Langit dengan warna biru yang terlihat terang sudah berganti warna menjadi sedikit gelap, matahari pun sedikit demi sedikit hanya mengintip dan bahkan menghilang dibalik bukit dengan pohon-pohon besar nan menghijau itu, menandakan bahwa hari mulai malam. Namun para remaja laki-laki di desa Gareng masih saja asik bermain basket, seakan tidak peduli dengan hawa dingin yang semakin lama merasuki tubuh mereka.
"Hah... hari sudah mulai malam. Kita akhiri saja permainannya,"salah satu remaja laki-laki memakai kaos basket bertuliskan 'Bacood' yang berdiri sambil membungkukkan badannya dan menekuk lengannya, telapak tangannya ditaruh dipinggang. Titik-titik keringat pun menetes dari dahinya.
"Baiklah, lanjut besok lagi saja. Kita harus tetap latihan supaya kalau ada lomba, desa kita ini bisa menang," seru Yosep, ketua dari tim basket desa Gareng.
"Santai Yos, tetap bisa menang kok selama ada Ian. Dia jago banget dah olahraga, bisa bulu tangkis, dan sekarang basket,"
Yang merasa terpanggil namanya pun menoleh ke arah sumber suara. Ya, dia adalah Aldrin, sepupu Ian yang selalu membanggakan kelebihan Ian di depan teman-teman basketnya.
"Ya, kalau aku gak ada tugas juga, kalau pas lagi banyak tugas sekolah ya gak akan bisa latihan, kemungkinan untuk menang juga akan sulit," jawab Ian sambil mengibaskan rambut yang penuh dengan keringat itu.
Yosep pun tersenyum dan menghampiri Ian.
"Iya aku tahu, jangan lupa wajahmu itu juga harus dirawat, nanti kalau pas menang cewek-cewek pasti akan tergila-gila pada tim kita," Ian pun menoyor kepala Yosep, yang ditoyor pun mengusap-usap kepalanya.
"Hey, kita ini mau lomba basket atau mau cari cewek kalau caramu begitu Yos! Hahahaha, ada-ada saja." Ian menggeleng-gelengkan kepalanya tertawa.
***
'Ceklek'
"Aku pulang!" Baru saja membuka pintu, Ian dikejutkan dengan keberadaan Mamanya yang sudah berdiri di hadapannya.
"Kau sudah pulang sayang, buruan mandi dan makan ya," Sang Mama mengusap rambut halus anak sulungnya dan tersenyum.
Ian pun ikut tersenyum karena Mamanya menyambut kedatangannya dengan baik. Ia hanya menganggukkan kepalanya dan menuju kamarnya. Tak lama setelah itu, Sang Papa keluar dari kamar dan menuju ruang tamu tempat sang Istri berada.
"Ian sudah pulang?" Tanyanya.
"Sudah, baru saja. Sini, ada yang ingin aku bicarakan padamu," Sang Istri menarik lengan suaminya untuk duduk di kursi ruang tamu.
"Begini, sekarang Ian sudah remaja menuju dewasa. Mungkin karena perubahan hormon, wajahnya jadi banyak jerawat begitu. Kak Lita menyarankan aku untuk membawa Ian ke salonnya. Katanya untuk facial dan memakai skincare supaya wajah Ian bersih seperti dulu lagi. Tapi aku memikirkan biayanya, semua itu pasti mahal bukan?" Jelas Sang Istri yang kini memasang wajah sedih.
"Ya, memang semua itu mahal, tapi demi anak kita, tidak masalah. Nanti bisa menggunakan tabunganku." Jawab Sang Suami tersenyum.
"Berarti, kau setuju? Kak Lita sih katanya akan memberikan skincare gratis ke Ian. Tapi kita tetap membayar saja, gak enak, meskipun kita saudara tetap saja Kak Lita kan sedang mencari uang juga," Suaminya hanya mengangguk biasa tanpa protea apapun.
"Tapi, yang kutakutkan hanya satu, bagaimana nanti jika tidak cocok dikulitnya Ian? Aku tidak mau dia nanti akan kesakitan karena jerawat-jerawat itu," lanjut Sang Istri.
"Kita coba dulu satu kali, kalau memang benar tidak cocok dikulitnya, hentikan saja. Kita ke dokter kecantikan,"saran Suaminya yang segera diangguki oleh Sang Istri.
"Baiklah."