Seperti biasa Sanny pergi ke sekolah dengan menggunakan bis umum. Meskipun ia berasal dari keluarga yang cukup berada tapi, gadis itu tidak selalu di manjakan dengan semua fasilitas yang di berikan oleh kedua orang tuanya. Baru lima langkah Sanny masuk melalui pintu gerbang. Ia sudah di kejutkan dengan kehadiran Nadya yang tiba-tiba muncul dari arah belakang dan langsung menarik lengannya.
"OMG! San gawat! Gawat! Gawat!" Nadya kelimpungan.
"Ada apa lagi sih Nad. Jangan bilang lo belum sarapan atau lo lupa bawa tugas."
"Bukan itu San. Gue sih udah sarapan tadi sama tumpeng." Tubuh Nadya menggeliat seperti ulat yang kepanasan.
"Ha! lo sarapannya sama tumpeng," kaget Sanny.
"Iya, nasi tumpeng ada ayamnya, perkedel, telor balado, eh tungggu... tunggu." Nadya menggerak gerakan kedua tangannya. "Kok kita jadi ngomongin soal tumpeng sih."
"Iya terus kenapa lo panik gitu?" tanya Sanny.
"Itu si Alvin lagi di bully sama si Genta di taman belakang sekolah."
"Sumpah demi apa? Tara mana?" Sanny panik nafasnya jadi tidak beraturan.
"Dia masih di jalan. Tadi udah gue telepon tapi katanya masih jauh. Gimana dong ini," kata Nadya dengan wajah yang panik.
Tanpa berpikir panjang Sanny menggunakan kekuatan langkah kaki seribu untuk menuju taman yang berada di belakang sekolah.
"Duit lo mana? Duit lo!," bentak Genta salah seorang murid SMA GOINTRA yang sangat terkenal bandel dan suka menindas murid yang dia anggap lemah.
Alvin terlihat ketakutan. Bola matanya bergerak gerak tak beraturan kekanan dan kekiri. Alvin yang badanya lebih kecil dari Genta terlihat tidak berani untuk melawan. Terlebih lagi di sana tidak hanya ada Genta tapi juga kedua temannya Rio dan Bima yang kelakuannya sama saja seperti Genta. Rio dengan kasar merogoh saku Alvin dan mengambil uangnya.
"Jangan itu uang gue," ucap Alvin sedikit gemetar.
"Yaelah Vin lo kan orang kaya duit segini sih gak bearti buat lo," kata Genta.
Bima yang memegangi tubuh Alvin dengan sengaja mendorong Alvin hingga ia terjatuh.
"Alvin!" teriak Sanny.
Gadis muda itu berlari ke arah Alvin yang terjatuh dan membantunya untuk berdiri. "Lo gak apa-apa?"
Alvin hanya menggelengkan kepalanya pelan. Sanny membantu laki-laki itu mengenakan kacamatanya yang tadi terlepas. Sanny menatap Genta dengan sinis. Matanya tajam menatap ketiga laki-laki yang telah menindas sahabatnya itu.
"Balikin duitnya," tegas Sanny.
Genta menepuk nepukan kedua telapak tangannya dan berjalan ke hadapan Sanny. "Sanny, Honey, Sweety, lo tuh manis banget sih kalau lagi marah. Gue, emmm.. maksudnya aku jadi makin sayang deh sama kamu." Rio dan Bima tertawa kecil melihat Genta sedang menggoda Sanny.
"Balikin duitnya atau gue bilang sama guru BP," gertak Sanny yang sebenarnya ia sedang menyembunyikan rasa takut di dalam hatinya. Ini pertama kalinya ia berhadapan langsung dengan Genta. Meskipun sebenarnya ia sudah sering mendengar soal tingkah Genta dan kawan-kawannya tapi baru hari inilah ia merasakan langsung kenakalan dari ketiga orang itu.
"Oh, Sanny sayang ngancem nih ceritanya. Jangan gitu dong sayang." Genta memegang kedua pundak Sanny.
Sanny dengan kasar menyingkirkan kedua tangan Genta dari pundaknya. Dan seperti merasa tersinggung Genta yang emosional menunjukan mimik wajah marah. Ia menatap Sanny dengan tajam, hingga membuat jantung gadis itu berdegub lebih kencang.
"Lo enggak ada sopan sopannya ya sama cowok. Cewek lembek kaya lo harusnya seneng bisa gue sentuh," geram Genta.
"Gue ini cewek baik-baik yang gak bisa di sentuh sama sembarang cowok. Apalagi cowok kaya lo " balas Sanny.
"Cowok kaya gue. Apa tuh maksudnya cowok kaya gue." Genta dengan cepat memegang pergelangan tangan Sanny. Ia memegangnya dengan kencang hingga Sanny kesakitan. Dan entah datang dari mana tiba-tiba Kanzo muncul dan langsung melepaskan cengkraman tangan Genta pada Sanny.
"Cowok alay yang beraninya cuma sama cewek," ucap Kanzo menjawab pertanyaan dari Genta.
Kini Sanny berdiri di belakang Kanzo. Laki-laki itu melindungi Sanny dari hadapan Genta. Sementara Sanny melihat pergelangan tangannya yang memerah karena di cengkram dengan kuat oleh Genta.
"Cowok berengsek kaya lo itu harus di hajar. Supaya lo tahu gimana rasanya di perlakukan seperti sampah," kata Kanzo. Laki-laki itu menoleh ke arah Sanny sambil mengedipkan satu matanya dan dalam beberapa detik kemudian perkelahian antara Kanzo dan Genta tidak terelakan. Mereka berdua berduel seperti dua orang atlet tinju yang sedang berlaga di arena pertandingan.
Sanny melihat perkelahian itu dengan ngeri. Ia hanya bisa menyaksikan dari sisi taman tanpa bisa memberi pertolongan. Ia melihat Kanzo tersungkur ke rumput. Ada luka memar yang terlihat di wajahnya. Kanzo masih merasa kesakitan, ia belum bisa bangkit dari atas rumput. Sementara itu Genta mendekati Kanzo seolah ingin menghabisi Kanzo hanya dengan sekali pukulan.
Sanny melihat raut wajah Genta yang memerah karena emosi yang sudah memuncak. Sesaat ia melihat ke arah Kanzo yang masih merasa kesakitan. Gadis itu merasa harus ada sesuatu yang ia lakukan sebelum Genta mendekati Kanzo, tapi apa? Apa yang harus ia lakukan? Ayo otak cepatlah temukan ide yang cermelang. Ia tidak mungkin membiarkan Genta kembali menghajar Kanzo.
Genta Semakin mendekat ke arah Kanzo yang belum bangkit. Jaraknya kini hanya dua meter dari Kanzo. Duubkkk, suara hantaman sebuah benda terdengar di telinga Kanzo. Laki-laki muda itu melihat kepala Genta terhantam sepatu yang sengaja di lemparkan oleh Sanny. Genta meringis sakit hanya sesaat dan berbalik badan menatap tajam ke arah Sanny. Genta berjalan ke arah Sanny yang membuat gadis itu menjadi panik.
Namun dengan cepat Kanzo menendang Genta hingga pria itu tersungkur ke tanah. Kanzo mengacungkan jempol kananya ke arah Sanny sambil tersenyum. Gadis itu melihat Kanzo dengan cara yang berbeda. Entah mengapa ia merasa laki-laki itu kini terlihat sangat menarik di matanya. Waktu seakan melambat ia bisa melihat wajah Kanzo yang tersenyum kearahnya sambil mengacungkan jempol.
Ada sesuatu yang berbeda yang dilihat oleh Sanny. Apa karena efek sinar matahari pagi sehingga wajah Kanzo terlihat sangat menarik di matanya. Atau karena senyumannya yang terlihat tulus atau karena acungan jempol tangannya yang menunjukan bahwa Kanzo menyukai ide melempar sepatu dari Sanny. Lamunan gadis itu terbuyarkan oleh suara peluit dari satpam sekolah yang berlari ke arah mereka.
Dengan panik mereka semua yang ada di taman berlarian ke sana kemari. Mereka bersembunyi dari kejaran satpam sekolah. Jangan sampai mereka tertangkap oleh kedua orang satpam itu. Karena jika tertangkap urusannya bisa sampai ke meja guru BP dan ujung-ujungnya orang tua mereka akan di panggil ke sekolah.
"Ayo lari!" Kanzo menarik tangan Sanny dan mengajaknya berlari ke ujung jalan belakang.
"Gue" Alvin menunjuk dirinya sendiri.
Kanzo menoleh ke arah Alvin. "Masa gue harus narik tangan lo juga. Nanti apa kata orang."
Alvin gelagapan ia akhirnya berlari mengikuti Kanzo dan Sanny. Sementara Genta dan kedua temannya juga berlari entah kemana. Kedua satpam itu berhenti di tengah taman. Mereka hanya bisa melihat para murid berlarian menjauhi mereka.
"Kita lewat pintu belakang aja," ucap Kanzo.
"Pintu belakang bukannya selalu di kunci ya," kata Sanny.
Kanzo hanya tersenyum tanpa menjawab rasa penasaran dari Sanny. Mereka bertiga sudah ada di bagian belakang sekolah. Ada sebuah pintu kecil yang tertutup rapat. Kanzo mendorong sebuah drum bekas bahan bakar yang sudah berkarat di beberapa bagian. ia meletakan drum itu di samping tembok.
"Vin lo duluan," ucap Kanzo membantu Alvin untuk meloncati tembok. lalu ia membantu Sanny untuk naik ke atas drum dan melompati tembok.