Aku mengetuk-ngetuk meja dengan tatapan mengarah ke laptop. Nilai billing dari Olivia benar-benar tinggi.
Tapi aku mencoba mikir-mikir apakah aku dan pekerjaanku "worth it" untuk dijadikan sarana "panas-panasan" antara klien dan musuhnya? Dan apakah "worth it" juga aku untuk menjalin pertemanan dengan keluarga klienku?
Aku belum mendapat jawaban ketika Gorga muncul dan duduk di atas mejaku.
"Olivia pengin dapet nomor hapemu," katanya sambil meletakkan sebuah SIM Card baru ke dekatku.
"Nggak mungkin! Semuanya lewat kamu bukan?"
"Pakai itu. Itu jadi nomor profesionalmu," jawab Gorga sambil matanya mengarah ke SIM Card baru itu.
Aku menarik nafas berat. "Hapemu dual sim kan? Atau kamu pengin pakai ini?" katanya sambil mengeluarkan dari sakunya sebuah ponsel jadul, Nokia 2810. Ganteng-ganteng kolektor hape kuno!
"Dia akan menelepon kamu sejam lagi di nomor ini. Sebaiknya kamu lekas masukin ke hapemu," perintah Gorga tak sabar.
"Apa mau dia?"
"Dia butuh ditemani dalam frekuensi yang kerap, jadi dia ingin bicara langsung dengan kamu."
Aku menggaruk-garuk dagu. Memakai berewok palsu sungguh menyiksa tahu!
Sejam kemudian, teleponku dari nomor yang baru berbunyi. Aku berdehem-dehem mengatur agar suaraku seperti Dito. Lalu menekan tombol yes.
Suara Olivia terdengar jelas. Dia menyebut dia perlu aku temani malam nanti untuk menghadiri dua acara, yaitu kawinan dan pembukaan lukisan kliennya di tempat yang berdekatan. Sedang besoknya makan malam.
"Gorgaaa.....! Aku mau 100 persen!" teriakku setelah menutup ponsel.
Gorga muncul dari balik pintu sambil tertawa. Aku yakin dia baru saja menguping pembicaraanku dengan Olivia.
"Suaramu mantap, meeen...halo Dito di sini...hahahaha...!" Gorga mencoba menirukan suaraku yang kuberat-beratkan ala Dito.
Emoji yang pas untuk Gorga di aplikasi chat adalah LOL, tertawa sambil guling-guling.
Aku tidak bereaksi atas tertawaannya. Apa yang salah dengan suaraku?
"100 persen yaaaa! DEAL!" seruku mencoba menghentikan tawanya.
"No..no...80 persen okelah...20 persen buat operasional kantor...itu nilai yang bagus!" Setelah menjawab serius, Gorga tertawa lagi dan baru pergi setelah aku melemparnya dengan pulpen.
####
Menjelang sore, aku sedang berdandan ala Dito ketika ponselku bunyi.
Aku amati layarnya, dari nomor tak kukenal. Emmm...mungkin Olivia telepon lagi dari nomornya yang lain?
Aku berdehem-dehem lagi menyetel "suara Dito".
"Halo?" sapaku.
"Halo, bro! Ini Ares. Ayo kapan fitnes, bro, gue dah di FF Kemang, gue tunggu lu di sini."
"Da..ri mana lu tahu no..mor gue?" tanyaku setengah tercekat.
"Jangan blo'on, dari pacar elu-lah, emang dari Hongcin. Ayo buruan ke sini, banyak yang kosong. Lu bisa trial dulu."