Di ruang kerja pribadinya di lantai dua, Bos Kiem duduk dalam diam, menatap kosong ke luar jendela besar yang menghadap ke taman belakang rumahnya. Secangkir kopi hitam di atas meja sudah dingin, tapi pikirannya masih berkecamuk sejak kejadian tadi malam.
Tangannya terlipat di depan dada, sementara matanya yang tajam menerawang jauh. Kelompok motor moge itu… siapa mereka?
Bos Kiem mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, mencoba menghubungkan semua kejadian. "Tidak mungkin mereka muncul begitu saja tanpa alasan. Mereka datang di saat yang tepat, seperti sudah tahu bahwa akan ada penyergapan."
Pikirannya kembali ke momen baku tembak di hutan jati. Anak-anak Naga Hitam sudah berusaha sekuat tenaga, tapi jumlah mafia terlalu banyak. Jika kelompok moge itu tidak muncul, mungkin situasinya akan jauh lebih buruk.
Bos Kiem menghela napas dalam. "Apa ini hanya kebetulan? Atau ada seseorang di balik semua ini?"
Ia mengingat bagaimana para penunggang moge itu beraksi. Gerakan mereka cepat, terlatih, dan terorganisir. Bukan geng jalanan biasa. Mereka seperti pasukan yang sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
Lalu, ada satu hal yang mengusik pikirannya…
Mereka pergi begitu saja setelah semuanya selesai. Tanpa memperkenalkan diri, tanpa meminta imbalan.
Bos Kiem menyesap kopinya yang sudah dingin. Matanya menyipit, mencoba mencari kemungkinan lain.
"Apa mungkin mereka bagian dari jaringan keamanan bawah tanah? Atau… seseorang yang aku kenal telah mengatur ini semua?"
Tiba-tiba, pikirannya melayang pada satu nama. Andrian.
Anak muda itu… selama ini memang mencurigakan. Terlalu pintar, terlalu tenang, dan selalu ada di saat yang tepat.
Bos Kiem menggelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Dia hanya pacar bayaran Luna. Tidak ada alasan baginya untuk terlibat sejauh ini."
Tapi, hatinya berkata lain.
"Aku harus mencari tahu lebih dalam. Aku tidak suka berhutang budi pada orang yang tidak kukenal."
Matanya kembali menatap ke luar jendela, ke langit yang mulai terang. Namun, hatinya masih dilingkupi bayangan misteri yang belum terpecahkan.
Di ruang kerja pribadi di lantai dua, Bos Kiem masih duduk di belakang meja kayu mahoni yang dipenuhi dokumen-dokumen bisnis. Kopinya sudah dingin, tapi pikirannya masih berputar tentang kelompok motor moge misterius yang membantu mereka tadi malam.
Tok… tok… tok…
Terdengar ketukan di pintu. Bos Kiem mengangkat wajahnya. “Masuk.”
Pintu terbuka, Candra, tangan kanannya, masuk dengan langkah tegap. Pria berbadan kekar itu memberi hormat sebelum duduk di kursi di depan meja Bos Kiem.
“Bos, saya ingin melaporkan sesuatu,” kata Candra dengan suara tenang.