Pacarku Pecinta Angst

Allen Nolleps
Chapter #6

Bab 5. Cahaya Mentari

Hari ini, Sabtu pagi pukul 9:15, gue berada di kamar, berdiri didepan cermin, menatap kepada pantulan. Yakni, seorang pria dengan setelan rapi kemeja batik, yang dibalut oleh blazer tanpa kancing warna navy, celana bahan panjang dengan warna yang sama dan sepatu pantofel hitam.

"Hmm..." Mengusap dagu sembari mencondongkan tubuh lebih dekat kepada cermin, gue bergumam. "Harus diakui... gue memang tampan."

Bukan bermaksud menjadi narsis. Tapi, gue memang memiliki penampilan di atas rata-rata. 

Kulit putih terawat, rambut hitam pendek ala protagonis anime, mata hitam cerah yang hidup dan bibir merah muda yang sehat sebagai ciri pria non-perokok. 

Wajah gue memancarkan pesona soft-boy dengan tempramen tenang yang dewasa. Namun, masih cukup menyenangkan dengan humor yang baik. 

Tinggi gue juga ideal, di 175 cm dengan tubuh yang cukup atletis, khas mereka yang rutin workout. Jika ada parameter pengukur ketampanan, maka gue pasti akan dapat setidaknya 8/10.

"Hmm... sekarang sentuhan terakhir." Gue melirik ke tempat tidur dan mengambil sebuah jam tangan yang sebelumnya sudah gue persiapkan. 

Memasangnya di pergelangan tangan kiri, gue kembali melihat kepada cermin, seraya melakukan beberapa gaya. "Oke... lumayan."

Puas dengan apa yang dilihat, gue berjalan keluar kamar. 

Namun, langkah kaki gue berhenti saat tiba di kamar tertentu. Tangan gue menyentuh gagang pintu, dan dengan ragu membukanya. 

Tidak ada sesuatu yang spesial di dalam, itu hanya kamar sederhana yang rapi dan terawat. Terdapat tempat tidur, lemari baju dan meja belajar. 

Juga, ada beberapa benda seperti gitar, bola basket dan pernak-pernik lainnya yang menunjukkan bahwa pemiliknya adalah laki-laki.

Gue melangkah kedalam, menatap sekitar dengan tatapan melankolis. Berjalan ke meja belajar, ada beberapa benda hiasan disana. 

Gue mengulurkan tangan, mengambil gantungan kunci yang bertuliskan: Always Be Safe. 

Gantungan itu masih terpasang ke sebuah kunci motor, dan mata gue tampak agak linglung saat melihatnya. Gejolak batin mulai terasa sebelum gue dengan paksa menekannya kembali. 

Mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, gue mencabut gantungan itu dan memasukkannya kedalam saku kemeja, sebelum kembali keluar, menutup pintu kamar dengan lembut. 

 Melewati ruang tamu dan berjalan keluar rumah, sebelum akhirnya masuk kedalam mobil. Disana, gue memeriksa diri. "Dompet ada, hp ada, kunci juga aman, oke... udah siap."

Menyalakan mobil, gue bersiap untuk berangkat. 

Namun, tiba-tiba ponsel gue berdering. Melihat adanya panggilan video dari Amela, gue secara batin tahu alasan atas pemanggilannya. Tapi tetap saja, gue masih memutuskan untuk menerima panggilan. "Halo Mel-"

"Lama banget sih kamu!" Amela menyela dengan kesal.

"Jam 10 kan?" tanya gue.

"Iya... tapi resepsinya kan jam 10:30, kita harus udah disana lebih cepet! bukan jam 10 baru berangkat!"

Meski wajahnya sedang kesal, namun dengan balutan kosmetik yang dikenakannya, dia tampak lebih cantik dari biasanya. Gue agak gagal fokus disana. Dan ini baru dari video call, gimana kalo melihat secara langsung nanti.

"Beb! kamu denger gak sih!!"

Seruan Amela kembali menarik gue ke kenyataan. "Iya, denger Mel, kamu tunggu aja, bentar lagi sampai kok."

"Cepet ya, Mamah sama Ayah udah duluan, aku sendirian di rumah, emang kamu udah sampai mana?"

"Ini aku lagi di jalan," jawab gue bohong, gue masih di halaman rumah.

"Iya kamu udah sampai mana?"

"Aku lagi dijalan sayang."

"..."

"Beb, ini aku nanya, kamu udah sampai mana?" Amela mempertegas pertanyaannya saat matanya menyipit curiga. 

Tahu kebohongannya akan segera terungkap, gue berkata dengan senyum manis. "Tunggu aku, bentar lagi kok, love you."

"Beb-" Mengakhiri panggilan, gue terkekeh saat meletakkan ponsel di kursi samping. Entah mengapa, gue bisa membayangkan Amela saat ini sedang menjerit kesal. 

Dan tak lama, ponselnya kembali berdering, tapi gue hanya tertawa, mengabaikan panggilan, dan segera mulai mengemudi ke kediaman Amela, sambil memutar musik playlistnya.

***

Di rumahnya, Amela yang sedang duduk di sofa ruang tamu, menggeram kesal sambil meremas ponselnya. "Serius!! Nggak di angkat?!"

Dia baru saja menangkap basah bajingan kesayangannya itu berbohong. Dari video call, Devin terlihat sudah berada di dalam mobil. Tapi, dia pasti baru akan berangkat dan belum ada dijalan sama sekali!

Amela berusaha kembali menghubunginya, yang hanya berakhir diabaikan oleh pihak lawan. Urat di kapalanya menonjol saat napasnya terengah-engah.

"Tenang Amela, tenang, kamu nggak boleh marah-marah, nanti riasan kamu jadi berantakkan, yang tenang oke." Amela mempraktekan metode menenangkan diri dengan menarik napas dalam-dalam. Dia terus mengulanginya, sampai di titik emosinya sudah banyak mereda. Dan tiba-tiba, ponselnya berdering.

Dia dengan sigap meraihnya, bersiap untuk berteriak sesaat setelah dia menerima penggilan. Namun, dahinya berkerut bingung saat Amela menemukan pemanggilnya adalah nomor yang tidak dikenal, itu bukan dari pacarnya Devin.

'Siapa ini?' gumamnya, berpikir sejenak, Amela segera menerima panggilan.

"Halo, ini Amela kan?" Suara yang familiar terdengar dari sana. Namun, wajah Amela malah berkerut kesal mendengarnya, itu adalah suara Rama.

Rama berbicara lagi, tapi Amela tidak merespon. 

Pikirannya sudah di luar. Dia tidak menjawab, seolah dia tak mendengar apapun, seolah telinganya tersumpal hanya mendengar suaranya. 

Dia sudah cukup lama menunggu pacarnya untuk menjemputnya, hanya untuk menangkap basah bajingan itu yang baru saja akan berangkat. 

Setelahnya, dia bahkan diabaikan, tidak peduli berapa kali dia menghubunginya lagi. Dan kini, dia mendengar suara dari Rama. 

Kekesalan yang sebelumnya ditekan, kini muncul kembali, tidak, itu bertambah sepuluh kali lipat!

"Amela? kok nggak ada jawaba-"

"BACOT!! ANJING!!" Amela berteriak keras. "Dasar siput sialan!! ganjen!! narsis!! dandannya kayak cewek!! tukang ngaret berengsek!!"

Amela segera mengakhiri panggilan setelah meluapkan emosinya. Hal-hal kasar yang ingin dia katakan, dimuntahkan saat itu juga. 

Tentu, jika itu adalah pacarnya Devin, Amela tidak akan sekasar ini. Tapi, ini adalah Rama, orang yang tidak dia pedulikan, atau justru dia benci. Jadi, tidak ada keraguan dalam dirinya untuk tidak melepaskan semua lahar panas yang terkandung di kedalaman hatinya. 

Dan tak sampai disana, dia bahkan memblokir nomor Rama. Kejam! sungguh wanita yang sangat kejam! hal-hal penting harus di ucapkan dua kali!

***

Jauh di tempat lain, di dalam mobil mewah Audi A7 warna hitam. Rama meringis saat merasakan kupingnya berdengung ketika dia mendengar Amela yang tiba-tiba berteriak keras. 

Dia menatap bingung pada ponselnya, memikirkan bagaimana dia bisa mendapatkan tanggapan yang begitu signifikan.

"Apa Amela sebenci ini?" gumamnya saat perasaan sakit di hatinya meluap. 

Dia telah mendapatkan nomor Amela dari salah-satu teman SMAnya, dan berniat menghubunginya untuk tahu apakah dia punya kesempatan untuk mengajak wanita itu datang bersama. 

Tentu, dia tahu bahwa peluangnya sangat kecil, terutama dengan keberadaan pacar barunya, Devin. Tapi, dia tetap mencoba. 

Namun, hasilnya bahkan jauh melebihi ekspektasi terburuknya. 

Dia berpikir bahwa akhirnya dia hanya akan diabaikan, tak menyangka bahwa dia akan diteriaki seperti itu.

Dengan emosi gusar, Rama mencoba kembali menghubungi Amela. 

Namun, jangankan berdering, dia bahkan mendapatkan jawaban monoton provider yang mengatakan bahwa nomor yang dia tuju tidak dapat di hubungi.

"Serius? Nomor gue diblokir?" Rama menatap tak percaya. 

Amela sepertinya benar-benar ingin memutuskan hubungan apapun darinya. 

Dia hanya duduk termenung, sejenak mengingat momen kebersamaan mereka dahulu. Jika dilihat dari betapa dekatnya mereka, tidak ada yang akan menyangka, hubungan mereka akan sampai ke titik beku seperti ini. 

Pada akhirnya, Rama hanya bisa menatap kosong pada ponselnya dengan segudang badai emosi di hatinya.

Jika seandainya dia tahu jika dirinya baru saja menjadi pelampiasan Amela karena kekesalannya pada Devin, dia mungkin akan menangis darah. 

Sebaliknya, jika Devin tahu akan hal ini, dia mungkin akan tertawa histeris.

***

Gue tiba di depan gerbang rumah Amela, berniat mengambil ponsel untuk menghubunginya, memberitahunya bahwa dia telah tiba. 

Namun, dari sini gue bisa melihat siluet seorang wanita yang berdiri di depan pintu rumah. Dan ketika wanita itu melihat kepada mobil gue, dia berjalan cepat kemari. Itu adalah Amela.

Gue keluar dari mobil, bersiap untuk menyambutnya dengan senyum semanis yang gue bisa. Bagaimanapun, kedamaian perjalanan ini akan tergantung pada suasana hati wanita itu.

"Hey Cantik," sapa gue dengan ramah.

Amela tak segera menjawab. Dengan ekspresi kesal, dia membuka dan menutup mulutnya, tampak bingung ingin memarahi pacarnya atau tidak. 

Namun, pada akhirnya, dia terlalu lelah untuk itu. Ditambah lagi, make-upnya mungkin akan luntur karenanya. Menarik napas dalam-dalam, Amela berkata. "Kamu lama banget sih? tahu nggak ini udah jam berapa?"

"Hmm... 9:30?" jawab gue asal-asalan.

"9:45 Beb! emang kamu nggak ada jam atau apa gitu?"

"O,h aku ada." Menunjukkan jam tangan yang gue kenakan "Tapi mati."

"Eh... apa?"

"Aku bilang... jamnya mati sayang."

Amela membuka mulutnya terkejut. "Mati? kamu pakai jam mati? Buat apa?!"

Sementara Amela mengomel, mata gue meliriknya dari atas ke bawah. 

Saat ini, dia sedang mengenakan gaun warna navy yang cukup menonjolkan tubuhnya yang anggun dan cukup berisi. 

Sambil membawa tas wanita warna putih yang tampak mahal. 

Ada riasan tipis di wajahnya yang semakin menonjolkan kecantikannya. Dan gue juga melihat sesuatu yang baru, yakni ada anting kecil warna perak di kedua telinganya. 

Amela sudah sangat cantik dari settingan defaultnya. Dan dengan semua ini, gue nggak tahu lagi apakah ada wanita yang lebih cantik dari dia. 

Pemikiran ini mungkin agak berlebihan, tapi buat gue, jawabannya adalah tidak ada!

Sejenak gue ingat, sebelumnya, Amela mengatakan bahwa dia sendirian dirumah. 

Secara otomatis, sebuah pikiran kotor terlintas di otak gue, sebelum gue dengan tegas menggelengkan kepala untuk membuyarkan pikiran itu. 'Ugh... bahaya, situasi yang kayak gini nih, yang jadi pintu jalan menuju kebobrokan.'

Lihat selengkapnya