Sepanjang jalan menuju Jakarta aku sesenggukan sambil menyetir. Tampangku sudah nggak ada cakep-cakepnya sama sekali, dengan makeup yang belepotan karena air mata dan berewok palsu yang morat-marit.
Kesialanku bertambah dengan macetnya atap soft-top MINI Cooper Cabrio sewaan ini. Entah mengapa atap dan jendela mobil terbuka otomatis setiap aku menghidupkan mesin. Berulang-ulang kupencet tombol di rangka depan, hasilnya sama.
Kesal, aku tetap jalan dengan kerusakan yang ada. Dengan demikian, aku terpaksa berkendara dengan atap terbuka.
Bayangkan, melewati tol Cikampek-Jakarta yang penuh polusi dengan mobil tanpa atap, selap-selip di antara truk-truk kontainer dari kawasan industri Cikarang yang hendak ke Pelabuhan Merak, ditambah pengendara yang sedang mewek.
Pasti orang-orang mengira aku habis ikut pesta Helloween. Atau orang kampungan sok pamer yang membuka atap mobil di tengah kemacetan penuh racun monoksida.
Tak ada orang iseng yang suit-suit menggodaku, karena mereka pasti tak yakin dengan gender yang mereka lihat.
Menjelang KM 10, mobil ini batuk-batuk. Belum sampai pinggir, mobil telah berhenti. Aku starter berkali-kali, mesin tak mau menyala. Penderitaanku lengkap sudah. Dikhianati pacar, wajah coreng moreng, mobil mogok plus dapat klakson orang-orang yang menyuruhku segera minggir. Dan akhirnya aku ke bengkel terdekat dengan naik mobil derek.
###
Hal terburuk dalam hubungan percintaan bukanlah ditinggal mati oleh pasangan, tapi dikhianati. Rasanya campur aduk. Aku merasa kecolongan di depan mata dan tertipu secara sadar.
Aku begitu mengandalkan Erik Budiman. Dia penyemangat terbaikku saat keluargaku jatuh, bahkan hingga saat ini. Dia selalu ada di waktu-waktu terburukku. Dia menjadi alasan utamaku untuk memiliki kepercayaan diri dan bertahan hidup. Aku percaya Erik mencintaiku dengan tulus.
Tapi nyatanya aku keliru, ternyata selama ini dia mengkhianatiku dengan cara yang begitu cantik, dengan dalih: tugas luar kota untuk urusan kantor.
Saat melihat pengkhianatan Erik, jiwaku terasa terguncang. Berbagai macam pertanyaan terus saja muncul, aku tidak percaya bahwa aku merasakan peristiwa pahit tersebut. Pengkhianatan itu begitu nyata, bukanlah mimpi.
Di hadapanku Erik bersikap super-cute, tapi ternyata di belakangku dia bermain api dengan wanita dari entah berantah, yang tak lebih baik dariku. Ya, tidak lebih baik dari aku!
Perempuan di kafe itu...lihatlah, dia tak lebih cantik dari aku. Bedaknya terlalu putih, lipstiknya terlalu menor memenuhi bibir tebalnya, bajunya terlalu sempit sehingga buah dadanya seolah hendak meloncat. Apanya yang berkualitas darinya? Haahhh....tapi bisa jadi itu yang disuka dari laki-laki hidung belang macam Erik.
***
Setelah hari laknat itu, aku lebih banyak mengurung diri di kamar. Secara garis besar, semua orang terdekatku — Romela si kakak ipar dan Gorga si atasan — sudah tahu apa yang terjadi: Erik selingkuh!
Aku sudah tidak peduli urusan kantor. Gorga mengurus semuanya. Mulai dari mengembalikan mobil sewaan yang rusak itu hingga pastinya, memberi penjelasan kepada klien terakhir yang menyewaku. Ah, aku sungguh tidak peduli pada semua itu.
Romela berulang kali mencoba menghibur dengan turut mencaci Erik, tapi akhirnya dia sadar bahwa membiarkan aku sendirian adalah obat terampuhku melewati sedih.
Namun, Gorga tak jemu menjengukku. Nyaris setiap hari.
"Sejak dulu sebenarnya aku tidak suka Erik, dia playboy cap kampung," ujarnya.
Dia membawa oleh-oleh martabak telor AAA yang harumnya begitu menguar. Harum di hidungku, tapi tak mampu membangkitkan nafsu makanku. Ini hari ke-10 aku bersembunyi bak manusia gua.
Romela mengizinkan Gorga masuk ke kamarku karena aku enggan menemuinya di ruang tamu.
"Mengapa tak kasih warning aku?" aku berbalik dari posisi tiduranku, semula membelakangi, kini menghadap Gorga yang duduk di kursi di sudut ruangan.
Erik adalah teman kampus, jadi Gorga juga tahu dia.
"Kamu seperti orang kasmaran...kayak orang kena pelet. Apa-apa serba Erik, Erik the savior, Erik is the best, si ganteng Erik, Erik paling keren, Erik paling cute, Erik si Mr Right, Erik si Mr Charming, Erik the Perfectman, Erik...,"
"Kamu tahu semua?" aku kaget Gorga tahu bahwa aku begitu memuja Erik.
"Satu kampus tahu semua kamu keranjingan sama Erik. Padahal satu kampus juga tahu bajingan macam apa Erik itu," sahut Gorga.
Aku spontan bangkit dari ranjang.
"Kamu jahat, Gorga, kenapa tidak kasih tahu?" dampratku sembari bersiap memukulnya.
Gorga menghindari pukulanku yang tidak serius. Lalu mengatupkan kedua tangannya seolah-olah memohon ampun atas kesalahannya.
"Aku kira kamu telah berhasil membuat dia kembali ke jalan yang benar," dalihnya.
Tentu saja Gorga dalam kasus ini ada di pihakku. Dia berjanji akan menghajar Erik jika bertemu nanti.