Mengapa sepatu kaca hanya cocok di kaki Cinderella?
**
15 Januari 2022
Empat hari berlalu sejak sepatuku hilang. Ada canggung yang tercipta sesaat setelah aku tiba di rumah, kemarin. Aku enggan bicara, Ibu pun tidak menanyakan apa-apa, sementara Ayah langsung keluar kota setelah menjemput aku dari rumah sakit.
"Rin, sudah kuat ke sekolah?" tanya Ibu begitu aku selesai sarapan.
Aku menunjuk seragamku yang sudah rapi. Aku tidak bisa absen lama dari sekolah. Pencuri sepatuku sedang berkeliaran bebas di luar sana, aku tidak tenang. Lagipula, secara ajaib cedera kami tidak begitu parah.
Kebetulan kami mendarat di atas rumput setebal satu meter. Tapi kupikir, itu bukan kebetulan semata, anak itu sengaja menarik tubuh kami ke pinggir perpustakaan tempat rumput tebal itu berada.
Alhasil, ia hanya mengalami patah lengan kanan dengan sedikit benturan di kepala, tidak sampai menyebabkan geger otak. Cedera lengannya pun karena digunakan untuk menahan kepalaku. Secara tidak langsung, aku yang menyebabkan tangannya digips.
Aku mengecup pipi Ibu sebelum pamitan seperti biasa. Sekalipun ada banyak pertanyaan tentang perkataan Ayah di rumah sakit, semua itu tersangkut di tenggorokan. Ayah memperlakukan aku seolah-olah ini bukan kali pertama aku jatuh dari ketinggian. Mungkin dulu, aku pernah teledor. Atau barangkali, apa yang aku impikan akhir-akhir ini bukan sekadar sebuah mimpi, tapi ingatanku yang terkubur.
Akhir-akhir ini aku selalu terbangun dengan mimpi buruk. Dalam mimpi itu, aku melihat diriku tengah mengulurkan tangan pada seorang anak. Aku tidak tahu siapa anak itu, wajahnya tidak mirip dengan siapapun yang aku kenal.
"Rin, hati-hati di sekolah, ya. Kalau ada yang bully kamu segera lapor ke guru atau Cakra. Ya, Sayang?"
Aku tersentak saat Ibu menyentuh pundakku, lalu mengangguk pendek. Ibu memelukku erat seakan-akan aku akan berangkat ke medan perang dan tidak akan kembali. Ayolah, aku, kan, hanya ke sekolah.
Ibu punya intuisi yang kuat seperti seorang saman. Mungkin Ibu juga sudah tahu kalau sepatuku hilang.
Kekhawatiran Ibu yang tampak aneh itu terbukti saat aku menaiki mobil yang menjemputku. Mercedes Benz yang dikendarai oleh supir keluarga Cakra, Mang Diman.
Aku tidak tahu apa yang salah dengan Cakra hari ini, wajahnya tampak masam saat datang menjemputku. Ia bahkan tidak keluar dari mobil seperti biasa, hanya Mang Diman yang membukakan pintu untukku. Cakra sedang fokus membaca buku olahraga saat aku masuk mobil.
"Kenapa kamu nggak ikut jemput aku dari rumah sakit? Kamu marah, ya, gara-gara Ayah marahin kamu?" tanyaku akhirnya, saat hening begitu sesak di tenggorokan. Saat kami hampir tiba di sekolah.
"Aku sibuk!" balasnya tanpa menatapku.
"Memangnya kamu sibuk apa, sih? Tinggal nebeng mobil ayahku, beres!" tukasku.
"Ada Om dan Tante, Rin!" Ia memiringkan pundaknya menghadapku dengan raut wajah kesal, lalu menutup bukunya keras. "Masih perlu aku?"
Aku terkejut mendapati sorot matanya yang terlihat kesal.
"Aku maunya kamu juga jemput aku," tuntutku.
Cakra tidak membalas apa-apa, kami kembali diselimuti beku yang tidak seharusnya.
Aku turun dari mobil setelah kami sampai dengan perasaan kesal. Seharusnya ia mengutamakan aku daripada kesibukannya.
**
Aku tidak ingin percaya dengan semua mitos ataupun takhayul yang dikatakan Ibu. Saat Ibu memberikan sepatu bertali biruku itu sambil mengatakan kalau itu jimat keberuntungan, aku menatap Ibu tak percaya.
Keberuntungan atau kesialan tidak tergantung pada suatu benda. Aku yakin itu.
Namun, semua itu dimulai dari grafiti merah padam di atas mejaku yang bertuliskan 'PEMBUNUH'. Lalu, tetesan cat merah kental mengalir pelan dari kaki-kaki meja itu.
Cairan hitam kental mirip tinta tumpah dari dalam bekal makan siangku, alhasil aku harus ke kantin untuk mengisi perutnya. Saat di kantin sekolah, Adit menyenggol bahuku dengan secup pop ice hingga seragamku kotor.