Pacar Palsu

Nurrahmah Sa Fa
Chapter #2

Menangkap Pencuri

Apa Pangeran benar-benar jatuh cinta pada Cinderella saat berdansa?

**

"Jangan anggap ini sepatu biasa, Rin. Ini jimat keberuntungan kamu. Jangan biarkan orang lain menyentuhnya apalagi meminjamnya."

Kata-kata Ibu terngiang begitu jelas di telinga bersamaan dengan abu dari surat itu yang terbang terbawa angin. Sepatuku hilang, aku diminta bertemu dengan si pencuri sebelum pukul dua belas.

 Aku tidak tahu orang gila mana yang main-main denganku sampai lakuin hal merepotkan seperti ini. Kalau ia suka padaku, bukankah langsung mengatakannya padaku itu lebih baik?

Aku menatap arloji perak di pergelangan tanganku, pukul sebelas tiga puluh dua menit. Dua belas menit lagi janji temu dari pengirim surat itu. Aku menaiki anak tangga di tengah gedung kelas pelan-pelan.

Aku tidak tahu siapa itu, tapi ada apa dengan firasat buruk ini?

"Jangan pergi sendirian, Rin!"

Peringatan Cakra yang terdengar konyol itu tiba-tiba menelusup hatiku dengan kejam.


Aku menapaki tangga gedung kelas dengan hati-hati, rasanya seperti menginjak pecahan beling. Seharusnya aku mengajak Mita, atau mungkin Adit. Surat itu tidak melarangku untuk datang bersama seseorang.

Gagang pintu teras sudah di depan mata, pintu itu sedikit terbuka. Mungkin pengirim surat itu sudah datang lebih dulu.

Angin sejuk langsung menampar wajah saat aku mendorong gagang teras, mataku yang terpapar cahaya matahari terik menangkap siluit seseorang di ujung teras. Postur tubuhnya tinggi menjulang dengan kaos hitam yang terasa menyengat.

Deretan bonsai setinggi orang dewasa di kiri kanan tidak bisa menjernihkan pandanganku dari siluitnya.

Jantungku berpacu dengan cepat tiba-tiba. Cowok berambut acak-acakan itu merentangkan kedua tangan seperti sepasang sayap Elang yang siap terbang ke mana saja.

Ia menoleh begitu aku menutup pintu teras dengan keras.

Ia menurunkan kedua tangannya saat aku berjalan mendekat. Sesuatu tampak melambai di tangan kirinya, itu tali sepatu biru yang diikat dengan kuat di sana. 

Apa itu tali sepatuku? Tali sepatuku punya warna yang sama dengan yang ada di pergelangan tangannya. 

"Nggak lucu tau nggak!" kataku sambil berjalan. Aku mengacungkan amplop surat itu tinggi, meminta perhatiannya. Kertas surat sudah terbakar habis, aku tidak bisa menunjukkannya. "Kenapa kamu minta aku datang kemari? Aku nggak kenal kamu, loh!" kataku lagi.

Wajah oval dengan rahang kukuhnya terpapar sinar matahari. Anak-anak rambut di dahinya menutupi sepasang mata tajam yang diarahkan padaku. Garis bibirnya tipis dan lurus, membuatnya tampak seperti karakter yang keluar dari suatu webtoon. Penampilannya berantakan seolah-olah ia bukan siswa SMA 43 Sura. Dengan tinggi kisaran 175, persis seperti tinggi Cakra.

"Kamu budek, ya? Kenapa kamu ngusilin aku? Nyuri sepatuku, lalu minta aku datang kemari?"

Aku menghela napas, jarakku dengannya tinggal lima langkah. Tapi tak satu pun pertanyaanku dijawabnya.

Ia berdiri di belakang pagar pembatas tanpa takut terjatuh dengan kaki telanjang tanpa sepatu.

"Kalau kamu butuh uang, aku bisa kasih kamu berapapun," tawarku. Dari penampilannya yang menyedihkan, aku yakin ia terlilit utang sampai nekat mencuri.

Jantungku berdebar semakin gila saat ia melirikku dengan ekor matanya tanpa mengatakan apa-apa. Mungkin ia bisu, karena itu ia menulis sepucuk surat padaku.

"Aku berterima kasih karna kamu udah bersihin kelasku, tapi kalau mau nembak aku ... nggak gini caranya," ujarku dengan kepedean akut.

Tatapannya kembali mengarah ke depan, ke arah dua pohon rindang bercabang depan perpustakaan. Aku diabaikan selayaknya debu. Lalu mengapa ia minta aku naik ke teras?

"Hei, pencuri!"

Tatapannya lalu beralih ke jalan raya ramai, tujuh puluh meter di belakang perpustakaan. Tatapan tajam tanpa suara seakan tengah berbicara dengan seseorang di sana lewat sorot mata. Apa yang ia lihat? Matanya tidak mungkin bisa melihat dari jarak sejauh itu.

Lihat selengkapnya