"Rent a car? Ah, biasa banget!"
Pak Bayu, dosen Memulai Bisnis, membanting proposal tipis itu, membuat Gorga yang duduk di depanku terperanjat.
Dari belakang punggungnya yang kokoh bak Ade Rai, aku bisa membaca bahasa tubuhnya yang terkesiap seketika seolah Negara Api datang menyerang.
Pak Bayu lalu mengambil proposal di bawahnya. "Naa... ini baru menarik. Rent a boyfriend. Gorga, idemu kamu gabung saja dengan punya ...," Pak Bayu membalik proposal dari kertas HVS dengan sampul pink itu dan membaca nama di halaman depan, "Anindita Maharani."
Kali ini aku yang terperanjat dengan mata membulat. Seperti mendapat serangan dari aliansi Negara Api dan Negeri Antah Berantah.
"Tapi, Pak…!" Protesku tertelan suara Pak Bayu, pria botak dengan kumis melintang ala Money Heist.
"Yang proposal nggak menarik tadi juga gabung sini saja," ujar Pak Bayu sambil mengarahkan telunjuk ke Tizar dan Robi yang duduk di belakangku.
"Tapi, Pak, bukankah ide bisnis harus baru? Rent a boyfriend bukan inovasi, itu sudah ada di luar negeri!" Gorga si raja anti penolakan, perlu berdiri ala siswa Akmil untuk menyampaikan protes.
Tingginya yang menjulang, kutaksir 183 cm, menutupi pandanganku dari meja dosen. Suaranya menggelegar seperti capres sedang kampanye.
"Betul, Pak!" dukungku, membuat Gorga menoleh dengan mata menyipit kepadaku.
Sebagai pemilik ide yang di-acc Pak Bayu, jelas abnormal sekali aku mendukung Gorga untuk menolak proposal itu.
"Ide ini lebih segar dibanding rent a car yang sudah ada sejak saya belum lahir. Setidaknya saya belum pernah dengar bisnis rent a boyfriend dibahas di sini. Anindita bisa kasih presentasi besok. Sekarang kita akhiri kuliah ini," kunci Pak Bayu sambil beres-beres.
***
Keputusan Pak Bayu tidak hanya mengecewakan Gorga, Tizar dan Robi, tapi juga aku. Sebab aku membuat proposal itu asal-asalan, kubuat empat jam sebelum dikumpulkan.
Artinya. itu ide main-main yang aku yakini dan aku harapkan tidak lolos sehingga aku bisa bisa nebeng ke kelompok lain. Tapi semuanya berantakan.