Satu demi satu kelompok telah mempresentasikan tugas mereka di depan kelas. Bu Husni yang tegas sebenarnya telah membaca artikel mereka satu persatu dan ia akhirnya memilih artikel kelompok Sanny yang keluar sebagai juaranya.
"Ini hadiahnya," ucap Bu Husni menyerahkan tiga buah tiket nonton bioskop.
Sanny mengambilnya dengan senang, meskipun ia agak merasa sedikit aneh kenapa hadianya berupa tiket nonton. "Makasih Bu." Sanny kembali ke tempat duduknya dan pelajaran hari itu di akhiri oleh Bu Husni.
Bel istirahat berdering kencang, membuat para murid tahu kalau ini saatnya bagi mereka untuk mengisi perut yang kosong dengan jajanan yang ada di kantin. Alvin sedang memesankan bakso untuk teman-temannya. Sementara ketiga orang gadis itu duduk menunggu di meja.
"Ciee yang mau nonton bertiga. Gue jadi penasaran nanti yang bakalan jemput lo siapa ya. Kanzo atau Fauzan," ucap Nadya.
"Ha! jemput. Maksudnya?" Sanny bingung.
"Ya iyalah San, mereka berdua pasti gak bakal ngebiarin lo dateng sendiri ke bioskop. Mereka pasti bakal dateng ke rumah lo terus minta ijin deh sama orang tua lo," ujar Nadya.
"Tapi gue bisa kok dateng sendiri ke bioskop."
Tara menaruh kedua tangannya di atas meja kantin. "Please deh San, itu memang udah peraturannya. Cowok kalau mau ngajak cewek nonton atau jalan pasti bakalan minta ijin dulu sama orang tuannya," terang Tara.
"Harus ya memangnya. Wajib banget ya?" ucap Sanny.
"Ya iyalah San. Wajib, dulu Alvin juga kaya begitu," Tara langsung menutup matanya dan mengigit bibirnya sendiri. Ia terlihat sedikit menyesal telah mengeluarkan kata-kata itu.
Sanny dan Nadya langsung menatap Tara yang jadi gugup. Sanny dan Nadya saling tatap sambil memicingkan kedua matanya. Mereka berdua mencurigai sesuatu antara Tara dan Alvin.
"Lo pernah nonton berdua sama Alvin," kata Nadya.
"Kapan? Dimana? Kok kita gak pernah tau ya," ucap Sanny.
Nadya menyentuh pundak Tara yang duduk di sampingnya. Perlahan ia mendekatkan wajahnya pada Tara yang mimik wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu. "Lo sama Alvin pasti ada apa-apa."
Alvin datang sayup-sayup ia mendengar seperti ada yang sedang membicarakannya. "Gue kenapa?"
Nadya menjauh dari tubuh Tara lalu menatap Alvin yang duduk di samping Tara. Sanny tersenyum penuh makna pada Alvin. Gadis itu melihat bangku yang ada di sampingnya kosong, tapi kenapa Alvin malah memilih duduk di samping Tara.
"He! Vin itu bangku di samping Sanny kan kosong kenapa juga lo harus duduk di situ," kata Nadya.
Alvin gelagapan ia sendiri bingung kenapa duduk di samping Tara. Laki-laki berkacamata itu mengerjapkan matanya. Ia lalu berdiri dan pindah ke samping Sanny.
"Emm.. tadi gue gak liat," ucap Alvin.
Tara menelan ludahnya. Ia merasa panas padahal cuacanya tidak panas. "Gue mau ke toilet sebentar ya," ucapnya lalu pergi dari kantin.
Kanzo jalan sambil merangkul pundak Jokan. Ia dan temannya itu baru tiba di kantin. Mata Kanzo menjelajah seisi kantin yang ramai seperti di pasar. Ia mencari seseorang yang ingin ia ajak bicara. Laki-laki itu tersenyum ketika melihat seorang gadis sedang sedang duduk dengan teman-temannya. Ia menepuk pundak Jokan dan meninggalkan temannya begitu saja.
"San nanti malem saya jemput kamu ya," ucap Kanzo yang berdiri di ujung meja.
"Mmm.." Sanny menatap Nadya yang langsung melotot sambil meangguk pelan. "Bo, boleh," ucapnya sedikit ragu.
"Ok, kalau begitu nanti malem saya jemput,"
"Oh ya! Fauzan gimana?"
Kanzo berdecak lidah. Tiba-tiba kesenangannya langsung luntur. Kenapa sih gadis itu selalu bertanya, Fauzan dimana? Fauzan gimana? Fauzan, Fauzan, Fauzan. Kanzo sedikit kesal ia berpikir nanti jika punya anak ia tidak akan memberikan nama anaknya dengan awalan huru F dan akhiran huruf N. Karena itu pasti akan mengingatkannya pada Fauzan. Seharusnya kan ketika bersama dirinya ia tidak perlu memikirkan laki-laki lain. Tapi gadis ini, sungguh menjengkelkan, selalu saja menanyakan keadaan laki-laki lain ketika sedang bersamanya.
Kanzo menggaruk kedua alisnya. "Kan saya udah pernah bilang Fauzan itu udah gede jadi nanti dia juga pasti bakalan dateng sendiri."
"Kalau dia nyasar gimana?" ucap Sanny.
"Ini kota kecil, dan cuma ada dua mall di kota ini, jadi dia gak mungkin nyasar," kata Kanzo sambil mengatur napasnya.
"Kalau di culik!"
Kanzo mendengus. "Dia jago silat jadi dia gak mungkin bisa di culik."
"Kalau dia.."
"Udah stop! Dia itu sahabat saya dan saya tau betul dia orangnya kaya gimana jadi gak perlu khawatir sama dia. Pokoknya nanti malem kamu saya jemput, ok" Kanzo lalu berjalan pergi dari sana.
"Sahabat!" ucap Sanny cukup kencang hingga bisa menghentikan langkah Kanzo.
Kanzo berbalik badan dan melihat ke arah Sanny yang sudah dalam posisi berdiri. Gadis itu menatap Kanzo di tengah orang-orang yang sedang berlalu lalang. Baginya ini yang kedua kalinya ia mendengar kata Sahabat di antara Kanzo dan Fauzan. Gadis itu ingat betul Jokan juga pernah mengatakan kata sahabat ketika mereka sedang mengerjakan tugas di rumah Kanzo.
Laki-laki muda yang saat ini sedang menatap Sanny hanya terdiam. Kanzo merasa aneh sendiri kenapa ia bisa mengatakan Fauzan itu adalah sahabatnya. Padahal saat ini hubungannya dengan Fauzan sangatlah tidak baik. Apakah mungkin ini karena ingatannya akan ia dan Fauzan dulu masih sangat kuat. Sehingga meskipun saat ini mereka berdua bermusuhan ia masih tetap menganggapnya sahabat.
Kanzo hanya bisa tersenyum pada gadis itu. Ia tidak bisa menjawab rasa penasaran yang saat ini Sanny sedang rasakan. Laki-laki itu berbalik badan dan melanjutkan langkahnya meninggalkan kantin. Gadis itu kembali duduk namun rasa penasaran masih menguasai pikirannya. Sayup sayup tanpa sadar ia berguman mengucapkan kata 'sahabat' dari bibir merahnya.
===
Kanzo berdiri di depan cermin lemari pakaiannya. Ia memakai baju berlengan panjang dan celana jeans hitam. Laki-laki muda itu menggunakan pomade pada rambutnya dan menatanya dengan rapih. Ia lalu berjalan keluar kamarnya dan menuruni anak tangga. Suara dering ponsel Kanzo menghentikan langkahnya. Ia masih berada di tengah tangga. Kanzo melihat sebuah pesan masuk ke ponselnya. pria itu tertegun, alis matanya mengkerut melihat isi pesan itu.
===
Di kamar, Sanny mengambil satu persatu pakaian terbaiknya. Ia menaruh pakaian itu di depan tubuhnya sambil bercermin. Tidak, yang ini juga tidak, apalagi yang ini. Ia melihat pakaiannya dan merasa tidak ada yang cocok. Gadis itu lalu memeriksa kembali lemari pakaiannya dan menemukan satu gaun yang menurutnya cocok.
Sanny duduk di meja riasnya dan mempoleskan sedikit riasan di wajahnya. Ia lalu berdiri dan kembali merapihkan skirt dress jingga yang sedang di pakainnya. Gadis itu keluar dari kamarnya dan menghampiri kakak dan kedua orang tuannya yang sedang menonton televisi di ruang keluarga.
"Widihhh... yang mau pacaran, rapih amat neng. Mau pacaran atau mau ke undangan," goda thakia.
"Anak mamah cuco meong ah!"
Surya mengacungkan jempolnya. "Nah gitu dong dandan biar banyak yang naksir."
Sanny menyunggingkan bibirnya. Ia lalu duduk di samping kakaknya. "Percuma aja banyak yang naksir kalau ujung-ujungnya Papah bikin takut mereka semua," ucap Sanny.
"Loh justru di situ, di situ tantangannya. Buat dapetin anak gadis yang di sayang sama bapaknya, gak gampang," ucap Surya ia lalu merangkul istrinya yang sedang bersandar di bahunya. "Kaya Papah dulu, buat dapetin Mamah kamu. Hadeuuuhhh.... almarhum Kakek kamu selalu ikut setiap kali Papah sama Mama jalan berdua. Kamu tau gimana rasanya. Udah deh, udah jangan, jangan di bayanging Papah suka takut kalau inget masa lalu," Surya bergidik tubunya terasa merinding.
Suara bel berbunyi membuat Sanny langsung terbangun dari duduknya dan berjalan menuju pintu depan. Gadis itu merapihkan rambut dan pakaiannya sebelum membuka pintu. Tersenyum, tentu saja ia tersenyum sambil membuka pintu. Namun senyumnya berganti dengan rasa terkejut ketika ia melihat Fauzan yang berdiri di balik pintu.
"Loh! Fauzan. Kok lo sih yang jemput gue."
Fauzan berdehem. "Iya, tadi Kanzo sms gue, katanya dia harus pergi dulu ke tempat lain. Tapi katanya dia pasti dateng kok. Jadi kita tunggu aja di sana," ucap Fauzan.
Sepertinya gadis itu merasa sedikit kecewa. Ia pikir laki-laki menyebalkan itu yang akan menjemputnya. Sanny hanya tersenyum ia sebenarnya bertanya tanya, kemana sih Kanzo sampai-sampai harus meminta Fauzan untuk menjemputnya.
"Oh ini pacarnya Sanny. Ayo masuk," ucap Thakia yang tiba-tiba muncul dari belakang dan langsung menarik tangan Fauzan.
"Emm..dia bukan cowok gue," ucap Sanny berlari kecil masuk ke dalam rumahnya.
"Mah, Pah nih orangnya udah dateng," kata Thakia.
" Malam Om, Tante," kata Fauzan. "Saya.."
Ratna berdiri dan mendekati Fauzan. "Oh jadi ini si pemilik sepatu itu," ucap Ratna.
Sanny membelalakan matanya. Ia tidak ingin mereka membahas soal sepatu itu. Sanny bergeleng geleng pelan ke arah ibunya.
"Sepatu?" ucap Kanzo, tidak mengerti apa maksud ibu Sanny.
"Iya sepatu kamu. Siapa namanya." Ratna memejamkan matanya untuk mengingat tulisan yang ada di dalam sepatu yang pernah ia lihat.
"Kanzo!" ucap Thakia.
Tubuh Sanny terasa lemas. Keluarganya salah mengenali orang. Gadis itu menghela napasnya. Ia terlihat semakin gelisah dengan tingkah keluarganya.
"Kok lo mau sih sama dia. Dia kan kentutnya bau bebek," ucap Thakia.