Meski Fe memujiku setinggi langit atas hasil dandananku yang cukup macho, tapi tetap saja aku tidak terlalu pede untuk 'perform' malam ini. Berkali-kali aku mengelap wajahku yang basah. Juga telapak tanganku yang kaku memegang kemudi MINI Cooper. Sebenarnya Gorga menyuruhku menyewa BMW, tapi saat aku masih kaya dulu, aku lebih familiar dengan Mini Cooper.
Pukul 19.20 WIB. Halaman Financial Building. Aku merapikan sekujur tubuhku dan menyemprotkan minyak wangi. Kata Fe, itu parfum laki banget, tapi ya ampun, sudah 10 kali aku bersin karenanya.
Aku sudah mengirimkan pesan ke WA Olivia, klien yang harus aku jemput, bahwa aku naik Mini Cooper merah dengan pelat B 1729 XYZ.
Dan mudah menemukan seseorang yang harus aku jemput. Dia pasti orang yang sedang berdiri dengan posisi sedang menunggu di teras lobi. Berdiri dengan anggun. Anggun dalam arti sebenarnya.
Dia hanya memakai gaun hitam berenda yang sederhana dengan aksesori kalung mutiara dan anting-anting stud yang juga tak terlalu mencolok. Tas tangannya juga juga tampak simpel. Make up-nya pun yang tebal hanya di bagian mata saja. Rambutnya menjuntai di bawah pundak dengan blow yang rapi. Dandanannya tidak tampak mahal, tapi bercita rasa tinggi. Penampilannya bagus dan menyatu. Gorgeous!
Dasar perempuan, aku masih terus saja menilainya dari ujung rambut hingga sepatunya yang berhak tidak terlalu tinggi. Meneliti adakah kerutan di bajunya, adakah noda atau remah yang menempel, atau benang yang menjuntai tersembunyi.
Dan itu membuat mobil di belakangku memencet klakson, memintaku agar segera bergegas.
Mendengar klakson yang menarik perhatian itu, Olivia justru yang bergegas mengarah ke mobilku.
Aduh, bukankah aku harus berperan sebagai lelaki? Bagaimana kekasihku Erik Budiman biasa memperlakukan aku, ya? Segera saja aku keluar dari mobil, setengah berlari menuju Olivia, untuk menyambut sekaligus memperkenalkan diri.
"Olivia? Halo, saya Dito, Anindito," ujarku sambil mengajaknya bersalaman. Suaraku yang sudah kuolah vokal agar jadi bariton, aduh mak, kenapa jadi cempreng ala cewek manja, melebihi suara asliku sendiri?
Dan aku yakin itu membuat Olivia sedikit terperanjat. Dari tatapannya sekilas aku tahu dia sedang memeriksa aku. Dia pasti sedang mencerna kostumku, setelan dark blue navy tanpa dasi dan sepatu pantofel bersol tebal yang membuatku lebih tinggi 3 cm.
Dia pasti tak menyangka bahwa aku aku tidak secowok Gorga. Aku hanya lelaki ramping kurang steroid, yang hanya lebih tinggi 2 cm dari dia -- thanks to sepatu bersol tebal -- dan bersuara lembut.
Ah, kesan pertama yang tidak menggoda. Tapi sepertinya Olivia tidak mempermasalahkan. Buktinya setelah kami bersalaman, dia langsung menuju mobil. Untung aku ingat untuk segera bergaya gentleman. Aku berjalan mendahuluinya ke pintu penumpang Mini Cooper dan membukakan pintu untuk Olivia.
"Kita siap pergi?" tanyaku setelah melihat Olivia sudah duduk rapi di sampingku dengan seat-belt terikat.
Olivia mengangguk.
Aku berusaha keras menahan bahasa tubuhku yang canggung habis. Sabarlah Dita, toh cuma 2 jam. Apa artinya 2 jam dibanding 2 juta rupiah? Syukur-syukur dapat bonus sejuta. Sabarlah, Dita. Ingat, 3 juta menanti! Ah, uang memang motivasi paling oke!
"Kita harus saling menghafal identitas masing-masing."
Olivia menyelamatkan kekikukanku. Baru saja mobil keluar dari gedung kantornya, dia langsung bicara. Sepertinya dia orang yang efektif dan efisien.
"Aku Olivia Pramita, S1 FH UI dan ambil master di Belanda. Sekarang aku corporate lawyer di PT Vico, perusahaan minyak asal Amerika. Aku sudah kerja di sini sekitar 5 tahun. Aku tinggal di Jl Hang Lekir. Aku suka warna biru, jijik pada hewan melata seperti ulat, makanan kesukaanku sushi, aku anak nomor 3 dari 4 bersaudara. Kamu hafal kan?"
Sialan, Gorga tidak pernah memberiku panduan seperti itu.
"Sekarang giliranmu," kata Olivia sambil sibuk sendiri membuka tentengannya. Dia melepas sepatu hak setengahnya dan mengeluarkan sepatu yang haknya lebih tinggi dari tasnya.
"High heels memang menyiksa, tapi harus pakai ini biar anggun," ujarnya lebih pada omelan.
Aku berdehem membersihkan tenggorokan. Keluarlah suara baritonku, keluarlah...
"Anindito Mahara...Maharasta." Ups, aku hampir saja menyebut Maharani.