Saya mempunyai adik perempuan yang cantik, tetapi tiada mau dikawinkan. Ia dulu mempunyai pacar seorang seniman, tetapi seniman itu sudah delapan tahun yang lalu pulang ke rahmatullah. Adik saya rupanya sangat mencintainya sehingga sampai sekarang ia tak mau kawin dengan orang lain, meskipun usianya sudah 28 tahun.
Ibu saya sedih dan malu karenanya. Ia merasa kehilangan muka kalau orang-orang menyangka bahwa adik saya itu tidak laku kawin.
Akan tetapi, pada hakikatnya tak ada orang yang akan menyangka begitu. Banyak orang sudah tahu bahwa adik saya itu banyak menerima lamaran dari berbagai pihak, dan para pelamar itu kebanyakan mempunyai pangkat yang tinggi juga, sebab adik saya itu meskipun sudah bisa disebut perawan tua, masih juga tetap kelihatan cantik serta menarik.
Selalu apabila ditawarkan oleh ibu sebuah lamaran yang disampaikan lewat dia, adik saya itu selalu menjawab, bahwa ia tidak bisa melupakan Mas Har, yaitu seniman itu.
Semua orang, termasuk saya, tidak tahu benar mengapa adik saya fanatik dalam hal cintanya kepadanya. Seniman itu menurut pendapat saya seperti manusia biasa saja. Mukanya kotor, badannya tidak gagah, rambutnya seperti rumput, dan bulunya tumbuh di mana-mana seperti seekor kera. Cuma kalau sudah dipandang agak lama memang terlihat juga bahwa mukanya memang manis. Artinya, seandainya cambangnya dibersihkan dan kumisnya dipelihara baik-baik.
Pada suatu hari, saya pergi ke Jakarta menengok ibu dan adik saya itu. Kesempatan ini saya pergunakan untuk menasihatinya supaya ia jangan sampai menyia-nyiakan umur mudanya. Janganlah ia sampai rugi apabila kelak sadar bahwa ia belum puas mengecap bunga kehidupan. Saya katakan bahwa sikapnya yang sekarang ini tak ubahnya dengan merusak hidupnya sendiri, membiarkan dirinya layu tanpa mengecap kenikmatan dunia. Tidak baik menyiksa diri sendiri begitu itu.
Waktu itu ia diam saja. Namun, selama beberapa hari kemudian sesudah itu, ia kelihatan selalu merenung dan berpikir. Akhirnya, waktu saya sudah pulang kembali ke Surabaya, saya menerima surat darinya. Surat itu adalah jawaban dari segala nasihat saya yang saya sebutkan itu. Saya sangat terharu membaca suratnya. Surat itu membukakan pada saya rahasia hati dan perasaan wanita yang lembut dan tak terduga itu. Kecuali itu, sadarlah saya sekarang sampai berapa jauh wanita itu bisa teguh dalam kesetiaannya.
Surat itu berbunyi sebagai berikut.
Nasihat yang kau ucapkan dulu itu bukanlah yang kali pertama saya dengar. Karena kau adalah kakak lelaki yang sangat saya cintai, dan kepada siapa saya bisa berterus terang akan segala kesulitan saya. Sekarang saya menjelaskannya kepadamu. Saya akan menceritakannya dari permulaan.
Seperti kau telah tahu, saya mulai berhubungan dengan Mas Har karena ia tinggal mondok pada keluarga kita di Jakarta. Saya akui bahwa ia memang tidak lebih dari yang lain. Sampai waktu lama setelah saya dengan dia, saya masih juga belum tertarik kepadanya. Malahan, saya sedikit kaget pada sikapnya yang terlalu bebas dan kasar itu.
Pada suatu kali, kami sakit pada saat yang bersamaan. Waktu itu saya masih di SMA. Saya tak masuk sekolah karena sakit itu. Hal ini menyebabkan saya lebih banyak mendapat kesempatan untuk betul-betul mengenalnya.
Tadinya saya takut kepadanya. Saya kira orang semacam itu, sebagaimana juga yang lain, sangat gampang berlaku kurang ajar kepada wanita. Namun, ternyata malahan sebaliknya. Ia berlaku jujur kepada saya. Ia kasar, tetapi nyata menghormati saya.
Waktu itu penyakit saya tak seberapa parahnya. Saya lebih cepat sembuh daripadanya. Tadinya saya tak tahu, bahwa ia sedang sakit juga. Setelah saya agak sembuh, baru saya tahu bahwa ia juga sedang sakit. Tadinya, waktu sakit saya sedang keras-kerasnya, ia pergi ke apotek untuk membelikan obat saya sebab selain ibu kita yang sudah tua itu memang tak ada orang lainnya lagi.
Saya sangat berdebar-debar waktu ia memasuki kamar saya sambil memberikan obat itu. Waktu itu saya sendirian. Saya takut ia akan berbuat kurang ajar. Ternyata tidak. Sikapnya sangat biasa sekali. Kekurangajarannya, kekurangajaran yang lucu, tidak ada hubungannya dengan kekurangajaran seorang buaya.
Biasanya lelaki-lelaki suka membuntuti saya, menyerang saya, dan mengejar-ngejar saya. Apabila saya berkenalan dengan seorang pemuda, selalu saya tidak salah menyangka bahwa ia nanti akan membelokkan arah perkenalan persahabatan itu ke arah yang tertentu. Banyak teman-teman saya lelaki yang mencoba mengubah suasana persahabatan kami menjadi suasana percintaan.
Mas Har tidak begitu. Ia bersikap sangat biasa, dan kelihatan jauh dari tanda-tanda untuk mempunyai maksud yang tertentu. Bahkan, dalam beberapa hal ia bersikap kepada saya seperti terhadap seorang anak kecil. Tak ada tanda-tanda nafsu menyerang padanya. Hal itu menyebabkan saya tidak merasa takut untuk lebih mengamat-amatinya, untuk lebih mengenalnya.
Laki-laki biasanya suka membosankan saya, dan sering saya merasa bahwa sikap mereka palsu semata-mata. Sebentar saja mulai beromong, mereka sudah mulai mencoba merayu saya dengan mengatakan bahwa saya cantik dan ini-itu lainnya.
Lain dari Mas Har. Mas Har selalu kelihatan biasa sekali. Malahan ia tak pernah menyebut tentang kecantikan saya. Ia tidak kelihatan berteriak kepada saya sebagai “seorang wanita pujaan”, sebagaimana buaya-buaya telah berkata tentang saya. Ia tertarik kepada saya, tampaknya, sebagaimana ia tertarik kepada temannya atau adiknya. Ia tak pernah mencoba-coba menyinggung badan saya sebagaimana halnya laki-laki yang lain. Hal itu telah menyebabkan saya lebih berani untuk bersikap bebas kepadanya. Dengan ikhlas saya mendekat dan membukakan kepribadian kepadanya.
Setelah saya sembuh, saya masih membolos dari sekolah sehari karena badan saya masih belum kuat betul. Saat itu saya baru tahu kalau ia pun sedang sakit. Ibu berkata begitu. Saya menengok ke kamarnya.
Kamarnya ialah garasi. Ketika saya datang, dengan langsung saya menengok ke dalam dari pintunya yang setengah terbuka. Saya lihat ia sedang berselimut rapat sambil mukanya kelihatan kesakitan. Saya langsung berkata, “Kau sedang sakit, ya?”
Tiba-tiba ia bangkit dari tidurnya dengan malu-malu.
“Aha, Putri Abu datang. Belum lagi mandi sudah datang. Wah, baunya.”