Aku melihat arloji pinjaman dari Fe di pergelangan tangan kiriku.Oh Tuhan, ini baru 30 menit. Masih 1,5 jam lagi aku harus bersandiwara.
Olivia berusaha membawaku ke mana dia pergi, tapi sepupunya yang lain memisahkan kami. Apalagi Margot.
"Biarlah dia jadi lelaki sejati, jangan kamu ketekin terus, Jones," kata Margot.
Entahlah, hubungan Olivia dan Margot itu apa. Musuh, tapi tetap saja ngobrol bareng. Mungkin friendenemy.
Sekarang aku berada di kumpulan lelaki, para sepupu Olivia, mengitari sebuah meja bundar kecil dengan minuman di depan kami. Sedang Olivia membentuk kelompok sendiri bersama para perempuan lain di sudut lain ruangan.
Berada di tengah lelaki macho, kecuali Ivan, sama horornya dengan aku berada di samping Olivia. Aku lebih banyak menyembunyikan jemariku ke kantong celana atau jas, karena tak ingin mereka melihat jari-jariku yang lentik.
"Menurut kamu, investasi apa yang menarik sekarang?" Ares, cowok yang sedang berulang tahun bertanya kepadaku sambil menyemburkan asap rokok. Semua orang sudah tahu pekerjaanku: perencana keuangan.
Ares duduk tepat di sebelahku. Sudut sikunya sering kali mengenai lenganku, sehingga beberapa kali aku pura-pura memperbaiki dudukku.
Dia lalu menawari aku rokok, tapi aku menolaknya. Penolakan ini lebih karena aku belum belajar cara merokok ala cowok dan aku tak ingin mereka melihat jemariku yang belum kusulap semacho cambangku.
"Masih reksadana saham, sama saham," jawabku. Ah, itu masih pertanyaan mudah, sisa-sisa ilmu yang kudapat saat kerja di bank dulu.
"Kalau emas gimana?" tanya Ares lagi.
"Stagnan. Lagi murah sih, kamu bisa beli dan simpan sampai 10 tahun ke depan," sahutku. Aku tahu emas lagi murah dari Romela, yang kalau ada duit suka beli emas Antam.
Ares berdehem.
"Kalau ada duit banyak, mendingan properti saja. Beli tanah. Simpan sampai 10 tahun, lalu jual. Tapi kalau duitnya belum kekumpul, main di saham dulu saja. Kalau kamu sibuk, cukup di reksadana. Lumayan, share-nya bisa 15 persen," jelasku.
Gampang, gampang, gampang.
"Kalau bitcoin gimana?"
Nah, ini yang bikin aku keringatan. Saat aku kerja di bank dulu "itu" belum pernah terdengar, apalagi dibahas.
"Emm...oh itu...ehm.., aku masih...menangani klien dengan investasi konvensional. Aku belum banyak mempelajari itu," sahutku jujur.
"Kamu harus agresif, Dito. Bitcoin bisa bisa bikin kamu untung 500 persen dalam waktu 3 tahun! Reksadana itu hanya untuk orang pensiunan, anak muda macam kita-kita ini harus naruh duit kita ke tempat yang revolusioner. Bitcoin, pikirkan itu!" seru Ares sambil menepuk-nepuk dadaku.
Sial!
Aku mundur setengah meter. Lalu pamit hendak ke toilet.
Sial lagi, Ares menjejeri langkahku menuju ke tujuan yang sama.
"Itu toilet cewek, kita ke sini," katanya sambil mencengkeram lenganku.
"Bro, lu kayaknya perlu fitnes. Lengan kamu perlu otot," ujarnya dengan alis terangkat. Dia pasti merasa aneh dengan lenganku yang terasa bersisa di genggamannya.
"Bikin Olivia takluk dengan tubuhmu yang kekar!" tambahnya sambil mengangkat kedua tangannya dan tawa lebar.
Ares, seorang pria dengan cambang lebat, rambut gondrong berombak, dan alis tebal dan tubuh yang berotot di balik setelan jasnya, tampak puas menertawakan aku. Tapi aku tahu, dia menertawakan dengan tujuan yang baik.
Dan yang disebut toilet cowok sudah jelas adalah jajaran urinal berdiri.
"Em, aku butuh toilet duduk," kataku sambil balik arah.
"BAB?"
Bagi sebagian orang, mengakui hendak buang air besar adalah hal memalukan. Lagipula aku tidak bermaksud BAB. Tapi aku mengangguk agar bisa pergi dari dekat Ares yang telah membuka resleting celananya. Yaks!
Sekeluar dari toilet, aku sebenarnya bermaksud bergabung dengan Olivia. Tapi Ares, ya ampun, dia sudah keburu melambaikan tangannya agar aku join dengan kelompoknya lagi.