Malam itu, suasana di kediaman keluarga Kiem terasa lebih hangat dari biasanya. Ruang makan yang luas dan elegan dihiasi lampu kristal yang berkilauan. Aroma hidangan khas Tionghoa memenuhi ruangan, menambah kesan mewah sekaligus akrab.
Luna menggandeng lengan Adrian, membawanya masuk ke ruang makan di mana keluarga besarnya sudah berkumpul. Semua mata langsung tertuju pada mereka berdua.
"Ah, akhirnya! Luna membawa seseorang!" seru salah satu tante Luna dengan nada menggoda.
Kakek Kiem, pria tua yang masih tampak berwibawa dengan rambut putihnya yang rapi, hanya tersenyum tipis sambil menyesap tehnya. Ia tidak langsung bereaksi, hanya memperhatikan pria yang dibawa cucunya dengan tatapan tajam namun penuh arti.
Luna menarik napas dalam, lalu memperkenalkan Adrian. "Kakek, tante, om, ini Adrian, pacarku."
Adrian melangkah maju, membungkuk sedikit dengan sopan. "Senang bertemu dengan Anda semua. Terima kasih sudah mengundang saya ke makan malam ini."
Kakek Kiem menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Silakan duduk, Nak Adrian."
Mereka pun duduk di kursi masing-masing. Luna di sebelah Adrian, sedangkan Kakek Kiem duduk di kursi utama, mengamati segalanya dengan mata penuh pengamatan.
Makan malam dimulai, dan obrolan pun mengalir. Para tante Luna mulai bertanya-tanya tentang pekerjaan dan latar belakang Adrian.
"Jadi, Adrian, kau bekerja sebagai apa?" tanya Om Herman, kakak tertua ayah Luna.
Adrian dengan tenang meletakkan sumpitnya dan menjawab, "Saya seorang fotografer, Om. Lebih banyak bekerja secara freelance, tapi saya juga sering mengambil proyek besar, seperti pemotretan fashion dan event."
Beberapa anggota keluarga tampak mengangguk-angguk, terkesan dengan jawaban Adrian yang penuh percaya diri.
Tante Vivi menyeringai, "Wah, pasti banyak model cantik yang kau potret, ya? Apa Luna tidak cemburu?"
Luna tersedak sedikit mendengar pertanyaan itu, tapi Adrian hanya tersenyum dan menjawab dengan nada santai, "Luna tahu pekerjaanku. Dia cukup dewasa untuk tidak mudah cemburu. Lagi pula, yang cantik kan cuma Luna di mataku."
Luna melirik Adrian dengan tatapan tajam, tetapi wajahnya justru memerah. Sementara itu, Kakek Kiem yang sejak tadi hanya diam, mulai menunjukkan senyum kecil.
"Menarik," gumam Kakek Kiem pelan.
Ia lalu menatap Adrian lebih dalam, mencoba mencari celah kebohongan. Namun, pria muda ini terlalu tenang dan penuh percaya diri. Tidak ada tanda-tanda gugup atau kepalsuan dalam gerak-geriknya.
"Kau tahu, Adrian," kata Kakek Kiem akhirnya, "keluarga ini sangat melindungi Luna. Kami tidak ingin dia disakiti atau dimanfaatkan. Kau benar-benar serius dengannya?"
Adrian menatap langsung ke mata Kakek Kiem, tanpa sedikit pun keraguan. "Saya tidak akan berani mempermainkan Luna, Kek. Dia wanita luar biasa, dan saya menghormatinya."
Luna terkejut mendengar jawaban Adrian. Bahkan dia sendiri tidak menyangka Adrian bisa berbicara dengan begitu meyakinkan.
Kakek Kiem mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Bagus. Kau pria yang menarik, Adrian. Aku suka caramu berbicara."
Para anggota keluarga lain tampak lega dan mulai menerima kehadiran Adrian. Obrolan semakin mengalir, suasana semakin hangat.
Luna yang awalnya tegang mulai merasa sedikit nyaman. Tapi dalam hati, ia tahu bahwa kakeknya bukan orang yang mudah ditipu.