Sepatuku dicuri, dan pencurinya bunuh diri tepat di depan mataku.
**
11 Januari 2022, Hari Kejadian
Aku menikmati sarapan roti bakar ditemani taburan kismis kecupan manis Ayah yang mendarat di pipi Ibu. Selalu. Aku hampir muntah karena disuguhi tiap hari.
Sesuatu yang manis kalau terlalu sering dimakan akan membuat perutmu mual.
Ibu pernah cerita kalau pertemuan pertama mereka mirip dongeng Cinderella. Saat aku tanya apa Ibu anak tiri dari nenek, Ibu langsung mengataiku kurang ajar.
"Rin berangkat sama Cakra lagi?"
Ayah memecah lamunanku tepat saat piring sarapanku tandas. Jam dinding ikut mendesak agar aku bergegas.
"Rin piket hari ini, Ayah. Kalau nunggu Cakra nggak sempat," seruku. Dua puluh menit lagi pukul tujuh. Kalau berangkat sekarang, aku akan tiba pukul tujuh di sekolah.
Ayah mengangguk maklum.
"Ayah nggak ke kantor? Kok dari tadi bucin mulu sama Ibu?" tanyaku usil setelah merapikan piring makan.
Ayah menyeringai jahil.
"Kamu dan Cakra bagaimana? Masih sibuk pura-pura temanan?" timpal Ayah tak mau kalah.
Aku menggembungkan pipi kesal. Cakra hanyalah teman masa kecilku. Mustahil ada hal romantis di antara kami.
"I'm anti romantic, Ayah. Saya ma, sibuk belajar," kataku.
"Dengar itu, Sekar. Kalau putrimu benar-benar sibuk belajar, mungkin dia bisa masuk peringkat sepuluh besar di kelasnya," ejek Ayah, menoleh pada Ibu.
Ibu tersenyum lembut, lalu mengelus kepalaku yang meminta salam sebelum berangkat sekolah.
"Tidak apa-apa, loh, Mas. Yang penting putriku ini sehat dan bahagia," kata Ibu lembut.
"Ibu emang paling pengertian!"
Aku langsung memeluk leher Ibu, lalu memanyunkan bibir kepada Ayah. Pria empat puluh lima tahun itu hanya tertawa.
**
Aku tiba di SMA 43 Sura pukul tujuh tepat, setelah menempuh jarak lima kilo dalam waktu delapan belas menit menggunakan sepeda.
Aku bergegas menuju kelasku, bersiap melaksanakan tugas piket. Namun, tepat saat pintu kelas dibuka, aroma semerbak lemon menguar saat itu juga.
Ruangan kelasku sudah bersih. Kaca jendelanya tampak begitu mengkilap. Vas bunga di atas meja guru sudah tertata rapi. Deretan meja tampak berjajar.
Siapa yang membersihkannya? Tidak mungkin teman piket yang pemalas itu melakukannya.
"Ya, ampun, Airin. Hebat banget kamu bisa bersihin kelas sendirian kek gini," ujar seseorang dari belakangku.
Aku menoleh, teman piketku, Mita Septia, tengah menyelipkan anak-anak rambutnya ke belakang telinga. Matanya berbinar melihat kondisi kelas kami.
Aku tidak sempat menolak pujian dari Mita, ia sudah menarik tanganku masuk kelas.
"Kamu duduk manis aja, sekarang, ya. Aku beliin kamu minum dulu. Kamu pasti capek banget."
Mita langsung kabur setelah mengatakan itu, meninggalkan aku sendirian dalam ruangan dengan aroma semerbak lemon.
Aku merogoh laci meja untuk menyimpan tasku, lalu tanganku tak sengaja mendapatkan satu amplop berwarna ceri dari sana.
Pinggir amplop itu dilapisi pigmen keemasan dengan stempel surat dari lilin merah yang sudah dicap dengan simbol bunga mawar.
"Aku sudah membersihkan kelasmu. Datanglah ke teras lantai tiga pukul 11:54. Aku menunggu."
Tidak ada nama pengirim, tapi aku mengenali goresan tangannya. Setiap baris hurufnya sejajar satu sama lain. Ini persis tulisan Cakra.
**
"Airin!"
Aku mengangkat kepala, menemukan Mita sudah berdiri depan mejaku. Bel pergantian jam setelah istirahat sudah berbunyi. Setengah jam lagi aku harus naik ke teras.
"Ke perpus, yuk! Ketua kelas bilang, materi biologi berikutnya dititipkan di sana," papar Mita sambil sesekali menengok ke kiri.
Ada seorang cowok bertampang suram di sana, duduk tepat di barisan sebelah kanan. Kacamata bertangkai hitam dengan rambut kusam menyembunyikan mata suramnya. Aditya Rian, dipanggil Adit. Ia cowok yang acapkali caper padaku.
"Aku ikut," celetuk Adit tiba-tiba.