Ruang keluarga besar Kiem masih dipenuhi suasana hangat setelah makan malam. Kakek Kiem duduk di kursi utamanya, menyesap teh hijau dengan tenang, namun sorot matanya tajam menatap Adrian. Semua anggota keluarga lainnya masih berbincang santai, tetapi Luna tahu—kakeknya sedang menyiapkan sesuatu.
Andrian tetap tenang. Ia sudah bisa menebak bahwa malam ini bukan hanya sekadar perkenalan, tetapi juga ujian dari seorang pria yang sudah makan asam garam kehidupan.
"Jadi, Adrian," Kakek Kiem memulai. "Apa kau benar-benar mencintai Luna?"
Luna yang sedang menyesap minumannya hampir tersedak. Pertanyaan itu terlalu langsung. Ia melirik Andrian dengan sedikit khawatir, tetapi pria itu hanya tersenyum tipis sebelum menjawab.
"Tentu saja, Kakek," jawab Andrian dengan nada yang penuh keyakinan. "Luna adalah wanita yang luar biasa. Saya merasa beruntung bisa berada di sisinya."
Kakek Kiem menyipitkan mata, meneliti ekspresi Adrian.
"Luna ini anak yang keras kepala. Dia mandiri, tidak suka diatur, dan terkadang sulit dikendalikan. Kau yakin bisa menghadapinya?"
Andrian tertawa kecil. "Saya tidak melihatnya sebagai kelemahan, Kakek. Justru itulah yang membuatnya istimewa. Saya suka wanita yang tahu apa yang dia inginkan dan berani mengejarnya."
Luna menatap Andrian. Jawabannya begitu meyakinkan, hampir seperti bukan sandiwara.
Kakek Kiem mengangguk pelan. "Bagus. Tapi, aku penasaran, bagaimana kau bisa bertemu dengan Luna? Seingatku, dia jarang sekali mengenalkan seseorang kepada keluarga."
Andrian tidak sedikit pun gugup. Ia sudah mengantisipasi pertanyaan ini.
"Kami bertemu dalam sebuah acara bisnis," jawabnya tenang. "Saya seorang fotografer dan kebetulan mendapatkan proyek pemotretan untuk perusahaan tekstil. Dari sana, saya mengenalnya dan mulai sering berkomunikasi."
Kakek Kiem mengangkat alisnya. "Seorang fotografer? Bukankah dunia itu penuh ketidakpastian? Apakah kau bisa memberikan kepastian dan keamanan untuk Luna?"
Andrian tetap tersenyum, tetapi kali ini ada sedikit kilatan tajam di matanya. "Pekerjaan saya memang sebagai fotografer, tetapi saya bukan orang yang hidup tanpa rencana, Kakek. Saya tahu bagaimana mengatur hidup saya. Lagi pula, keamanan dan kebahagiaan Luna bukan hanya tentang uang, tetapi juga tentang rasa nyaman dan perlindungan. Dan saya berjanji, selama saya bersamanya, dia akan selalu merasa aman."
Jawaban itu membuat suasana ruangan sedikit hening. Semua orang diam, menunggu reaksi Kakek Kiem.
Lelaki tua itu tersenyum kecil dan meletakkan cangkir tehnya. "Kau menjawab dengan sangat baik, Nak. Tapi aku masih punya pertanyaan lain."
Andrian tetap tenang. "Silakan, Kakek."
"Apa kau punya niat serius untuk menikahi Luna suatu hari nanti?"
Luna langsung membeku di tempat. Ia menatap Andrian dengan mata melebar. Ini sudah di luar skrip!
Namun Andrian tetap santai. Ia menoleh ke arah Luna sejenak sebelum kembali menatap Kakek Kiem.
"Saya percaya bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral, Kakek. Jika suatu hari nanti Luna dan saya merasa cocok untuk melangkah ke jenjang itu, maka tentu saya tidak akan ragu."
Luna menahan napas. Jawaban itu sempurna—tidak berlebihan, tidak terlalu defensif.
Kakek Kiem akhirnya tertawa pelan. "Kau pria yang menarik, Adrian. Tidak mudah menjawab pertanyaan-pertanyaan menjebakku dengan begitu mudah. Tapi, aku bisa melihat bahwa kau memang pria yang punya pendirian kuat."
Andrian hanya tersenyum. "Terima kasih, Kakek."
Kakek Kiem menepuk pundaknya sebelum bangkit dari kursinya. "Baiklah. Aku akan mengawasi kalian. Jangan coba-coba mempermainkan Luna, karena jika kau melukainya, aku sendiri yang akan turun tangan."
"Saya mengerti, Kakek," jawab Andrian mantap.
Luna akhirnya bisa bernapas lega. Malam ini penuh dengan tekanan, tetapi Andrian menang telak dalam permainan ini.
Tapi, di dalam hatinya, Luna bertanya-tanya, siapa sebenarnya pria ini?
***
Setelah sesi interogasi dengan Kakek Kiem yang penuh ketegangan, Andrian berpikir ia sudah berhasil melewati rintangan terbesar. Ternyata ia salah besar.
Malam itu, keluarga besar Luna tidak berhenti menguji keseriusannya. Dari om, tante, hingga sepupu-sepupu Luna yang penasaran, semuanya ingin memastikan apakah Andrian benar-benar pria yang layak untuk Luna.
Setelah makan malam, mereka semua berkumpul di ruang keluarga. Tante Mei, wanita berusia lima puluhan yang terkenal cerewet, langsung menatap Andrian penuh selidik.