**
06 Januari 2018
"Kamu bebek, ya! Berhenti ngikutin aku!"
Aku berdiri di trotoar jalan dengan seragam merah putih kebesaran padahal sudah kelas empat sekolah dasar. Ibu lupa ukuran bajuku setiap membeli seragam baru, tapi tidak pernah lupa membeli dasi Ayah setiap tiga bulan sekali.
Saat teman seusia mengusiliku, hanya Cakra yang tetap di sampingku. Hari-hari orang tuaku keluar kota, aku dititipkan di rumah Cakra. Saat-saat itu, aku akan menempel pada Cakra seperti perangko.
"Pergi, nggak!"
Aku bergeming. Aku harus ikut ke mana pun Cakra pergi.
"Aku mau ikut kamu!"
"Budek! Pulang sana. Kubilang pulang!"
Suara Cakra keras sekali, telingaku sampai berdenging. Ia melempar es krim yang kuberikan untuk dimakan bersama teman-temannya ke tengah jalan. Es krim itu terlindas ban truk yang melintas. Sayang sekali, padahal aku membelinya dengan uang yang seharusnya ditabung untuk membeli hadiah ulang tahun Ibu tiga bulan lagi.
"Aku nunggu di taman saja kalau gitu, ya!" kataku lagi, menunjuk taman yang terletak 200 meter di belakangku.
"Aku nggak mau tau!"
Cakra berbalik menuju teman-temannya, aku pun menuju ke taman bermain. Aku akan menunggu sampai Cakra datang menjemput.
Aku menunggu.
Dua.
Tiga jam.
Malam tiba, tapi Cakra tak kunjung datang.
Aku lapar.
Seorang pria paruh baya tiba-tiba muncul, memberikan sebungkus roti sebesar kepalan tangan. Kata Ibu, aku tidak boleh sembarangan menerima makanan dari orang asing.
**
11 Januari 2022, Rumah Sakit
Kepalaku sakit seperti ditekan dengan kuat. Kaki dan tanganku bahkan sulit digerakkan.
Lidahku keluh, tenggorokan terasa kering. Sudah berapa jam aku berkeliling alam baka mencari sepatuku setelah melompat dari lantai tiga tadi? Apa aku sudah sampai di terminal pemberhentian untuk diperlihatkan harapan dan dosa-dosaku sebelum dilempar ke wajan neraka?
Aku memaksa mata terbuka, pemandangan pertama yang tertangkap mata hanyalah plafon putih. Bukan bara api apalagi penjaga neraka.
Cairan bening menetes pelan dari botol infus, mengalir masuk melalui urat nadi lengan kiriku. Aroma obat-obatan yang menggelitik hidung membuatku sadar ada di mana aku sekarang.
Rumah sakit.
Bagaimana dengan cowok itu?
Seseorang tampak tengah duduk bersandar di kursi sambil membaca buku olahraga di ujung tempat tidur.
Cakra Jenggala.
Ada lega yang lolos dari dada saat melihat Cakra. Lega karena pertengkaran yang terlintas tadi hanyalah mimpi. Cakra tidak mungkin bersikap sekasar itu padaku. Cakra selalu baik dan perhatian padaku.
"Kamu nggak apa-apa? Bisa dengar aku? Ini berapa? Kamu tau siapa aku?"
Cakra mendekat ke samping kepalaku begitu mata kami bertemu, kemudian mengacungkan dua jari untuk mengetes sepintar apa aku selama enam bulan belajar di SMA 43 Sura. Hasil raport semester satu kemarin memang bikin khawatir, tapi aku tidak sebego itu.
"Sepatu ... sepatuku mana?" tanyaku pelan, mengabaikan pertanyaannya.
"Apa itu yang lebih penting sekarang?"
Nada suara Cakra terdengar marah. Aku menggerakkan kepalaku pelan.
"Rin!" Cakra meninggikan suaranya, aku tahu ia khawatir tapi sepatuku lebih penting sekarang.
"Kamu sengaja lompat dari sana, kan?"
Aku terkesiap dan menatap Cakra lamat. Apa yang baru saja ia katakan? Seluruh badanku remuk redam, terlebih pundak sebelah kiri. Semua rasa sakit di tubuhku, mana mungkin aku dengan sengaja mau merasakan ini semua.