Pacar Seorang Seniman

Bentang Pustaka
Chapter #3

Ia Teramat Lembut

Dengan sejujur-jujurnya saya katakan kepada Tuan, bahwa Joko adalah orang yang paling halus yang pernah ada di dunia ini, baik budi, sopan santun. Tentu Tuan sudah bisa membayangkan bagaimana tokohnya: bertubuh pendek, berkulit kuning, bersisiran rapi, mukanya cantik, hidungnya seperti perempuan, dan matanya bening seperti kanak-kanak. Kepalanya yang berambut rapi itu luruh. Dan, setiap apabila ia berbicara, tiada pernah dipandangnya benar-benar orang lawannya bicara.

Halus ada hubungannya dengan pemalu. Demikian juga dengan dirinya. Orang yang begitu tidak mudah membukakan isi hatinya kepada orang lain. Namun, kepada saya ia gampang membuka isi hatinya. Saya tidak bersombong, tetapi betul, bahwa mungkin hanya saya yang paling dipercayainya. Ayah ibunya tak ada lagi dan sejak kecil ia berteman dengan saya. Serumah malahan, karena sejak kecil ia dititipkan neneknya kepada keluarga saya. Sebulan sekali nenek itu mengirimkan uang ongkosnya. Dan, nenek itu memang betul-betul kaya. Ia seorang wedana.

Banyak kudengar orang bercerita bahwa Joko memang sejak kecilnya halus dan pendiam. Kalau almarhum ibunya memasak kue-kue, saudara-saudaranya pada berebutan menghabiskannya, tetapi ia diam saja. Ia baru makan kue-kue itu bila salah seorang saudaranya melihat ia belum lagi dapat apa-apa, lalu berteriak: “E, e, Joko belum dapat, lho! Kasih dia, ah!”

Lalu, dapat juga Joko kue itu beberapa potong. Karena sifatnya itu, banyak di antara saudara-saudaranya selalu membelanya. Seolah-olah saudara-saudaranya tahu, bahwa tanpa dibantu, Joko tak akan bertindak suatu apa. Setiap kali ada pembagian kue-kue, salah seorang di antaranya berteriak, “Joko dikasih, lho! Sudah dapat, belum, Joko?” Atau, kalau mereka pergi ke kebun binatang bersama-sama, sebelum berangkat pulang, salah seorang di antaranya biasa memeriksa, “Di mana Joko? He, Joko jangan tertinggal, lho.”

Begitu ia biasa dalam bimbingan dan belaan orang lain. Lama-lama timbul kemanjaan yang lembut karena ia selalu berada dalam belas kasihan orang lain itu. Kalau sekali waktu saudara-saudaranya akan bersama-sama bermobil, dengan pamannya putar-putar kota, ributlah mereka merebutkan tempat di mobil itu. Joko diam saja dan tidak mendapat tempat, lalu ia menangis. Saudara-saudaranya satu sama lain akan saling menyalahkan, “Ah, kau ingat diri sendiri saja! Joko diberi tempat, ah.” Akhirnya, salah seorang akan mengalah duduk berpangku dengan yang lain, dan memberikan tempatnya pada Joko. Mereka mengalah biasa saja, seolah-olah mereka menganggap Joko anak yang sangat lemah dan terhadapnya orang tak bisa berbuat lain selain mengalah dan membela. Lama-lama dari anggapan hal itu, lalu menjadi kenyataan. Dan, di bawah sadarnya sendiri ia biasa mempergunakan ini. Kelemahan dan kelembutan adalah senjatanya. Ia menarik perhatian orang dengan kelemahan dan kelembutan itu.

Demikian saya pun terbiasa pula selalu membelanya. Seolah-olah satu dosa untuk tidak membelanya. Jadi, rapat juga hubunganku dengan dia, meskipun banyak sifat-sifatku yang lain daripadanya. Dalam keadaan kami sama-sama dewasa ini perbedaan kami terutama dalam hal-hal pergaulan dengan gadis-gadis.

Saya sangat gemar pada gadis-gadis. Sejak di sekolah rendah, sudah biasa saya bercinta-cintaan. Tentunya cinta kanak-kanak. Dan, mungkin bukan salah saya kalau berkali-kali berganti-ganti gadis yang kucintai.

Lain halnya dengan Joko. Ia menjauhkan diri dari gadis-gadis. Tentu saja itu bukan berarti ia benci gadis-gadis. Itu semata-mata karena pemalunya saja. Kalau kuajak ke tempat gadis-gadis, selamanya ia memilih tempat duduk yang agak terhindar dari pandangan mata gadis-gadis itu.

Saya tahu betul, bahwa ada beberapa gadis lebih tertarik kepadanya daripada kepada saya. Memang meski ia pendek, dengan mukanya yang cantik, matanya yang bening, dan kulitnya yang kuning itu, ia masuk pemuda yang berkualitas juga. Beberapa gadis tampak sedikit menyerangnya. Namun, karena pemalunya tak pernah memberi jalan maka tak akan pernah ia bergadis juga. Terkadang saya merasa kesal mengingat bagaimana ia dengan kelakuannya telah menyia-nyiakan serangan gadis yang boleh dibilang cantik.

Saya punya teman satu lagi, Bagyo. Saya dan Joko merupakan kebalikan. Namun, Bagyo dan Joko merupakan kebalikan yang sama sekali terlampau benar-benar.

Joko pendek, Bagyo jangkung. Joko kuning, Bagyo hitam seperti pantat periuk. Joko bersifat pemalu yang lembut, Bagyo mempunyai senyum lebar yang cerdik dan manis, yang mengingatkan saya pada senyum serigala di gambar corek Pinokio. Joko anak halus, Bagyo kasar, sedikit mengarah keberandal-berandalan. Joko menjauhi gadis-gadis, Bagyo mengejar gadis-gadis saja sepanjang hidupnya. Pendeknya ia seorang anarkis.

Keduanya tak pernah cocok. Di balik kediamannya Joko mengandung kebencian yang amat sangat kepada Bagyo. Dan, Bagyo tak pernah menunjukkan sikap membela atau menolong Joko yang lemah, malahan kerap kali menggoda atau mengejek. Setiap kali ia berhasil menggodanya, ia tertawa dengan kurang ajarnya.

Bibit pertama dari ketidakcocokan mereka berdua terjadi ketika pada suatu kali Bagyo meminjam uang Joko untuk suatu keperluan. Lama sekali ia “lupa” mengembalikan. Saya yang tahu, bahwa terhadap seorang anarkis tak perlu segan-segan dan sopan-sopan bicara, setengah bergurau menegur dia.

“He, apa kau pikir kau tak perlu mengembalikan uang Joko? Kasihan dia, ia jauh famili.”

Akan tetapi, Bagyo di depan Joko dengan berani berkata, “Saya kira Joko telah melupakan itu. Betul, Joko, kau butuh uang? Bilang, dong, kalau butuh. Nanti saya beri habis bulan ini. Tapi, saya kira kau tak butuh. Betul tidak?”

Tentu saja Joko tidak menjawab, ia hanya tertawa-tawa masam. Dan, bagi Bagyo ini berarti, bahwa uang itu tak usah dikembalikannya. Saya tahu benar, dari raut mukanya mula-mula, Joko sangat terkejut dan heran ada orang bisa senekat itu. Kemudian sejak itu pandangannya terhadap Bagyo jadi sangat rendah. Dan, sekarang apabila Bagyo minta apa-apa kepadanya selalu di-lulu-nya. Artinya dibiarkan saja apa maunya. Malah agak berlebih-lebihan, tetapi sebenarnya maksud dalam hatinya sebaliknya.

Misalnya Bagyo pernah berkata, “He, Joko, rupanya ada dua pensilmu? Saya minta satu, ya?”

“Ambillah ini. Apa tidak perlu setip juga?”

“Apa ada?”

Lihat selengkapnya