Acara ulang tahun Bos Kiem yang ke-50 berlangsung meriah di ballroom mewah Hotel Shangri-La Surabaya. Para tamu berdiri mengelilingi panggung utama, menunggu momen ketika Bos Kiem meniup lilin di atas kue bertingkat lima yang dihiasi ukiran emas.
Luna Kiem berdiri di samping kakeknya, tersenyum meski dalam hatinya ia merasa sedikit bosan dengan acara formal seperti ini. Sementara itu, Andrian yang juga hadir, berdiri tak jauh darinya, memperhatikan dengan tenang.
Namun, kebahagiaan malam itu berubah menjadi mimpi buruk.
BRAK!
Pintu ballroom tiba-tiba didobrak dengan kasar. Sejumlah pria bersenjata api menyerbu masuk. Suara tamu yang semula riuh berubah menjadi jeritan panik.
"SEMUA DIAM ATAU KAMI TEMBAK!" teriak seorang pria berbadan tegap dengan tato ular di lehernya.
Anggota Naga Hitam, yang bertugas menjaga keamanan, berusaha melawan. Namun, gerombolan preman itu terlalu kuat dan terlatih. Hanya dalam hitungan detik, mereka berhasil melumpuhkan pasukan pengaman dengan pukulan keras dan tembakan peringatan ke udara.
Bos Kiem yang hendak meniup lilin menegang. Matanya membelalak saat melihat Luna ditarik paksa oleh salah satu pria bersenjata.
"LEPASKAN CUCUKU!" teriaknya dengan suara gemetar marah.
Luna meronta sekuat tenaga. "Jangan sentuh aku!" Tapi sebuah kain hitam tebal langsung menutupi kepalanya.
Andrian, yang sejak tadi memperhatikan dengan waspada, langsung bergerak cepat. Dengan sigap, ia menerjang salah satu penculik, membuat pria itu terjatuh. Namun, seorang preman lainnya menodongkan pistol ke arahnya.
"JANGAN BERGERAK!"
Andrian mengepalkan tangan, menahan amarah. Ia hanya bisa melihat Luna dibawa keluar ballroom dengan paksa.
Bos Kiem berlari ke arah pintu dengan wajah panik, tapi dia dihentikan oleh salah satu tamunya. "Bos, mereka sudah kabur!"
Seluruh tamu terdiam dalam ketakutan. Beberapa orang langsung mengambil ponsel dan menghubungi polisi.
Tak lama kemudian, suara sirene menggema di luar hotel. Puluhan anggota polisi bersenjata lengkap memasuki lokasi setelah mendapat laporan dari manajer hotel.
Seorang perwira polisi mendekati Bos Kiem. "Pak, kami mendapat laporan tentang penculikan. Siapa yang diculik?"
Dengan napas tersengal, Bos Kiem menjawab dengan suara gemetar. "Cucu saya... Luna Kiem."
Andrian berdiri di samping Bos Kiem, rahangnya mengeras. "Saya akan membawanya kembali."
Polisi langsung bergerak cepat, tapi Andrian tahu satu hal—mereka tidak bisa mengandalkan pihak berwenang saja. Dia harus turun tangan sendiri.
Luna Kiem dalam bahaya, dan Andrian tidak akan membiarkan siapa pun menyentuhnya.
Malam semakin larut ketika Andrian tiba di sebuah gedung tua di Jalan Kembang Jepun, tempat markas rahasianya. Begitu masuk ke dalam ruangan bawah tanah, suara deru motor CBR 150R miliknya menggema di dinding beton.
Di dalam ruangan yang dipenuhi layar monitor dan perangkat komputer canggih, lima pria langsung berdiri dari kursi mereka.
Reynaldi, Vincent, Bram, Johan, dan Rico saling berpandangan. Mereka tahu, jika Andrian masuk dengan wajah penuh amarah seperti ini, pasti ada masalah besar.
"Bos, ada apa?" tanya Reynaldi dengan nada serius.
Andrian tak membuang waktu. "Luna Kiem diculik. Pelakunya anggota Tato Ular. Aku butuh lokasi mereka secepatnya!"
Kelima anak buahnya langsung bereaksi cepat. Vincent segera duduk di depan layar monitor utama, jari-jarinya bergerak cepat di atas keyboard.