Pagi ini Maryam akan dilukis pelukis Nadjib, tunangannya sendiri. Ia menumpang kereta andong yang ditarik kuda yang disewa Paman Kirdjo secara berlangganan itu sampai ke Pasar Gede, tempat di mana Paman Kirdjo berdagang kelontong, dari sana ia akan terus berjalan ke Gamelan.
“Berangkat jam tujuh pagi itu cukup, kan?” kata Paman Kirdjo kepada kusir. “Jangan lebih siang dari itu, seperti lusa yang lalu!”
“Selalu saya usahakan datang pagi,” kata kusir itu, “tapi, lusa dulu bannya lepas di jalan.”
Bibi Kirdjo minta rokok pada suaminya. Suaminya memberinya rokok sebatang dan keduanya merokok bersama. Kemudian keduanya ngomong tentang dagangan sebagaimana orang lain ngomong tentang politik. Dalam pada itu rokok kreteknya mengeluarkan bunyi yang menyenangkan sewaktu cengkihnya terbakar.
Pagi itu pagi yang baik, dan semua orang di jalan kelihatan bersenang hati belaka. Paman Kirdjo melihat muka Maryam kurang bersinar, lalu bertanya:
“Ada apa Maryam?”
“Ada apa, Paman?”
“Kau sakit perut?”
“Rupaku seperti sakit perut?”
“Kurang lebih begitu.”
“Saya kira ada yang mengganggu pikiranku.”
“Apa itu?”
“Apa aku ini tidak cantik, ya?”
“Engkau merasa begitu?”
“Bukankah memang begitu?”
“Tanya saja bibimu.”
Paman Kirdjo tak mengerti mengapa tiba-tiba Maryam bertanya begitu. Maryam bertanya kepada bibinya.
“Aku ini tidak cantik, ya, Bibi?”
“Siapa bilang?”
“Aku seperti merasa begitu.”
“Ah, omong kosong saja! Jangan dipercaya hati yang usil, Nak!”
Maryam diam. Bibi diam. Orang bersepeda silang siur. Segerombolan mahasiswa yang akan berangkat kuliah melemparkan matanya ke kereta itu. Mereka memandang Maryam dan Maryam tidak melihat mereka.
“Mengapa kau pikir kau tidak cantik?” tanya Bibi Kirdjo.
“Aku rasa memang begitu,” jawab Maryam.
“Kau dikhianati tunanganmu?”
“Nadjib? Bah! Lelaki itu memang gila, tapi ia tak akan berkhianat.”
“Kau ada saingan? Lalu, apa lagi?”
“Aku kurang berhias, ya?”
“Engkau ini ada-ada saja, Nak?” keluh Bibi.
“Ya, saya kira kurang sedikit,” sambung Paman.
Semuanya diam pula. Langkah-langkah kuda berdetak-detak berirama memukuli jalan. Kereta itu berjalan sangat pelan di tengah keramaian jalan. Seolah-olah apabila penumpangnya tidur, mimpi dan bangun lagi, ia belum juga sampai pada tempat yang ditujunya.
Keluarga Maryam dan keluarga Paman Kirdjo mendiami satu rumah bersama dengan keluarga yang lain. Memang penuh sesak dalam rumah itu, tetapi mereka berbahagia saja sehari-hari dengan rumah macam begitu karena mereka kurang berada.
“Kau dulu tak pernah merasa kurang berhias,” kata Bibi, “mengapa tiba-tiba sekarang kau merasa begitu?”
Maryam diam dulu. Ia menundukkan kepalanya ke jalan. Ia melihat kotoran kuda melekat seperti bubur membedaki jalan itu. Ia memalingkan pandangnya dan menjawab pertanyaan bibinya.
“Mereka banyak ngomong tentang pakaian-pakaian dan perhiasan-perhiasan. Mereka ngomong tentang kalung, nilon, dan anting-anting yang sangat artistik.”
“Mereka? Siapa mereka?”
“Mereka teman-teman gadis di sekolah, Isti, Retno, Eny, Ira, Djinah, Titik, dan yang lain-lain. Mereka semua punya pakaian-pakaian indah. Mereka semua menarik dan aku suka melihat mereka berpakaian begitu. Ah, aku tidak secantik mereka!”
“Kau pun berpakaian tidak buruk. Pakaian yang sekarang kau pakai pun tidak mengecewakan. Saya mengatakan baik juga.”
“Ini yang terbaik dari semua gaunku. Aku mau dilukis Nadjib. Tapi, pakaian teman-teman lain jauh lebih baik. Mereka ke pesta dengan gaun nilon dan kalung yang bagus.”
“Apa itu nilon?”
“Nilon semacam plastik. Tipis seperti sutra, tak terbikin dari benang. Bening semacam kaca dan lembut sekali.”
“Tubuh orang bisa terlihat jadinya,” kata Bibi dengan terkejut.
“Tentu saja orang memakai gaun dalam. Dan, kulit punggung yang lembut akan bisa tampak.”
“Kami tak akan suka kau berpakaian biadab begitu.”
Maryam diam, matanya memandang ke jalan. Paman dan Bibi Kirdjo diam, mata mereka memandang Maryam. Kusir diam, matanya memandang kudanya. Seorang pemuda memboncengkan seorang pemudi di atas sepeda bagus, melintasi mereka. Pemudi itu banyak memakai minyak wangi. Baunya yang harum tertinggal waktu sepeda itu melintas dengan diam-diam.
Maryam mengeluh.
“Aku merasa tidak bahagia.”
“Kita rasa begitu juga?” tanya Paman pada Bibi.
“Tidak!” jawab Bibi pada Paman.
“Aku pun juga tidak merasa tidak berbahagia,” kata Paman, “kita bisa bersenang hati juga.”