Pacar Sewaan

Daca Dacita
Chapter #9

9. The Game

Aku melaporkan situasi Olivia kepada Gorga Aryans malam itu juga setelah berkali-kali me-reject telepon Ares (dia akhirnya sms sih, ngajak ketemuan). Gorga hanya berdehem-dehem.

"Itu memang risiko pekerjaan ini. Kalau bukan klien yang naksir kita, ya kita yang naksir ke klien," ujarnya.

"Tapi kita tidak boleh begitu, kan?" kataku.

"Tentu. Oke Dita, sebaiknya kamu selesaikan pekerjaanmu dengan Olivia. Menemani dia makan malam bisa menjadi pekerjaan terakhir kamu dengan dia. Habis itu biar aku atau Tizar yang jadi escort dia," katanya memberi solusi.

Aku setuju.

***

Malam hari ini aku menjemput Olivia di kantornya lalu kami menuju ke sebuah restoran fine dining.

Suasana memang agak canggung. Aku berusaha tampil profesional dan tidak mengungkit peristiwa kemarin sama sekali. Olivia cukup pintar untuk membaca bahasa tubuhku sehingga dia juga berusaha kembali ke wujud asalnya yang dingin.

Dingin? Itu hanya sekilas. Setelah kami turun dari mobil dia langsung gelendotan ke lenganku dengan manja seperti biasa.

"Dito, acara kita malam ini adalah double-date dinner. Kita akan dinner bersama Margot dan pacarnya," ujarnya saat kami naik elevator.

"Sebaiknya kita tampil natural," saranku. Natural maksudku tidak perlu berlebihan melakukan PDA.

"Ya, tentu saja," jawab Olivia sambil tersenyum. Entah apa kami punya persamaan pengertian dalam memaknai kata "natural" setelah kejadian kemarin.

Malam ini Oliv tampil sedikit lebih glamor. Dia mengenakan mididress tanpa lengan warna ivory dengan belahan dada yang agak curam, tas tangan warna serupa dan sepatu high heels warna krem. Rambutnya dia gerai. Tampilannya membuatku agak terintimidasi karena aku tampak pendek dan kecil di sampingnya.

"Aku boleh tanya sedikit? Kamu dan Margot sebenarnya ada apa?" Akhirnya kusampaikan juga pertanyaan yang sejak dulu ingin kulontarkan.

"Kami sepupuan dan pernah tinggal di rumah kakek kami yang luas di Menteng. Sejak kecil kami bermain bersama tapi diam-diam kami juga saling bersaing mendapatkan perhatian kakek," cerita Olivia.

"Puncaknya saat kami SMP. Kami naksir cowok yang sama. Dia bisa menggaet cowok itu tapi cowok itu kemudian selingkuh dengan aku karena tak tahan aku goda. Dia marah dan mengutukku jadi jomblo seumur hidup."

Aku menahan tawa ketika dia menyebut kata "mengutuk". Apa kutukan di abad modern masih relevan atau masih mujarab seperti zaman Roro Jonggrang?

"Kami sudah saling memaafkan. Tapi tetap saja hubungan kami seperti api dalam sekam," lanjut Olivia.

"Terus kenapa ... kamu mau makan malam dengannya sekarang?" tanyaku lagi.

"Dia yang mengundang ketemuan. Aku tahu dia sebanarnya mau pamer pacar barunya. Dan itu aku anggap dia menantang aku. Jadi aku jawab tantangannya."

Aku bergumam tak jelas.

"Aku tahu ini mungkin situasi yang tidak menyenangkan karena membawa kamu ke perseteruanku. Kamu boleh menaikkan tarifmu dua kali lipat untuk itu," kata Olivia.

Lihat selengkapnya