Pacarku Pecinta Angst

Allen Nolleps
Chapter #4

Bab 3. Ayah Nikah Lagi Kan!

Kosong dan hampa, hanya itu yang saat ini aku rasakan. Terbaring lemah diranjang rumah sakit, bersama dengan berbagai alat bantu kehidupan yang menempel pada tubuhku. Entah berapa lama aku menatap plafon ruangan dengan mata kosong. 

Di tengah lamunanku yang monoton, pintu kamar terbuka, langkah kaki yang lembut terdengar dan berhenti tepat di sebelahku.

Meski mendengarnya, aku tetap tidak berpaling, seolah tak menyadari segala bentuk perubahan, atau lebih tepatnya, aku sudah tidak peduli lagi. Hati dan pikiranku sudah terlalu kosong untuk peduli pada apapun.

"Nak."

Sapaan lembut bergema di ruangan kamar rumah sakit yang sepi. Suara itu milik seorang pria paruh baya yang saat ini sedang berdiri, menatap putrinya yang berada dalam kondisi kritis.

"A-Ayah, minta... maaf Nak." Suaranya terbata-bata, terdengar sedih dan penuh dengan rasa bersalah. "Ayah menyesal Nak, kalo seandainya aja Ayah dengerin kamu, kalo seandainya aja Ayah lebih perhatiin kamu, ini semua nggak akan..."

Dia tidak sanggup untuk melanjutkan kata-katanya, melihat keadaan putrinya yang merupakan akibat dari kesalahannya. Air mata mulai mengalir dari matanya, memikirkan penderitaan apa saja yang dialami putrinya sejak dia menikah lagi.

Istrinya, Mika, yang merupakan ibu kandung putrinya, telah meninggal dua tahun yang lalu. Di tengah kesedihannya, teman lama istrinya, Ayunda, yang merupakan seorang Janda dengan dua anak mulai mendekatinya. 

Dia tidak terlalu memikirkannya saat itu. Namun, seiring waktu, dia mulai menaruh perhatian padanya. Memikirkan bahwa dirinya membutuhkan seorang wanita dalam hidupnya untuk mengisi kekosongannya, serta putrinya yang juga membutuhkan figur seorang ibu, dia akhirnya memutuskan untuk menikahinya dan memperlakukan anak-anaknya sebagai anaknya sendiri.

Tapi, sesuatu yang dia pikir akan menjadi awal yang baru untuk kehidupan bahagia, ternyata adalah awal dari kesengsaraan putrinya.

Tanpa dia sadari, Ayunda ternyata selama ini menyimpan dendam kepada mendiang istrinya, Mika. 

Dia memang ingat ketika di masa kuliah dulu, mereka bertiga pernah terlibat dalam cinta segitiga. Tapi masalah itu telah lama usai, dan bahkan setelahnya, hubungan ketiganya masih baik dengan pasangan masing-masing. 

Tidak pernah dia menyangka bahwa jauh didalam, Ayunda ternyata menyimpan dendam dan dia melampiaskannya kepada putrinya yang tidak bersalah, bahkan kedua anaknya pun ikut merundung putrinya!

Dia tidak pernah tahu akan hal ini karena Ayunda selalu pandai menutupinya, dan membatasi interaksinya dengan putri kandungnya dengan berbagai macam alasan.

Dia juga terlalu sibuk dengan pekerjaan dan terlena atas kehidupan manis dengan istri barunya, tanpa tahu bahwa dibelakang, putrinya sedang menangis kesakitan atas segala perundungan yang diterimanya.

Waktu tidak bisa diubah, apa yang telah terjadi tidak bisa ditarik kembali, tidak peduli meski dia sudah mengetahui kebenarannya dan telah mengatur proses percerainnya, penderitaan yang dialami putrinya akan tetap ada.

Melihat kembali kondisi kritisnya yang hanya menatap kosong ke atas, membuat hatinya sakit, dia tak pernah merasakan sakit yang begitu menyengat seperti ini, bahkan tidak saat kematian istrinya, Mika. 

Dia hanya bisa tentunduk lemah dan meratapi kesalahannya dengan segala campuran emosi: marah, sedih, menyesal, tidak peduli apa itu, hanya akan menghasilkan ketidakberdayaan.

Mendengar isak tangis dan ratapan yang tidak jelas, aku yang sedari tadi hanya menatap kosong ke plafon, memiringkan kepala untuk melihat seseorang yang dulu aku panggil sebagai Ayah.

Meski cukup sulit melakukannya, mengingat segala macam alat bantu kehidupan yang terpasang ditubuhku, aku masih bisa menatapnya dengan baik.

Saat melihatnya, aku merasakan hatiku menjerit akan rasa sakit. 

Tidak tahu berapa kali aku mencoba untuk mencari penghibur lara padanya, hanya untuk berakhir diabaikan. 

Tidak peduli apa yang aku katakan, dia akan lebih memilih untuk percaya pada istri barunya dan bahkan dia lebih banyak memberikan perhatian kepada anak tirinya dengan alasan demi memperkuat hubungan keluarga atau semacamnya.

Di tengah semua badai keterpurukan itu, aku selalu merindukan Ibuku. 

Aku selalu merindukan kehangatannya, aku ingin kembali bermain dengannya, mengunjungi tempat hiburan, dan makan makanan enak dengannya. 

Setelah Ayah menikah lagi, sulit bagiku untuk mendapatkan semua itu, bahkan aku tidak bisa mengunjungi makam Ibu. 

Namun, sekarang aku seharusnya bisa bertemu dengannya lagi bukan?

Menatap Ayahku yang sedang menangis di samping, penglihatanku menjadi buram karena genangan air mata, aku ingat bagaimana ketika Ibu terbaring di ranjang kematiannya, dia berpesan agar aku selalu menjadi kuat dan merawat Ayah dengan baik.

Tapi...

'Maaf Ibu, aku tidak sekuat itu, aku telah berusaha sebisaku untuk menanggung semua rasa sakit, tapi... ini adalah batasanku. Aku sangat lelah, aku sangat rindu Ibu, tolong maafkan aku karena mengecewakanmu, karena tidak menjadi anak yang kuat, tolong terima aku Ibu, aku hanya ingin bersamamu.'

Pandanganku semakin buram saat kegelapan mulai menyelimutiku. Rasanya dingin, tapi disaat yang sama juga menenangkan.

Ayah tersentak kaget saat melihat mesin pendeteksi impuls jantung mulai menjukkan grafik yang turun, bersamaan dengan suara bip yang menggangu. Wajahnya pucat ketakutan saat dia berteriak. "Tidak! tidak! tolong jangan!"

Dia menjadi linglung, emosinya terlalu hiruk-pikuk untuk berpikir normal. Pada akhirnya, dia dengan panik keluar ruangan dan memanggil dokter.

Dengan setiap waktu yang berlalu, aku merasa tubuhku menjadi lebih ringan, kegelapan semakin pekat menyelimutiku, dan perasaan tenang yang membebaskan, mulai mendamaikan jiwaku yang dipenuhi luka. 

Kilasan masa lalu diputar di benakku, sebuah kenangan termanis dalam hidupku dimunculkan kembali. 

Saat itu musim panas, aku berumur sepuluh tahun, bersama Ayah dan Ibu, kami berkemah di pinggir danau, kami memancing disana, memanggang ikan yang kami tangkap dan mendengarkan Ayah bercerita tentang hantu saat malam tiba. 

Aku duduk di pangkuan Ibuku, dengan takut-takut mendengarkan cerita, sementara kedua tangan hangat Ibuku memelukku erat, tidak peduli seseram apa ceritanya, aku selalu merasa aman disana, dipelukan Ibu.

Tanpa sadar, rasa kantuk mulai menyelimutiku, aku mulai tertidur sementara ruangan kamar rumah sakit terbuka, Ayah dan beberapa orang berseragam putih datang terburu-buru.

Pandangan Ayah yang dengan panik membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, bercampur, tumpang tindih dengan pandangan Ayah yang sedang bercerita saat kami berkemah.

Hingga akhirnya, rasa kantuk terlalu kuat untukku tahan. 

Aku sepenuhnya memejamkan mata, kedamaian sepenuhnya menyelimuti jiwaku saat aku tertidur dalam keabadian di pangkuan Ibuku, dalam pelukannya yang hangat.

Tamat.

"Hiks... hiks..."

Suara isak tangis terdengar di sebuah kamar dengan dekorasi bernuansa feminitas. Beberapa poster idol k-pop juga dipajang disana-sini.

Amela duduk di ranjang berwarna pink dengan banyak boneka dari berbagai ukuran di sekitarnya. Dia sedang memegang sebuah buku, dengan air matanya yang menetes kelembar halaman.

"Ahhh... bego! bego! makannya jadi orang tua jangan kebanyakan kawin, nikah aja mulu, pikirin anak lo, bego banget sih!!" Dia menggerutu dengan kesal, dan memaki tokoh Ayah dalam buku novel yang dia baca. "Makan tuh! nyeselkan lo setelah ditinggal pergi, nangis sono lo! nangis aja sampai mati sono lo!!"

Meski kata-katanya di arahkan pada karakter di buku, Amela sendiri juga sedang menangis gila-gilaan. Mungkin dia sedang membicarakan dirinya sendiri, entahlah.

Amela sangat kesal, saking kesalnya, dia bahkan hampir merobek buku tersebut sebelum berhenti ditengah jalan. Namun, dia masih membutuhkan sesuatu untuk meredakan emosinya. 

Dia mengusap matanya yang berair dan melirik ke sekitar, mencari sesuatu sebelum akhirnya menemukan ponselnya yang agak jauh darinya diatas tempat tidur.

Mengambil ponselnya, dia segera mencari kontak tertentu dan menuliskan pesan.

Amela: "Beb!! Masa ada orang yang sebegitu begonya sampai anak sendiri..."

Dan seperti biasa, Amela akan mengadukan hampir segala macam hal kepada pacarnya yang malang, Devin. 

Dia telah mengetik panjang lebar, merangkum cerita dari novel Angst yang dia baca sebelumnya, tentu tidak lupa dengan segala macam keluhan di dalamnya. 

Alhasil, chat yang dia ketik menggunung sampai terasa seperti koran.

Mengirim pesan, Amela menunggu balasan.

10 detik...

20 detik...

30 detik...

Amela mengerutkan kening, dia bisa melihat status Devin yang sedang online, tapi sampai sekarang, pihak lawan masih belum memberi balasan. 

Berada dalam kekalutan setelah membaca cerita Angst, Amela tidak memikirkan betapa panjang chatnya, dan menyadari bahwasannya butuh lebih dari 30 detik untuk sekedar membaca pesannya. 

Tapi, mengingat dia memiliki kesabaran setipis tisu, baginya itu sangat lama!

"Ihh... lama banget sih balesnya!" Menggerutu kesal, Amela siap untuk mengirim pesan lanjutan, sebelum...

Devin: "Ok"

Wajah Amela berkedut kesal, dia telah panjang lebar menuangkan seluruh keluh kesahnya selama sepuluh menit lebih untuk mengetik, dan hanya mendapat balasan 'Ok', betapa kejamnya itu hey!

Amela: "Masa cuma Ok doang! kamu nggak niat banget ya balesnya!"

Kali ini Devin tidak memutuhkan waktu lama untuk membalas.

Devin: "Terus kamu maunya aku bales apa?"

Amela: "Atuh apa kek, coba tunjukan ketulusan kamu, tuangkan isi hati kamu, betapa kamu bersedih sama endingnya yang mengharukan."

Devin: "Tapi aku nggak sedih Mel, lagian itu cuma cerita fiksi."

Amela tergagap dengan jawaban pacarnya, nggak sedih? mustahil! mana mungkin ada manusia berhati sedingin itu. 

Dan apa itu tadi, cuma cerita fiksi? Helloo... nggak penting itu nyata atau tidak, selama kita berbagi kesedihan yang sama, mereka itu nyata! aku ulangi, mereka nyata! hal-hal penting harus diucapkan dua kali!

Amela: "Kamu jahat banget gila! masa kamu nggak merasa kasihan sih sama dia, hidupnya itu penuh derita Beb! masa kamu nggak punya empati buat dia, jahat banget kamu!"

Devin: "Kamu terlalu halu Mel, ini aku kirim sesuatu."

Amela menelan kekesalannya dan menunggu apapun yang pacarnya coba kirim padanya, semoga itu hal baik, atau... lihat saja nanti. 

Segera, Amela melihat Devin mengirim suatu link, dan saat Amela mengklik, dia diarahkan ke browser yang membuka sebuah artikel yang berjudul: 12 Cara Lepas Dari Kehaluan Karakter Fiksi, Nomor 9 Bikin Melongo!

Wajah Amela menjadi jelek, dahinya berkedut kesal.

Lihat selengkapnya