Di sebuah rumah dengan desain klasik nan tua itu terdapat banyak orang yang sudah datang untuk mendoakan seseorang lain yang ada di dalam peti mati. Meskipun banyak orang, namun tetap dibatasi dan menjaga protokol kesehatan. Mereka yang ada di sana pun juga memakai masker dan tetap menjaga jarak supaya mengurangi penyebaran virus covid-19. Keluarga yang selama ini tinggal bersama sang Ayah pun menangis. Tak lama setelah itu, dua mobil pun datang ke rumah duka menampilkan keluarga Ian dan Aldrin yang baru saja datang dan langsung masuk ke dalam rumah yang sudah tersedia bendera kuning itu. Bu Rina melihat sang adik yang sudah duduk di sebelah peti mati sambil menangis dan menghampirinya.
"Din, apa yang terjadi pada ayah? Apa selama ini Ayah sakit?" Tanyanya kepada sang adik yang bernama Dina.
"Tidak, Kak. Ayah tidak sakit apa pun. Selama ini aku dan suamiku mengurus dan menjaga Ayah dengan baik, tapi gak tahu kenapa tadi malam Ayah mengalami kejang dan meninggal. Ayah hanya bilang kalau di dalam laci meja kamarnya ada surat wasiat katanya itu untuk Ian dan Aldrin."
"Sebaiknya kita memikirkan itu nanti saja, Din. Sekarang alangkah baiknya kita mendoakan Ayah mertua, supaya tenang di alam sana." Saran Bu Lita.
"Iya Kak Lita," Bu Dina yang masih saja menangisi kepergian sang Ayah, Bu Rina pun juga ikut menangis. Bu Lita merangkul mereka berdua, menempatkan kepala mereka berdua di pundaknya.
"Sudah, kalian jangan menangis lagi ya." Bu Lita menenangkan.
Ian, Aldrin, dan para saudara yang lain duduk bersebelahan di ruang tamu yang sudah terdapat mayat Sang Kakek. Ketika sedang orang-orang sedang mendoakan, Ian teringat akan sesuatu, Ia pun berdiri namun tangannya ditahan oleh Aldrin.
"Ada apa, Yan?"
"Ada perlu sebentar." Ian berjalan ke luar rumah, mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang.
Tut~
"Halo, ada apa Ian?"
"Halo Rul, ternyata apa yang ada dalam mimpimu itu menjadi kenyataan,"
"Apa! Apa maksudmu, Ian? Lalu jika itu menjadi nyata, siapa yang meninggal?"
"Kakekku, Rul."
Deg, bagaikan disambar petir, hati Nurul pun hancur ketika mendengar kabar tersebut. Ia takut, kehadirannya di kehidupan Ian hanya akan membawa malapetaka. Wajah Nurul pun seketika menjadi pucat karena semakin memikirkan hal itu. Air mata pun jatuh dari kelopak matanya.
"Astaga, a-a-aku ikut berbela sungkawa ya, Ian atas meninggalnya Kakekmu. Maaf, jika aku tidak bisa ikut melayat kesana karena jarak kita yang jauh," suara Nurul bergetar.
"Iya Rul, tidak masalah kok. Terima kasih ya."
"Sama-sama Ian, dari semua ini aku bisa menyimpulkan bahwa mimpiku Itu adalah sebuah firasat, Ian,"
"Tapi ini sangat tidak logis, Rul,"
"Iya sih, tapi aku juga tidak tahu, hanya ketika bersamamu aku mulai merasakan hal aneh ini, sebelumnya tidak pernah. Memang terdengar tidak logis, Ian. Tapi memang begitulah kenyataannya,"
"Iya, Rul. Eh Rul, udah dulu ya. Aku harus ikut memakamkan jasad Kakekku,"
"Baiklah, Ian. Hati-hati di jalan ya."
"Iya."
.