Canggung. Itu adalah kata paling tepat dalam menggambarkan suasana yang terjadi di ruang tamu kediaman Amela.
Disana ada sofa yang disusun rapi membentuk huruf L.
Ayah Amela duduk di sofa yang lebih pendek. Dan kami bertiga duduk di sofa yang lebih panjang, dimana Amela duduk di tengah antara gue dan Rama.
Untuk lebih jelasnya, posisi Rama lebih dekat dengan orang tua Amela, sementara gue ada di ujung satunya.
"Ayo, ini di minum dulu." Ibu Amela, yang bernama Amaya, datang membawa nampan berisi beberapa gelas minuman dan meletakkannya di atas meja. Dengan ramah mengundang mereka mengambilnya, sebelum duduk di samping Suaminya.
Amela adalah yang pertama mengambil, berikutnya adalah gue, begitulah seharusnya, namun...
"Hmm?" Tangan gue berhenti di udara saat ingin mengambil gelas minuman, kenapa? karena ada tangan lain disana yang juga berniat untuk mengambilnya.
Gue melirik dan melihat kepada Rama yang mencondongkan tubuhnya untuk mengambil gelas, tangannya juga berhenti dan melirik ke arah gue.
"Sorry, ambil aja, gue bakal ambil yang ini," kata gue dengan senyum ramah, sebelum mengambil gelas yang lain.
"Oh iya," jawab Rama dengan senyum ramah juga. Namun, di akhir dia bergumam pelan. "Lagian... orang pertamalah yang pasti akan dapat."
Gue mengerutkan kening. Meski terkesan sedang berbicara sendiri, gumamnya masih cukup keras untuk di dengar oleh semua orang.
Namun, kecuali Amela yang memiliki wajah bingung tak nyaman. Sisanya memiliki ekspresi netral, seolah-olah tidak mendengar apapun.
Begitu pula gue yang dengan cermat menata ulang ekspresi. Tapi di dalam, gue merasa kata-kata orang itu memiliki makna yang lebih dalam, dan yah... tidak sulit untuk menebak apa itu.
Saat menyeruput minuman, gue melirik Rama dari balik gelas dan berpikir: 'Jadi ini mantannya Amela.'
Amela pernah bercerita tentang masa lalunya, terutama tentang mantannya, Rama.
Meski tidak terlalu terperinci, gue tahu bahwa orang ini adalah teman masa kecil Amela dan mereka sudah berpacaran sejak lama. Bahkan Amela sampai rela untuk ikut berkuliah keluar negri bersama Rama hanya agar mereka bisa tetap bersama.
Namun, hubungan mereka sepertinya berakhir dengan sangat buruk, yang menyebabkan Amela memutuskan kuliahnya dan kembali ke Indonesia.
Dan faktanya, keterbukaan Amela pada masa lalunya, telah menjadi langkah besar dalam hubungan mereka. Karena beberapa hari setelahnya, mereka resmi berpacaran.
Tapi itu bertahun-tahun yang lalu. Sejak itu, baik Amela atau gue, kita nggak pernah mengungkit masalah itu lagi. Lagian nggak ada gunanya mengungkit masa lalu yang pahit, mending dibuang jauh-jauh dan fokus memulai lembaran baru.
Sejenak, gue jadi ingat atas kejadian beberapa hari yang lalu, ketika gue bertemu Amela di Cafe Kucing. 'Apa Amela waktu itu ketemu sama bajingan ini?,' tanya gue dalam hati.
Dan ya... sekarang, untuk pertama kalinya, gue secara langsung bertemu dengan dia juga. Orang yang pernah menyakiti perempuan yang paling gue sayang saat ini. Dan lebih buruk lagi, dia sepertinya mencoba untuk kembali mengambil Amela.
Ada kilatan dingin yang terbesit dimata gue atas pemikiran itu, sebelum dengan cepat menghilang.
"Ehem... ini pertama kalinya kita ketemu, kenalan dulu dong Bro," kata gue, mengambil inisiatif, menawarkan jabat tangan. "Gue Devin, Pacarnya Amela yang cantik, tapi juga rada belo'on ini."
Seketika, ada keheningan yang timbul atas deklarasi berani itu.
Bagaimanapun, gue dengan lugas dan santai mengklaim diri sebagai kekasih dari gadis yang orang tuanya duduk tepat di depan mata!
Terlebih lagi, gelar tambahan sebagai cantik dan belo'on, terdengar bertolak belakang dan agak kasar. Namun, di satu sisi, ini juga menunjukkan tingkat keakraban tertentu.
Bagusnya, ini ditanggapi oleh Amela.
"Apaan si ih! siapa juga yang belo'on hah?!" Amela menyikut ringan pacarnya, dan meski terdengar marah, bibirnya terangkat membentuk senyum, jelas terhibur dengan gurauan barusan.
"Siapa? yah kamu lah," jawab gue dengan seringai sambil menusuk pipi lembut Amela dengan jari telunjuk. "Siapa juga orang, di dunia ini yang mau revisi skripsinya yang ujung-ujungnya bakal di hapus juga? cuma kamu doang wahai Amela Asadel!"
"Ih! Aku nggak ngeh waktu itu, jadi bukan salah aku!" protes Amela dengan cemberut, dia bahkan mencoba untuk menggigit jari pacarnya, yang dengan sigap ditarik kembali sebelum kena.
"Kamu ih, main gigit aja, kamu Zombie atau apasih."
Melihat pacarnya kembali menggodanya, Amela merasa ingin ikut bermain. "Iya, aku Zombie, aku mau makan kamu, arghh..."
Pada akhirnya, gue cuma bisa mencoba bertahan dengan menahan Amela di tempatnya yang berakting selayaknya zombie kelaparan.
Melihat kejenakaan mereka, orang tua Amela hanya terkekeh. Beban suasana yang canggung sebelumnya terangkat, menjadi lebih hidup.
Sayangnya, ada satu orang yang tidak menyambut situasi ini dengan baik.
"Ehem..." Rama berdehem sambil menawarkan jabat tangan, menghentikan gue dan Amela. Dia tak senang melihat betapa akrab dan dekatnya mereka, itu membuatnya risih.
"Nama gue Rama, dan gue..." Dia berhenti sejenak dengan ekspresi berpikir, bingung untuk mengatakan dia siapanya Amela. "Gue... temen masa kecilnya Amela, kita... hampir selalu bersama sepanjang waktu."
Pada akhirnya, dia memilih status sebagai teman masa kecil, menghindari statusnya sebagai mantan, mungkin karena itu akan merusak citranya atau semacamnya.
Juga, penambahan kata 'bersama sepanjang waktu', sepertinya dia gunakan untuk menekankan kedekatan mereka.
Amela yang mendengar itu mengerutkan keningnya dengan tak senang. Dia ingin memprotes tapi tidak jadi, karena pada dasarnya apa yang dikatakan Rama adalah kebenaran.
Gue nggak ambil pusing soal itu dan berjabat tangan dengan Rama. Namun, saat tangan kita bertautan, gue merasakan tangannya dikepal kuat.
Melirik, gue menemukan sudut bibir orang itu sedikit terangkat dan mata hitamnya tidak menutupi emosinya yang tak senang dengan keberadaan gue.
Meski diluar tampak tenang dengan senyum ramah, didalam gue tertawa getir. 'Haha, dasar bajingan puber, anda pasti berpikir dunia berputar disekitar anda bukan?'
Gue menatap Rama untuk melihat lebih jelas penampilannya. Dia memiliki rambut hitam pendek sedikit acak-acakkan, wajah tampan khas bad-boy, dengan pakaian kemeja hitam yang rapi.
Gue yakin ini bukan pakaiannya yang biasa, karena ada semacam kontras yang tidak cocok antara nuansa pakaiaanya dan aura liar arogan dari wataknya yang tidak bisa disembunyikan.
Gue yakin dia berpenampilan rapi seperti ini hanya karena berkunjung menemui orang tua Amela. Jika ini diluar, bajingan ini pasti akan memakai sesuatu yang seolah mengatakan: 'Akulah si paling Bad-boy!'
"Ehem!" Batuk Ayah Amela, Yuda, menyudahi jabat tangan yang penuh permusuhan ini. "Ini pertama kalinya kalian berdua ketemu satu sama lain," katanya melirik kami. "Tapi saya sudah kenal kalian, walau udah cukup lama juga nggak ketemu."
Melirik kepada Rama, Yuda berkata. "Terakhir kali Om lihat kamu, waktu itu kamu bersiap ke luar negri untuk lanjut kuliah disana. Itu udah sekitar empat tahun lalu, dan-"
"Iya, lumayan lama juga yah Om haha." Rama memotong dengan riang dan melanjutkan. "Waktu itu agak bingung juga sih ya mau lanjut ke luar atau disini aja. Tapi demi mencari ilmu, Rama akhirnya beranikan diri untuk ambil di luar aja. Syukurlah sekarang udah lulus dengan nilai tinggi dari Universitas ternama."
Tidak ada rasa iri dalam hati gue, saat mendengar bajingan ini memuntahkan jenjang pendidikannya yang glamor.
Gue mencibir didalam hati. 'Idiot, seharusnya saat orang tua bicara, jangan dipotong seenaknya. Lo adalah lulusan Universitas? Dengan etika kayak gitu, gue bahkan ragu kalo lo lulus sekolah dasar.'
Ayah Amela tidak menunjukan ketidaknyamanan di wajahnya. Dia mengalihkan pandangan ke Devin dan berkata. "Kamu juga Dev, Om terakhir ketemu kamu waktu kamu main ke rumah, mungkin sekitar enam bulan lalu. Sekarang kamu baru muncul lagi, Om kira kalian udah putus." Diakhir dia melirik putrinya, Amela.
"Putus putus... aku udah bilang sebelumnya kan Ayah, Hmph..." Dengan cemberut Amela mendengus.
"Yah... akhir-akhir ini Devin sibuk Om," jawab gue dengan ramah. "Kerjaan lagi sibuk-sibuknya waktu itu. Baru bisa sempetin waktunya sekarang ini."
"Kerjaan? Cafe shop itu?" tanya Yuda.
"Oh udah nggak Om. Yang itu udah gulung tikar. Devin switch untuk bangun bisnis Clothing sekarang, syukurlah, progressnya bagus, nggak kayak yang sebelumnya," jawab gue tertunduk malu.
"Ohh... begitu." Yuda bergumam pelan, kini memahami alasan kesibukkannya.
Memang, tidak mudah untuk membangun sebuah bisnis dari nol. Apalagi jika yang sebelumnya telah gagal.
"Pftt..." Tawa tertahan yang disengaja bergema, membuat yang lain mengalihkan perhatian ke sumber suara.
Diperhatikan, Rama mengkondisikan kembali dirinya. Dia tersenyum, sekilas menatap gue dengan tatapan merendahkan. "Kalo Rama Om, setelah pulang ke Indonesia, Rama bantu bisnis Ayah disini. Dia punya banyak Showroom Mobil. Rama sekarang handle cabang yang khusus jual mobil mewah."
Tak ada satupun yang tidak memahami kepada siapa kata-katanya ditunjukkan. Meski dia berbicara kepada Ayah Amela, targetnya jelas adalah gue.
Amela siap meledak saat dia juga ikut merasa tersinggung.
Lagi pula, siapa yang senang melihat orang yang disayanginya direndahkan, bahkan tepat didepan orang tuanya sendiri!
Namun, sebuah tangan lebih dulu menahan bahunya. Melirik kesamping, Amela bisa melihat pacarnya yang masih dengan tenang duduk menatapnya.