Malam ini hujan deras melanda kota Jakarta, tepatnya di desa Gareng. Membuat Ian hanya bisa berdiri di sudut dekat jendela sambil menatap ke arah air yang menetes dari awan menuju tanah yang semakim basah. Setelah berbincang dengan Aldrin mengenai dirinya yang akan melamar kerja di Semarang, membuat sang sepupu itu heran dengan apa yang dikatakan Ian. Wajah Ian terlihat serius, seakan memang itulah tujuannya supaya bisa bertemu dengan Nurul.
Tapi dalam hati kecilnya, Ia juga tidak ingin jika sang Papa tidak ada yang membantu untuk menangani bisnisnya. Meskipun sudah punya karyawan, tapi tetap saja ada yang kurang. Ia masih bimbang, apakah harus bekerja merantau atau tetap bekerja dengan Papanya. Ian itu lelaki, pasti juga butuh kebebasan, bukan hanya kerja di rumah seperti ini. Dunia ini sangat luas, Ian ingin merasakan juga oerbedaan antara kerja kantoran dan kerja di rumah enak yang mana. Tapi Ia belum berani bilang kepada Papanya untuk kerja di Semarang. Seketika sekelebat wajah Nurul pun terlintas di pikiran Ian.
"Ah, aku akan menelpon Nurul saja." Putusnya, Ian segera mengambil ponselnya yang terletak di meja nakas kamarnya. Mengetikkan nama Nurul dan segera menekan tombil bergambar telepon itu.
Dalam sambungan telepon.
"Halo? Ada apa, sayang?" Tanya orang yang ada di seberang sana kepada Ian.
"Ah tidak papa, kamu lagi apa?" Tanya Ian penasaran dengan apa yang dilakukan sang kekasih.
"Aku lagi mengurus berkas untuk melamar kerja besok." Sahut Sang kekasih dengan semangatnya yang membara. Terdengar dari suaranya yang begitu senang.
"Wah, kamu pasti sangat sibuk ya, sayang. Aku ganggu gak?" Tanya Ian, merasa bersalah jika memang sang kekasih akan terganggu oleh telepon darinya.
"Ah, gak kok, sebenarnya udah dari tadi pagi sih aku nyiapinnya, hanya saja sekarang aku siapin aja biar gak lupa." Balas Nurul yang kini berada di dalam kamar sembari mempersiapkan tas dan juga berkas lainnya.
"Ya sudah, semangat ya buat besok. Semoga keterima, amin." Ian mendoakan yang terbaik untuk kekasihnya.
"Iya, amin. Oh iya, kamu lagi ngapain? Udah makan belum?" Kali ini giliran Nurul yang bertanya. Ian yang menjawab pertanyaan dari sang kekasih itu.
"Aku lagi ngelihatin air hujan yang jatuh dari langit. Oh iya, aku sudah makan kok, sayang. Jadi jangan khawatir, hehe." Jawab Ian. Nurul pun seketika melebarkan matanya karena mendengar bahwa di tempat Ian hujan.
"Loh, disana hujan?" Tanyanya, karena sedari tadi dia tidak mendengar suara hujan sama sekali dari seberang sana. Padahal Ian berada di dekat jendela yang seharusnya memang terdengar jelas suara hujan air hujan nan deras itu.
"Iya, apa dari tadi kamu gak dengar suara gemercik air yang berisik terkena genting rumahku?" Tanya balik Ian.
"Ah, tidak terlalu terdengar, sayang."
"Mungkin kalau pakai asbes terdengar jelas kali ya. Disini hanya pakai genting biasa, namanya juga hidup di desa."
"Hahaha, jangan merendah gitu, desa juga tapi kan bagus, orang di Jakarta."
"Hahaha, iya, sih."
"Sayang, ganti video call dong." Pinta Nurul yang membuat Ian tersenyum. Ia memang merindukan Nurul, tapi kenapa malah tidak kepikiran untuk video call.