus kamu gimana?"