Langit cerah yang pada sore hari sudah mulai mengubah warnanya menjadi gelap. Matahari yang mulai menghilang, bergantian dengan bulan yang bersinar terang diantara taburan bintang. Ian yang baru saja selesai bekerja bersama Papanya pun berinisiatif untuk istirahat sejenak. Namun tiba-tiba ponselnya berdering, menampilkan nama dari sang kekasih. Segera Ia geser tombol berwarna hijau itu dan meletakkan ponselnya ke telinga.
Dalam sambungan telepon.
"Ada apa sayang?" Tanya Ian dengan menunjukkan suara sehalus mungkin.
"Sayang, kau tahu, hari ini yang tadinya adalah hari yang kutunggu-tunggu karena bekerja sebagai sekretaris, aku mencabut kembali kata-kataku." Nurul mulai curhat tentang apa yang dialaminya ketika bekerja sebagai sekretaris tadi pagi.
"Loh? Kenapa memangnya?" Tanya Ian lagi. Sang kekasih mulai menjelaakan dengan rinci kejadian yang semoat dialaminya itu.
"Kau Tahu, bosku ternyata adalah mantan kekasihku dulu waktu masa skripsian. Namanya Mas Haris." Seketika mata Ian terbelalak kaget. '
Apakah Haris yang dulu pernah diceritakan padaku?' Tanyanya pada dirinya sendiri. Kemudian menanyakan kembali kepada sang kekasih.
"Serius?"
"Iya, makannya aku sangat kesal hari ini, ingin aku rasanya keluar saja dari pekerjaan ini tapi aku masih kasihan dengan kedua orang tuaku yang masih bekerja bahkan sampai tua, kenapa aku yang muda gak bisa bekerja. Aku masih memikirkan hal itu." Jelas Nurul sekali lagi kepada Ian supaya sang kekasih paham dengan apa yang diceritakannya.
"Ya jangan keluar dong, sayang. Sayang juga kalau keluar, karena nanti nama baikmu bakal tercoreng dan aoan leboh susah lagi dapat pekerjaannya. Apalagi sekarang melamar pekerjaan saja ada yang belum diterima lho. Sekarang gini, posisi kamu adalah sekretaris, di posisi kamu ini bayarannya gede pasti, kalau kamu masih memikirkan orang tuamu, pertahankan saja pekerjaan ini. Setidaknya sampai kamu bisa dapat penghasilan sendiri." Saran Ian. Nurul yang mendengarnya juga ada rasa tak enak hati memang jika harus meninggalkan pekerjaan yang baru saja dijalaninya satu hari ini.
"Iya juga sih, tapi ... "
"Tapi apa, hmm?" Tanya Ian. Nurul mencoba menjelaskan dengan lebih rinci lagi hingga sang kekasih benar-benar memahami apa yang dia ceritakan itu.
"Tapi dia selalu ingin mengajakku untuk kembali lagi dengan dia. Aku sudah tidak mau lagi, bahkan aku sangat mencintaimu, sayang. Aku tidak bisa jika harus kembali bersama Haris, dia bukan lelaki yang baik, dia adalah tioe lelaki yang suka mempermainkan banyak gadis dan aku gak suka itu. Aku tidak ingin kembali padanya. Aku tadi sudah bilang padanya, mengingatkannya bahwa hubungan diantara kami hanyalah antara bos dan sekretaris saja, tidak lebih. Tapi, yang terjadi justru Mas Haris mencolek daguku. Aku benar-benar jijik disentuh olehnya bahkan dengan seujung jari pun. Aku takut jika dia sudah berani menyentuhku, dia juga bisa saja berbuat lebih padaku, aku takut, sayang," sebuah isakan dari Nurul pun terdengar ketika menceritakan kejadian hari ini kepada kekasihnya. Ia benar-benar tidak suka dengan Haris yang selalu berbuat semaunya seperti itu.
"Sudahlah, jangan menangis. Jika hal itu terjadi lagi padamu, maka dia akan berhadapan langsung padaku. Kalau bisa laporkan dia ke polisi atas tindakan pelecehan seksual jika dia berani berbuat lebih. Aku yang akan membantumu sayang, jangan khawatir ya." Ian mencoba untuk melontarkan kata-kata penenang untuk Nurul supaya tidak menangis lagi. Ia sangat benci jika harus mendengar kekasihnua menangis.
"Baru satu hari saja sudah membuatku kesal, apalagi hari-hari berikutnya? Aku takut sayang." Nurul masih saja menangis, menyalurkan rasa bencinya kepada Haris dengan bercerita kepada kekasihnya.
"Ssst, gak usah takut ya, ada aku kok disini, meskipun kita jauh, tapi hati kita dekat, bukan? Jadi tenanglah." Nurul mencoba menenangkan diri walauoun sesekali masih terisak.
"Baiklah sayang, aku mau mandi dulu dan menenangkan diri atas kejadian tadi. Terima kasih karena telah mendengarkan curhatanku, aku mencintamu."