Luna Kiem duduk di kursi kerjanya dengan wajah sedikit cemas. Tumpukan dokumen di mejanya semakin tinggi, dan yang lebih membuatnya pusing, Ratna—sekretaris pribadinya—sedang kewalahan dengan tugas lain di perusahaan. Sementara itu, ada pertemuan penting dengan klien di restoran Surabaya Food yang tidak mungkin ia batalkan.
Luna menggigit bibir, berpikir cepat. Satu-satunya solusi adalah meminta bantuan pada seseorang yang bisa diandalkan. Dan entah kenapa, satu nama langsung muncul di kepalanya.
Andrian.
Tanpa membuang waktu, Luna mengambil ponselnya dan menelpon Andrian. Nada sambung terdengar beberapa kali sebelum akhirnya suara berat dan tenang itu menjawab.
“Halo?”
“Andrian, ini aku, Luna,” ucap Luna langsung, suaranya terdengar sedikit memohon.
“Ada apa?” tanya Andrian santai, seperti biasa.
Luna menarik napas, lalu menjelaskan, “Aku butuh bantuanmu. Sebenarnya ini tugas Ratna, tapi dia sedang sibuk dengan pekerjaan lain. Aku harus bertemu dengan klien penting di restoran Surabaya Food, tapi aku nggak bisa datang sendirian. Bisa temani aku?”
Ada jeda beberapa detik sebelum Andrian menjawab. “Pertemuan bisnis?”
“Ya, benar,” Luna mengangguk meski tahu Andrian tidak bisa melihatnya. “Aku butuh seseorang di sisiku, dan kupikir… siapa lagi kalau bukan pacar kontrakku?”
Andrian tertawa pelan di ujung telepon. “Oh, jadi sekarang aku bukan cuma pacar bayaran, tapi juga asisten bisnis?”
Luna mendesah. “Andrian, aku serius. Klien ini sangat penting, dan aku nggak mau kelihatan sendirian tanpa pendamping.”
“Hmm… jadi ini lebih soal menjaga citramu?” Andrian menggoda.
“Terserah mau kamu anggap apa. Yang jelas, aku benar-benar butuh kamu sekarang,” suara Luna terdengar tulus.
Andrian diam sejenak sebelum akhirnya berkata, “Baiklah. Aku akan ke sana. Jam berapa pertemuannya?”
“Pukul tujuh malam.”
“Oke, aku akan datang tepat waktu,” kata Andrian singkat.
Luna menghembuskan napas lega. “Terima kasih, Andrian.”
“Jangan salah paham. Aku hanya ingin melihat bagaimana kau menghadapi klien penting ini,” jawab Andrian dengan nada menggoda.
Luna mendengus. “Terserah kamu, yang penting jangan terlambat!”
“Santai saja, Luna. Aku bukan tipe orang yang suka membuat wanita menunggu,” balas Andrian sebelum menutup telepon.
Luna menatap ponselnya dan tersenyum tipis. Entah kenapa, setiap kali berbicara dengan Andrian, perasaannya selalu campur aduk.
Ia hanya berharap, malam ini semuanya berjalan lancar tanpa ada kejadian tak terduga. Namun, di lubuk hatinya, ia tahu… bersama Andrian, selalu ada kejutan yang menunggu.
----
Sesuai janjinya, Andrian sudah tiba di parkiran basement apartemen Luna sebelum pukul tujuh malam. Dengan santai, ia menyandarkan tubuhnya di pintu mobil sambil memainkan kunci mobil di tangannya. Sesekali, ia melirik jam tangan dan akhirnya mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Luna.
“Aku sudah di bawah,” ucapnya singkat saat panggilan tersambung.
Dari seberang, suara Luna terdengar, sedikit tergesa. “Oh, cepat juga. Oke, naiklah ke apartemen dulu. Aku belum selesai bersiap.”