Mentari bersinar terik menemani perjalanan pulang sekolah kami hari ini. Aku dan Yumna—sahabatku—segera berlari menuju pohon rindang yang berada di seberang jalan.
Kami berdiri di bawah pohon beringin besar dengan akar-akar lebat yang menjuntai. Tempat itu paling nyaman untuk menunggu angkutan umum. Jarak rumah Yumna dengan sekolah lumayan jauh, sekitar empat kilometer, sedang aku satu kilo lebih jauh darinya. Kami terbiasa pulang sekolah bersama. Saat berangkat, Yumna selalu diantar oleh Kakak laki-lakinya. Terkadang dia juga diantar ayahnya bersamaan saat mengantar adik bungsunya sekolah. Eh, belum paten jadi bungsu, Yumna bilang ayahnya masih menginginkan satu anak perempuan lagi.
"Jadi punya saingan aku nanti!"
"Saingan apa?"
"Saingan cantiklah lah!"
Begitu perbincangan kami saat membahas calon adik bungsu yang direncanakan ayahnya. Yumna selalu menertawakan keinginan ayahnya itu. Dia tidak akan keberatan jika memiliki satu adik laki-laki lagi. Katanya, biar dia yang menjadi paling cantik seorang diri di rumah selain ibu mereka.
Yumna gadis yang cantik dan baik. Dia berasal dari keluarga yang cukup mampu. Ayahnya menjadi pengepul karet dan Kakak sulungnya memiliki sebuah bengkel motor. Meskipun sering diantar kakaknya, tapi aku belum pernah bertemu dengan kakaknya itu. Selama bersekolah, aku sama sekali belum pernah bermain ke rumah Yumna. Begitupun sebaliknya. Jarak rumahku yang cukup jauh membuat kami lebih memilih tempat tertentu untuk bertemu. Sekiranya tidak seberapa jauh dari rumah kami masing-masing.
"Mana sih angkotnya? Udah panas juga!" keluh Yumna sambil terus mengipas wajahnya dengan sebuah buku.
"Sabar!"
"Ya Allah, Wi. Nanti aku kena semprot Mas Galih kalo pulangnya telat! Mamasku itu bawel, belum tau sih kamu!" ucapnya sambil bersungut-sungut.
Aku jadi penasaran seperti apa kakak sulung Yumna itu. Aku justru iri padanya. Dia memiliki Kakak yang begitu menyayanginya, juga keluarganya yang terlihat harmonis. Tidak seperti keluargaku yang berantakan. Ah, hancur lebih tepatnya.
Setengah jam menunggu, mobil angkot belum juga muncul. Kami mulai gelisah. Terlebih aku, ini sudah waktunya ibuku makan siang dan minum obat. Tak ada siapapun di rumah.
Aku sebenarnya memiliki seorang Kakak laki-laki, mungkin seusia dengan Mas Galih. Hanya saja dia juga lebih memilih meninggalkan kami, sama seperti Bapak. Untuk memenuhi kebutuhan, aku dan ibuku menjual donat yang kami titipkan di kantin sekolah. Beberapa tetangga terkadang juga memesan jajanan basah dari kami.
Dari penghasilan itu aku bisa terus bersekolah dan memenuhi kebutuhan di rumah. Tentu saja harus sangat berhemat. Aku jarang memiliki uang saku untuk jajan. Lebih baik kupakai uang itu untuk ongkos pulang dan pergi sekolah.