Di Taman Rumah Sakit Pusat Sanglah Bali, terdapat dua orang pria paruh baya yang sedang berjalan sambil berbincang-bincang, mereka adalah Pak Galang dan Pak Supri.
"Pak Supri, saya setuju dengan ide yang kemarin tentang menyablon plastik kemasan makanan. Besok bisa kita mulai mencoba dulu, Pak," saran Pak Galang, Pak Supri tersenyum sambil memikirkan saran dari Pak Galang.
"Iya sih, Pak Galang. Tapi, saya harus menunggu Nurul pulih dulu, baru bisa menjalankan bisnis ini. Kemenakan saya sudah menjadi tanggung jawab saya juga, Pak. Karena saya yang membawanya bekerja. Orangtuanya memasrahkan kepada saya," jawab Pak Supri. Pak Galang mengangguk beberapa kali. Seperti setuju dengan setiap kata yang dilontarkan oleh Pak Supri.
"Oh iya juga ya, Pak. Jika Nurul belum sembuh, nanti juga anda masih repot," Pak Galang menambahi.
"Oh iya, maafkan juga kesalahan saya kemarin yang sudah memukul dan memarahi Ian, Pak Galang. Saya kemari benar-benar sedang terbakar emosi karena Nurul mendapatkan perlakuan tidak adil dan melampiaskannya pada Ian," Pak Supri merasa bersalah karena telah memukuli Ian ketika remaja itu berusaha mendekati Nurul.
"Tidak papa, Pak Supri. Wajar orang tua akan marah jika anaknya diperlakukan tidak adil. Ini juga kesalahan saya karena menuduh Nurul dengan sembarangan tanpa berpikir dan mencari bukti lebih dulu. Bahkan saya juga sempat berdebat dengan Ian bahwa Nurul tidak bersalah, tapi karena kebutaan saya terhadap sikap baik ayahnya Siska malah jadi seperti ini. Saya juga minta maaf ya, Pak Supri," dengan penuh rasa tulus, Pak Galang meminta maaf pada klien kerjanya.
"Sudahlah, Pak. Saya sudah memaafkan anda dan Ian." Pak Galang tersenyum mendengarnya.
Ketika sedang asik berbincang-bincang, ponsel Pak Supri pun berbunyi. Pak Supri segera mengambil ponselnya dari saku celananya dan menggeser tombol berwarna hijau. Menempelkan ponselnya ke telinga.
"Apa! Syukurlah, Ayah akan kesana setelah ini." Jawab Pak Supri dalam sambungan teleponnya. Wajah Pak Supri terlihat panik sehingga menumbuhkan kerutan bingung di dahi Pak Galang.
"Ada apa, Pak Supri?" Tanya Pak Galang, mencoba mencari tahu apa penyebab dari wajah panik Pak Supri.
"Nurul sudah sadar, Pak. Mari kita ke ruang UGD untuk menjenguknya." Wajah Pak Supri yang tadinya panik pun berubah menjadi sumringah karena mendengar kabar baik tentang kondisi kemenakannya. Mengajak Pak Galang untuk menjenguk Nurul yang masih di ruang UGD.
_
Di ruang UGD, Nurul mulai membuka matanya, objek yang pertama kali dilihatnya adalah Ian dengan senyuman di wajahnya karena mengetahui bahwa gadis yang dicintainya mulai membuka mata. Tak berapa lama, dokter pun datang bersama dengan kedua susternya untuk memeriksa keadaan Nurul.
"Kondisinya sudah stabil, hanya butuh sedikit pemulihan supaya ingatannya kembali dengan sendirinya, jangan terlalu memaksanya ya. Besok dia sudah boleh pulang," Jelas sang dokter lelaki paruh baya itu sambil tersenyum setelah memeriksa detak jantung dan mengecek semua yang menjadi penyebab Nurul pingsan saat itu.
"Baik, Dok. Saya akan berusaha untuk membantunya mengingat sedikit demi sedikit." Jawab Ian dengan ekspresi wajah serius.
"Baiklah, suster, tolong bawa pasien ke ruang rawat ya." Perintah sang Dokter. Dua suster pun hanya mengangguk dan memindahkan ranjang Nurul ke ruang rawat. Pintu ruang UGD dibuka lebar, ranjang Nurul didorong menuju ke ruang rawat. Mas Prass dan Mas Anto yang berada di luar ruangan pun terkejut dan bertanya kepada Ian.
"Ada apa, Ian? Mengapa Nurul dipindahkan?" Tanya Mas Prass dengan wajah paniknya.
"Tenang, Mas Prass. Nurul sudah sadar, jadi dia hanya dipindah ke ruang rawat," Ian menampilkan ekspresi senangnya.
"Syukurlah, aku sangat khawatir jika terjadi sesuatu padanya."
"Ayo kita ikuti suster itu."
"Mas Prass, aku akan mengabari Ayah dulu."
"Iya, Mas Anto. Silakan." Ucap Ian.
Tak lama setelah itu, Pak Supri dan Pak Galang sampai di ruang rawat Nurul, yang mana sudah ada Ian, Mas Prass dan Mas Anto di sana. Nurul sudah sepenuhnya sadar, dan meminta untuk berposisi duduk di atas ranjang. Mereka terus menanyakan bagaimana keadaan Nurul, dan Nurul hanya menjawab bahwa dirinya baik-baik saja. Tidak mengalami hal yang serius.
"Paman, izinkan aku berbicara empat mata dengan putra Pak Galang." Ian membelalakkan matanya dan menunjuk dirinya sendiri.
"Maksudmu, aku?" Tanya Ian bingung.