Bu Rina dan Bu Lita sudah sampai di jalan mangga, jalan dekat toko kelontong milik Bu Rina. Jalan tersebut belum diaspal sama sekali, masih berupa tanah seperti biasa berwarna coklat. Semenjak kejadian malam itu pula, tidak ada lagi yang berani untuk melewati jalan itu. Bu Lita dengan jelas masih melihat bekas seretan tubuh Bu Retno hingga berhenti ke bak sampah. Mereka berdua mendekat ke arah tanah yang berkelok itu. Bu Lita berjongkok, menyentuh tanah itu, matanya pun melihat ke arah bak sampah.
"Rin, ternyata benar ya. Ini Bu Retni sengaja diseret ke bak sampah. Tapi dimana Bu Sindi coba?" Ucap Bu Lita. "Nah itu dia yang masih menjadi pertanyaan kak. Haruskah kita meminta Aldrin dan Ian untuk menyelidikinya? Biasanya anak cowok lebih berani kan?" Tanya Bu Rina.
"Iya, sih. Tapi, kapan Ian pulang? Kalau Aldrin sendiri sepertinya dia tidak akan berani," jawab Bu Lita.
"Ian akan pulang hari ini, mungkin perjalanan dari bandara kesini yang agak lama," sahut Bu Rina yang sudah mendaoat kabar dari anak sulungnya lewat chat tadi pagi.
"Wah gak akan keburu juga waktunya, Rin."
"Makannya itu, apa sama si Gonzalez aja dan Tika?" Saran Bu Rina sambil memikirkan yang lainnya juga.
"Oh iya juga, mereka kalau masalah beginian berani sih ya."
"Nah, ayo ke salonmu, Kak." Seketika Bu Lita langsung memasang wajah sedihnya.
"Kenapa sedih begitu? Ada apa, Kak?"
"Rin, kau tahu, suamiku sudah dipecat dari perusahaannya. Sekarang tidak tahu mau kerja apa. Alhasil kemarin kami baru saja memutuskan untuk menutup salon dan memulai usaha membuka toko elektronik." Jelas Bu Lita.
Bu Rina pun terkejut, karena selama ini sang Kakak Ipar tidak pernah menceritakan jika keluargamya sedang krisis ekonomi. Bu Rina sendiri selama ini hanya menjaga toko dan Gibran yang sesekali membantunya juga tidak bercerita tentang keadaan sang Bibi.
"Kenapa baru bilang sekarang sih, Kak? Kan kak Ricky bisa bekerja bareng suamiku jika sudah pulang dari Bali, eh malah Kakak udah memulai usaha sendiri. Apakah uangnya dari hasil salon waktu itu?" Tanya Bu Rina membelalakkan matanya dan kening yang berkerut kesal sambil menggoyang-goyangkan kedua pundak sang Kakak Ipar.
Bibir Bu Lita pun seakan membisu, tidak mampu menjawab pertanyaan dari Adik Iparnya. Ia menunduk, tubuhnya pun ambruk ke tanah bekas seretan Bu Retno. Air mata yang selama ini Ia tahan pun sudah tidak bisa dibendung lagi.
"Aku harus bagaimana, Rin? Aku hanya tidak ingin merepotkan kalian. Toh keluargamu juga belum lengkap karena Ian dan Galang sampai harus ke Bali demi mendapatkan uang. Mana bisa aku merepotkan adikku? Iya kau benar, uang salon yang kupergunakan untuk usaha toko elektronik kali ini, hiks. Tapi tidak masalah, doakan saja semoga usahaku kali ini sukses ya, Rin." Kata Bu Lita sambil masih terisak.
"Kak Lita, harusnya kakak tidak perlu sungkan, kan kita keluarga, bahkan rumah kita pun berdempetan, maaf kalau selama ini aku sibuk dan tidak memperhatikan kakak yang ternyata dalam masa-masa sulit. Baiklah, kalau memang itu yang terbaik, semoga saja toko kakak cepat maju kayak yang salon ya kak, amin," sahut Bu Rina sembari mengajak sang Kakak Ipar untuk berdiri.
"Amin, yuk kita pulang, Rin."