Suara ayam berkokok secara bersahutan menandakan bahwa hari sudah pagi. Seperti biasa, orang-orang pun sudah memulai aktifitasnya. Ian dan Aldrin tidak diterima di Kampus Negeri yang mereka inginkan lewat jalur SNMPTN dikarenakan nilai mereka yang kurang mereka miliki memuaskan sehingga tidak diterima di Universitas Negeri. Mereka pun juga tidak ada niat untuk mencoba lewat jalur SBMPTN atau mendaftar ke Universitas Swasta, bahkan justru mereka lebih suka mengurus salon karena mendapat penghasilan supaya bisa ditabung.
Waktu menunjukkan pukul 09.30, yang mana masih banyak pelanggan salon yang mengantri dan meminta untuk potong rambut dengan bentuk yang mereka inginkan. Bukan hanya kaum wanita saja yang mengantri, semenjak ada Ian dan Aldrin salon Lita juga ramai pengunjung dari kalangan laki-laki terutama anak-anak remaja laki-laki yang ingin potong rambut ala luar negeri atau Korea. Waktu terus bergulir, hingga sekarang sudah pukul 12.00, semua pegawai salon sedang beristirahat tak terkecuali Ian dan Aldrin yang sedang duduk di depan kaca salon.
"Hah, capek juga ya. Ternyata begini rasanya bekerja," keluh Ian sambil menyenderkan punggungnya ke kursi salon.
"Ya beginilah bekerja di salon, Yan. Jadi ya capek, hahaha," gurau Gonzales suoaya Ian tidak lagi mengeluh dalam bekerja untuk mendapatkan pundi-pundi uang.
"Iya juga sih Kak, tapi gak ngebayangin gitu aku kalau beneran secapek ini," Balas Ian. Seketika oandangan mata Gonzales tertuju pada rambut gondrong milik Ian.
"Oh iya, katanya kamu mau potong, Yan? Sini sekalian aja tak potongin," Gonzales mengalihkan pembicaraan dengam mengajak Ian untuk mau dipotong rambutnya.
"Iya kak, tapi aku ingin potong rambut style cowok Korea. Tadi juga banyak anak-anak yang minta potong begitu. Aku jadi pengen," Ian meminta potong ala style rambut cowok-cowok Korea.
"Bisa bisa, ayo!"
***
Gemercik air dalam wadah bekas cat tembok yang diambil dengan tangan dan disiramkan ke tanaman seakan mengganggu pendengaran sang tetangga yang sedang mengambil jemuran yang sudah kering di halaman rumahnya.
"Hey, Rul. Mengapa kau menyiram tanaman menggunakan tangan? Mending pakai bekas minuman gelas aja, nanti di bawahnya di lubangin menggunakan pisau, kan lebih enak dari pada begitu malah mereka akan mendapat air sedikit," Bu Yuni, tetangga depan rumah Nurul yang mengajari gadis itu supaya tidak lagi kesusahan ketika menyiram tanaman. Nurul mengalihkan perhatiannya ke Bu Yuni dan memperhatikan cara Bu Yuni menjelaskan.
"Oh iya ya, Bu. Kenapa saya gak kepikiran? Hahaha, makasih sarannya Bu, Besok saya akan buat itu. Emang sih, kalau begini jadi lama dan pegal juga kalau menyiram tanaman dengan tangan," keluh Nurul.
"Nah, maka dari itu pakai bekas minuman gelas aja, kan jadi gak pegel malah. Eh, udah dulu ya, Rul. Udah udah sore nih, aku mau mandi dulu," Bu Yuni pun masuk ke dalam rumahnya.
"Iya, Bu Yuni." Nurul mengalihkan perhatiannya kembali ke tanaman yang sedang disiramnya.
***
Hari sudah sore, matahari sedikit demi sedikit akan menghilang dari jarak pandang manusia. Seorang remaja lelaki yang dari tadi berkutat di salon pun berniat untuk menjemput Mamanya di toko kelontong dengan berjalan kaki. Namun, ketika sedang dalam perjalanan, Ia melewati segerombol Ibu-Ibu yang sedang berkumpul di teras rumah salah satu dari mereka.
Mereka pun melihat anak remaja lelaki tersebut dengan tatapan yang sulit diartikan. Bahkan memandang tanpa berkedip sedikitpun. Ian, remaja lelaki yang hanya mengenakan setelan kaos basket singlet berwarna hitam, di ujung lengannya ada pleret warna hijau dan celana pendek sepaha berwarna abu-abu itu sama sekali tak mengindahkan tatapan dari Ibu-Ibu yang memperhatikannya dan hanya terus berjalan tanpa menengok sedikitpun, bahkan setelah melewatinya.
"Wah, anak siapa sih? Dia terlihat tampan seperti orang China saja," Ujar salah satu Ibu-Ibu yang bergerombol itu.
"Iya ya Bu Renny, dia terlihat putih dan tampan. Aku jadi ingin punya anak seperti dia," wanita yang dipanggil Bu Renny itu pun masih memandang anak remaja lelaki yang lewat itu dan bertanya kembali kepada temannya yang duduk di sebelah kirinya itu.
"Apakah dia termasuk warga sini, Bu Mita?"
"Ya jelas lah, kan dia tadi lewat, pasti dia dari desa sini juga," Celetuk Bu Retno yang duduk di sebelah kanan Bu Renny.
"Eh, tapi sepertinya aku kenal deh dengan wajah itu, seperti tidak asing gitu," sahut Bu Sindi yang duduk di depan Bu Renny.
"Oh iya aku ingat! Itu tadi kan anaknya Bu Rina, masa gak tahu sih kalian? Karena nggak asing aja dengan wajahnya," lanjut Bu Sindi.
"Oh iya ya, aku juga baru ingat. Berarti tadi si Ian yang dulu wajahnya banyak jerawat itu?" Tanya Bu Retno.