Ares mengulurkan tangannya, mengajakku bersalaman. Aku harus bagaimana? Pura-pura tak terjadi apa-apa, bodoh!
Aku butuh tenaga sekuat Expander untuk mengangkat tanganku. Aduh, tangan ini masih terasa lemas. Tapi Ares sepertinya memang lelaki sejati, dia meraih tanganku yang nyaris tak bertulang dan menyalaminya dengan tenaga ekskavator milik United Tractors.
"Hai," sapanya.
Ya ampun, dia tersenyum sambil mengamatiku! Mengamati wajahku, lalu tanganku yang di genggamannya, lalu wajahku lagi, seolah-olah dia bertanya-tanya ke mana perginya berewokku yang manis kemarin?
Rambut pendekku yang sedikit kaku, badanku yang lebih tebal di balik jas skinny, juga badanku yang lebih tinggi karena sepatu dengan sol tebal tersembunyi, ke mana semua?
Yang di depannya sekarang hanyalah seorang cewek pakai rok — yang bobotnya anjlok nyaris 7 kg karena patah hati — dengan rambut sebahu dan mati-matian bermakeup untuk menutupi wajah sembab karena kebanyakan meratapi diri.
Aku mencoba melepaskan tanganku dari Ares. Tapi dia tetap menggenggam sembari mengguncang-guncangnya.
Mungkin dia sedang berpikir, "Benar kan tebakan gue? Ada yang nggak beres dengan anak ini. Lihat saja tangannya yang kecil. Benar kan, tangan kecil ini ternyata bukan milik cowok beneran?"
Aku memperkuat tekananku untuk melepaskan tangan dari genggaman Ares. Tapi dia masih enggan melepaskannya. Matanya juga masih menatap bola mataku.
Mungkin dia sedang berpikir,"Crazy! Ini anak yang gue sempat curhati itu? Yang sempat bikin gue galau sama orientasi seks gue? Yang gue rasa gue naksir dia? Oh, untunglah dia ternyata cewek. Gue sehat 100 persen. Woii...gue sehat!"
Ares melirik dadaku sekilas, tapi buru-buru menatap wajahku lagi. Dia mungkin berpikir,"Inikah anak yang beberapa kali kutepuk-tepuk dadanya agar tampil lebih bidang seperti cowok jantan? Ya Tuhan, aku telah melakukan pelecehan seksual."
Mata Ares masih saja berbinar, tanda dia menyimpan banyak tanya yang butuh penjelasan. Tapi sungguh, tak ada penjelasan untuk ini semua. Ares kemudian melepas tanganku setelah aku memasang tampang mengiba.
Ares anggap saja telah beres. Sekarang Oliv.
Oliv tampak ragu mengangsurkan tangannya, antara maju dan mundur. Dia berusaha keras mengatur sinar matanya yang kacau. Jikalau Ares punya 10 pertanyaan untukku, tentu Oliv punya sejuta pertanyaan.
Just do it, just do it, just do it, itu terus yang kurapal hingga tanganku akhirnya bersalaman dengan Oliv. Cuma sekilas, sembari menyapa "hai" sambil lalu.
Aku tidak berani menerka macam-macam pertanyaan dan kilasan pikiran yang berkecamuk di benak Oliv. Aku terlalu malu.
Salaman sudah selesai. Seperti tak terjadi apa-apa adalah solusi terbaik.
Tapi tidak. Gorga tiba-tiba mengambil keputusan tolol.
"Kita gabung, yuk," tawarnya. Aku refleks menginjak kakinya dengan bagian depan sepatu slingback-ku.
"Ayo, pasti seru nih," jawab Ares tanpa berpikir panjang. Duh, harusnya aku menginjak Gorga dengan heel-ku yang seruncing pisau es biar pesanku sampai.
Gorga meminta pelayan agar meja kami digabungkan. Dan woila, kini kami duduk berempat. Dulu untuk urusan "kerja", sekarang untuk urusan "sudah nggak ada lagi rahasia".
Gorga dan Ares bicara dengan leluasa khas laki-laki. No hard feeling. Sedang aku masih dikuasai awkward moment. Oliv masih tampak kesulitan untuk memulai bicara, apalagi aku?
Dan penyelamat awkward moment cuma satu: ponsel. Entahlah orang zaman dulu melewatkan momen canggung dengan cara apa.
Aku keluarkan ponsel dari tas kecilku. Baru sedetik ada di tanganku, ponsel meleset dan jatuh ke bawah meja. Ke dekat kaki Oliv. Ampun deh, ini lebih dari kamvret moment.
Oliv berusaha menolongku mengambil ponsel yang lebih dekat dengan posisinya. Bersamaan dengan aku yang membungkukkan badan untuk mengambilnya. Benturan antara kami tak terhindarkan. Benturan yang membuat rasa canggung kian meroket.
"S-sori, t-thanks," ujarku gelagapan.
"It's okey, It's okey, It's okey," sahutnya berulang-ulang. Sepertinya Oliv tak kalah canggungnya.
"Gimana cowok yang kamu gampar dulu itu, Dit? Putus?" tanya Ares setelah aku duduk di kursi semula sembari melakukan gerakan menyimpan-mengeluarkan ponsel dari tas berulang kali.
"Eh...iya... sure," jawabku sekenanya.
Dibanding Oliv, Ares lebih bisa "move on". Setidaknya dia melempar sejumlah pertanyaan kepadaku.
"Keren banget itu...bum bum bum...jab dan hook-mu benar-benar mematikan," komentarnya sembari menirukan gerakan tinju. Dia pasti sedang mengingat-ingat amukanku kepada Erik di kafe itu.