Hembusan angin menerpa dedaunan pohon mangga yang berdiri di depan sebuah warung kelontong, menyibak rambut seorang wanita paruh baya dengan setelan baju biru lengan pendek dan celana hitam yang sedang menata stok barang-barang yang baru saja dibelinya dari pasar. Ketika sedang asik menata, beliau dikagetkan dengan sosok yang lumayan tinggi darinya sudah berdiri dihadapannya.
"Astaga! Kau mengagetkan saja. Ada apa sih, Kak Lita?" Ujarnya sambil tetap sibuk menata. Sosok wanita yang dipanggilnya Kakak itu pun duduk di sebuah kursi dekat dengan pintu warung.
"Tidak apa-apa, Rin. Aku hanya ingin membicarakan 1 hal padamu, ini tentang putra sulungmu." Tangan yang tadinya sibuk menata pun terhenti. Kepalanya langsung menoleh ke sumber suara dari Kakak iparnya.
"Tunggu, maksudmu Ian?" Tanyanya dengan tatapan mata serius.
"Iya, kau tahu sendiri kan, semenjak dia tumbuh remaja, di umurnya yang masih 17 tahun ini mungkin ada peningkatan hormon sehingga membuat wajahnya jadi banyak jerawat begitu. Para tetangga dan teman sekolahnya juga banyak yang menghinanya. Jujur, aku pun tidak terima jika keponakanku sendiri dihina, sampai ada yang bilang tidak akan ada gadis yang mau dengannya. Sungguh, ucapan tetangga itu membuatku muak Rin, apalagi kau yang Mamanya." Sang Kakak Ipar bercerita dengan kerutan di dahinya dan alis menukik menahan emosi.
Bu Rina pun awalnya tidak mengambil pusing dengan apa yang Kakak Iparnya katakan dan kembali menata barang-barang untuk persedian toko kelontongnya.
"Halah, paling hanya candaan biasa kan, Kak. Lagian, kenapa diambil pusing sih omongan tetangga." Balasnya santai.
.
Ketika Ian pulang sekolah, tepat di sana dia melewati tiga orang ibu-ibu yang sedang bergosip. Samar-samar dia mendengar suara-suara tak mengenakkan mengenai dirinya.
"Eh Bu Tentrem, tahu gak sih si Ian itu."
"Ian anaknya Bu Rina?"
"Iya Bu, semenjak remaja dia mukanya jadi banyak jerawat gitu. Hih, siapa saja yang melihatnya pasti jijik deh."
"Iya Bu, lihat aja tuh, dia lewat."
Ian tidak terlalu mempedulikan apa kata tetangga dan tetap berjalan dan tersenyum kepada mereka, namun Ibu-Ibu itu tidak membalas senyumnya.
"Dih, sok-sokan senyum segala, lagian juga mana ada sih gadis yang mau pacaran dengan dia? Melihatnya saja sudah jijik duluan. Hahahaha."
"Hahahaha, betul itu Bu."
.