Thakia kaka perempuan Sanny yang selalu ingin tahu urusan adiknya membawa sepatu hitam yang ia bawa dari teras belakang. Ia membawa sepatu itu ke meja makan, dimana Sanny dan kedua orang tuanya sedang sarapan.
"Sepatu siapa nih," Thakia memperlihatkan sepatu itu kehadapan ketiga orang yang sedak duduk di sisi meja makan. "ini kan sepatu cowok."
Sanny menelan sarapannya dengan kencang. Ia menatap sepatu itu dengan gelisah. Gawat! ia lupa menyembunyikan sepatu milik Kanzo. kemarin ia menyimpannya begitu saja di teras belakang.
"Bukan punya Papah," ucap Surya orang tua Sanny dan Thakia.
"Apalagi Mamah," kata Ratna, ibu Sanny.
Thakia mengerutkan dahinya. Gadis yang kuliah semester enam itu menatap adiknya dengan curiga. Sanny yang tahu sedang di perhatikan jadi sedikit gelisa. Ia tidak bisa bohong dari kakaknya itu. Tapi masa ia harus jujur, kakaknya pasti akan menggodanya sepanjang hari.
"Itu punya Tara. Kakak tau kan dia tomboy," bohong Sanny.
Thakia menaikan satu alisnya. "Masa sih. Kok ukuran sepatunya besar banget ya."
Sanny mengalihkan tatapan matanya ke arah lain. Ia menghindari Tatapan mata kakaknya yang sangat tajam, bahkan jauh lebih tajam dari tatapan Mata Najwa. "Iya beneran."
"Bohong! Orang di sini ada tulisan namanya Kanzo." Thakia memperlihatkan bagian dalam sepatu Kanzo yang terdapat nama yang di tulis dengan pulpen.
"WHAT!" Sanny terperanjak ia melihat tulisan nama Kanzo di bagian dalam sepatu. Ia tidak menyangka laki-laki itu menulis namanya sendiri di dalam sepatu. Apa sih maksudnya supaya gak ketuker. Memangnya dia pikir itu sandal jepit apa. "Ih... norak banget sih tuh orang," gumam Sanny.
"Siapatuh Kanzo. Cowok lo ya," tanya Thakia.
"Ha! Kamu udah punya pacar!" kaget Ratna.
"Pacar! Siapa? cowok kan," kata Surya.
"Akhirnya," ucap Thakia.
"Alhamdulillaah. Terima kasih, terima kasih." Ratna mengangkat kedua tangannya sambil menengadahkan wajahnya ke atas.
Orang tua Sanny begitu heboh. Karena ini baru pertama kalinya mereka mendengar anaknya itu dekat dengan seorang laki-laki. Tapi sesaat kemudian Surya mengeluarkan dompet dan memberikan uang pecahan seratus ribu rupiah kepada istrinya. Begitu juga dengan Thakia yang baru saja mengambil uang seratus ribu rupiah dan langsung di berikan kepada ibunya dengan mimik wajah cemberut.
Ratna mengambil uang-uang itu dengan riang. Ia merapihkan dua lembar uang yang baru ia terima sebelum ia masukan ke dalam dompet. Sementara Sanny hanya diam memperhatikan. Ia bingung untuk apa ayah dan kakaknya memberikan uang kepada ibunya.
"Uang apa itu?" tanya Sanny bingung.
"Gue, Mamah sama Papah curiga kalau lo lesbian. Makanya kami taruhan, yang salah harus kasih uang ke yang benar," jawab Thakia.
"Iya, dan Mama percaya kalau kamu bukan lesbian. Jadinya Mamah yang menang deh," ujar Ratna kegirangan.
Sanny menganga ia tidak percaya keluarganya berpikir kalau ia seorang lesbian. "Apa! Kalian taruhan kaya gitu, sungguh teganya. Tapi kenapa kalian bisa pikir aku ini lesbian."
"Ya lagian kamu mainnya cuma sama Tara, Nadya, Alvin. Kamu gak pernah ngajak temen laki-laki kamu yang lain main ke rumah," ucap Surya.
"Loh Alvin kan Laki-laki Pah!"
"Iya sih tapi..."
"Tapi apa?" Sanny menunggu jawaban papahnya.
"Terus kapan kamu mau ngenalin si pemilik sepatu itu sama Mamah," kata Ratna menunjuk sepatu hitam yang di pegang Thakia.
Sanny mengatur napasnya. Ia masih tidak percaya keluarganya menuduh dirinya seorang lesbian. Belum lagi ia harus menjelaskan soal Kanzo. "Ok pertama, aku bukan lesbian." Sanny membuka kedua matanya lebar-lebar untuk meyakinkan keluarganya. "Kedua Kanzo bukan pacar aku. Dia cuma temen sekelas."
"Baru temen sekelas kok tuker-tukeran sepatu. Nanti kalau udah jadi pacar sekelas kira-kira tukeran apa ya?" kata Thakia.
Surya menjentikan jari. "Cincin!"
Ratna menepuk kedua telapak tangannya. "Kaus couple."
Sanny merasa sebal dengan tingkah kedua orang tuanya. Gadis itu berdiri dan mengambil sepatu Kanzo. "Ihhh... apaan sih, udah ah aku berangkat sekolah dulu." Sanny meninggalkan meja makan dengan langkah cepat. Ada perasaan antara malu dan risih yang ia rasakan dengan tingkah keluaganya yang unik.
===
Sanny berjalan ke arah meja Kanzo yang ada di bagian belakang. Sementara laki-laki itu sedang duduk santai di samping Jokan. Kancing baju Kanzo terbuka satu. Rambutnya sedikit berantakan. Diantara yang lainnya cuma dia seorang yang tidak memakai dasi. Kanzo memperhatikan Kedatangan Sanny. Ini bersejarah, karena untuk pertama kalinya sejak mereka sekelas, Sanny datang menghampiri meja Kanzo.
"Nih sepatu lo." Sanny melempar sepatu Kanzo yang sudah di bungkus dengan pelastik. Tanpa basa-basi gadis itu berbalik dan berjalan pergi. Tapi baru dua langkah ia langsung berhenti dan kembali mendekati Kanzo. "Kenapa sepatunya di kasih nama sih? Norak tau gak. Memangnya lo pikir itu sendal jepit apa."
Jokan tertawa geli. Tanpa permisi ia membuka bungkusan pelastik itu dan melihat nama Kanzo tertulis di dalam sepatu. "Gila lo! Takut kehilangan banget ya, sampe-sampe sepatu aja lo namain," kata Jokan.
"Kanzo tersenyum kecil. Ia menatap Sanny yang sedang berdiri. "Kamu mau tau kenapa sepatunya saya kasih nama."
"Gak penting!" Sanny berbalik dan benar-benar pergi meninggalkan Kanzo. Ada sedikit rasa penasaran di hatinya kenapa Kanzo menuliskan namanya sendiri di bagian dalam sepatu. Namun ia takut Kanzo berpikir kalau dirinya tertarik dengan hidup laki-laki itu. Kanzo dengan cepat meraih sepatu yang ada di atas meja. Ia berlari mengejar Sanny yang sedang menuju perpustakaan.
Sanny berjalan perlahan di antara rak-rak yang di penuhi oleh buku. Ia mencari buku sejarah yang tiga hari lalu belum selesai ia baca. Hanya ada dia sendiri di sana. Bu Ati si penjaga perpustakaan sedang berada di ruang guru, entah karena ada hal penting atau hanya ingin bergosip dengan guru lainnya di sela jam istirahat. Sanny melihat buku itu tersimpan di bagian paling atas rak buku. Ia berusaha untuk mengambilnya namun tangannya tidak sampai. Di saat itu Kanzo yang bertubuh tinggi mengambilkan buku itu dan memberikannya pada Sanny.
"Makannya tumbuh tuh ke atas bukan kesamping," ucap Kanzo.
Sanny memukul bahu Kanzo dengan buku yang baru ia pegang. "Lo ngikutin gue ya,"
"Iya," ucap Kanzo dengan santainya.
"Kenapa?"
"Kamu mau tau gak kenapa Saya tulis nama saya sendiri di dalam sepatu."
Sanny membuka buku sejarah di tangannya. Ia menatap ke lembaran buku itu, tapi tidak untuk membacanya melainkan hanya untuk menghindari tatapan mata Kanzo. Gadis itu menelan ludahnya. Ia masih penasaran tapi malu untuk bertanya. Kanzo sepertinya mengerti betul bahwa Sanny sangat penasaran. Laki-laki itu melihat wajah Sanny dari samping. Ia lihat Sanny menjilat bibirnya sendiri, mengedipkan matanya berkali-kali, mengaitkan helaian rambutnya di belakang daun telinga, benar dia pasti penasaran pikir Kanzo dalam hatinya.