Pacar Bayaran

sukadmadji
Chapter #21

Pertemuan Dua Sahabat


Restoran mewah Surabaya Chinese Food dipenuhi aroma rempah khas masakan oriental. Di salah satu sudut VIP, dua pria paruh baya duduk berhadapan, mengenakan setelan elegan yang menunjukkan status mereka sebagai pengusaha sukses. Bos Kiem menuangkan teh ke cangkir sahabatnya, Wijaya, sambil tersenyum lebar.


“Hampir tiga puluh tahun kita bersahabat, Ji. Rasanya baru kemarin kita masih mahasiswa kere yang suka nebeng makan di warung pecel,” ucap Kiem sambil tertawa.


Wijaya mengaduk tehnya dengan senyum mengembang. “Dan sekarang kita malah makan di restoran mewah seperti ini. Siapa sangka, ya?”


Keduanya terdiam sejenak, menikmati suasana nostalgia yang membungkus hati mereka.


“Aku masih ingat waktu kita sama-sama jatuh cinta pada Sandra,” ujar Wijaya tiba-tiba. Matanya menerawang, kembali ke masa lalu.


Kiem tertawa kecil, lalu menggeleng,“Ah, jangan ungkit itu lagi. Aku masih merasa bersalah, kau mengalah begitu saja.”


Wijaya menyesap tehnya pelan, “Tidak ada yang perlu disesali, Kiem. Aku memang menyukainya, tapi aku lebih menyayangi persahabatan kita. Lagipula, aku tahu sejak awal hatinya hanya untukmu.”


Kiem menatap sahabatnya dengan penuh rasa haru. “Tapi tetap saja, Ji. Kau begitu baik hingga tidak pernah mempermasalahkan itu. Aku beruntung punya sahabat sepertimu.”


Wijaya tertawa kecil. “Lucu kalau diingat-ingat. Sandra dulu kan sangat anggun, lembut, dan sabar menghadapi kita yang sering bertengkar soal bisnis. Kau benar-benar beruntung bisa menikah dengannya.”


Kiem menundukkan kepala, matanya sedikit meredup. “Sayangnya, dia pergi terlalu cepat...”


Keheningan menyelimuti meja mereka. Wijaya menepuk bahu Kiem dengan lembut.


“Setidaknya kau memiliki banyak kenangan indah bersamanya. Aku melihat bagaimana bahagianya kalian dulu. Aku tak pernah menyesal karena tidak mendapatkan Sandra. Persahabatan kita jauh lebih berharga.”


Kiem tersenyum penuh rasa syukur. “Dan aku juga bersyukur memiliki sahabat yang selalu ada untukku, bahkan hingga sekarang.”


Mereka kembali tertawa, mengenang masa-masa saat mereka masih muda dan penuh ambisi. Di balik semua perjuangan dan persaingan bisnis, persahabatan mereka tetap utuh bahkan lebih kuat dari sebelumnya.


Suasana restoran Surabaya Chinese Food mendadak hening. Bos Kiem menatap cangkir tehnya dengan sorot mata yang sedikit meredup. Wijaya, yang duduk di seberangnya, menarik napas pelan sebelum akhirnya bertanya dengan hati-hati.


“Kiem… bagaimana kabar Luna sekarang? Aku masih ingat waktu dia kecil, selalu berlari-lari di rumahmu. Dia anak yang ceria.”


Kiem tersenyum tipis, tapi ada kepedihan di matanya. “Luna tumbuh menjadi gadis yang kuat. Dia sekarang meneruskan bisnis keluarga. Tapi, tetap saja, kehilangan orang tuanya di usia muda bukan hal yang mudah.”


Wijaya mengangguk pelan. “Aku masih ingat kejadian itu… kecelakaan yang merenggut Aling dan suaminya. Saat aku mendengar kabarnya, rasanya seperti dihantam batu besar. Aku tahu betapa kau sangat menyayangi Aling.”


Kiem terdiam sesaat, lalu menghela napas panjang. “Waktu itu duniaku runtuh, Ji. Aku kehilangan putriku dan menantuku sekaligus. Mereka pergi begitu cepat, tanpa ada perpisahan…” Suaranya sedikit bergetar.


Wijaya meletakkan tangannya di atas tangan Kiem, memberikan dukungan tanpa kata-kata.


“Bagaimana kau bisa melalui semuanya, Kiem?” tanyanya lembut.


Kiem menatap sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. “Luna… hanya dia yang membuatku tetap berdiri. Aku tahu aku tidak boleh jatuh, karena dia masih butuh aku. Aku harus menjadi tempatnya bersandar.”

Lihat selengkapnya