Udara dingin yang menginvansi semalam membuat Sanny malas untuk bangun pagi. Dan hasilnya sudah bisa di tebak ia bangun kesiangan. Sialnya bukan hanya dia saja yang bangun kesiangan tapi semua anggota keluarganya pun mengalami hal yang sama. Pagi ini sudah di mulai dengan keributan kecil.
"Mah baju aku yang kemarin aku setrika mana?" tanya Thakia.
Ratna berlari kecil sambil memakai anting. "Gak tau mama gak liat."
Sanny membungkuk untuk mengambil sepatu miliknya di rak sepatu. Tapi yang ia lihat sepatunya hanya ada sebelah. "Mah sepatu aku kok cuma sebelah."
Surya berlari ke arah meja makan sambil membawa sepatu high heels milik istrinya. Surya yang sudah memakai kaos kaki dengan segera ingin memakai sepatu yang di bawanya.
"Pah, Pah, itu sepatu aku," ucap Ratna dengan cepat mengambil sepatu miliknya.
"Loh! Sepatuh Papah mana?" kata Surya.
Sanny mengambil sepatu miliknya yang sebelah di kolong rak sepatu. Ia lalu berjalan ke meja makan dan memakai sepatunya di sana. Gadis itu terlihat sangat buru-buru sama seperti anggota keluarganya yang lain. Sanny langsung berlari pergi dari keriuhan yang ada di rumahnya.
"Sanny, sarapan dulu," teriak Ratna.
"Nanti aja Mah di kantin," ucap Sanny sambil berlari keluar rumah.
Di saat seperti ini ojek adalah kendaraan yang sangat di andalkan oleh mereka yang sedang mengejar waktu. Dan benar saja ketika gerbang sekolah akan di tutup, gadis itu muncul dan langsung masuk di saat yang tepat. Gadis itu langsung menuju kelas 12-C. Baru lima menit ia duduk di kursinya seorang guru Sejarah masuk dan langsung memulai pelajaran hari itu. Sanny menoleh ke arah kursi Kanzo yang kosong. Kemana dia? Tidak masukah hari ini. Meskipun seenaknya sendiri tapi Kanzo bukanlah tipikal murid yang suka membolos. Ia selalu rajin masuk meskipun sering telat.
Jam istirahat selalu menjadi momen tepat untuk meluapkan penat pelajaran yang sudah di lalui. Sanny sibuk menatap layar ponselnya. Sudah lebih dari lima menit ia menatap terus ke arah ponselnya, seolah ia sedang menunggu seseorang menghubunginya. Alvin menyenggol Tara dengan sikutnya. Laki-laki itu menggerakan dagunya ke arah Sanny.
"Kenapa sih lo San? Perasaan dari tadi liatin hp lo mulu," ucap Tara.
"Nungguin telepon dari Kanzo ya," ledek Alvin.
Sanny terkesiap dari tatapannya pada ponsel itu. Ia tersenyum aneh dan seperti orang yang sedang kepergok melakukan sesuatu yang salah. "Oh, emmm.. enggak ini gue lagi bersihin hp gue." Sanny mengelap layar ponsel dengan dasi yang terlilit di lehernya.
Nadya bersandar pada kursi. Perutnya terasa penuh, ya tentunya ia baru saja menghabiskan dua piring siomay bandung kesukaanya. Nadya menghela napasnya dan membersihkan mulutnya dengan tisu. "Percuma lo nungguin Kanzo nelepon lo San, orang dia lagi sakit," kata Nadya.
"Ha ! Sakit! Sakit apa?" tanya Sanny.
Alvin dan Tara saling lirik. Mereka berdua melihat kepanikan di wajah sahabatnya itu. Kenapa dia harus panik sih. Padahal kan dia tidak ada hubungan apapun dengan Kanzo. Tapi kepanikan Sanny sangat terlihat jelas menyiratkan sebuah makna. Tara dan Alvin hanya tersenyum diam-diam. Sepertinya mereka berdua mengerti makna yang tersirat dari kepanikan Sanny.