Gue sedang duduk di area kerja, di lantai tiga dari Ruko dimana gue menjalankan bisnis clothing, melihat kepada laptop yang sedang memuat laporan keuangan bulan ini.
Besok, sudah mulai memasuki bulan November, masuk kedalam pertengahan kuartal empat di tahun ini. Gue melihat, bahwasannya terdapat sekitar 3.200 penjualan selama satu bulan terakhir. Terdiri dari penjualan produk t-shirt, long sleeve, celana chino, dan beberapa produk tambahan fashion lainnya. Secara keseluruhan, total pendapatannya adalah Rp 336.000.000.
Tentu, itu hanya pendapatan keseluruhan, jika kita bicara soal keuntungan, maka itu hanya 30% dari nominal di atas, yakni sebesar Rp 100.800.000. Karena dalam setiap produk yang kami jual, kita sudah atur margin keuntungan di sekitar 30%.
Dan angka itu juga bukan pendapatan bersih gue. Bagaimanapun, masih ada biaya operasional, dan gaji karyawan yang harus dibayar.
Letak Ruko ini sangat strategis. Berada di pusat kota dan dekat dengan area Mall, serta kampus dan sekolah. Karenanya, gue harus merogoh kocek lebih besar dalam membayar sewa. Umumnya, harga sewa Ruko tiga lantai berada di kisaran 8-12 juta per bulan.
Tapi disini, gue harus membayar 25 juta untuk setiap bulannya! Meski hasilnya cukup sepadan, tetap saja Mahal!
Tak hanya itu, gue juga harus membayar dua karyawan dengan masing-masing memiliki gaji dua kali lipatnya UMK Jakarta. Ditambah dengan biaya lainnya seperti listrik, air, internet, makan siang, pajak, langganan premium tools-tools software tertentu seperti Adobe, Figma, Mekari Jurnal dan sebagainya, membuat sisa pemasukan menjadi di kisaran 40 jutaan.
Nominal inilah yang nanti akan dibagi dua antara gue dan Lintang, yang juga selaku Co-Founder.
Jadi, apakah gaji gue untuk bulan ini adalah 20 juta? belum tentu. Meski memang benar, bahwa itu adalah pendapatan bersih gue. Tapi, seringkali gue memasukkan hampir setengahnya ke dalam kas bisnis.
Maksudnya apa? Jadi, gue dan Lintang sepakat untuk hanya mengambil gaji seperlunya, dan sisanya kita kumpulkan ke dalam wadah yang akan menjadi dana darurat. Jika entah suatu hari bisnis ini dalam masalah, atau kita mau ekspansi yang lebih besar dan membutuhkan suntikan dana tanpa mengambil pinjaman, kita bisa ambil dari dana darurat itu. Misalnya mobil yang biasa gue bawa, itu dibeli melalui uang kas yang terkumpul.
Tidak ada nominal pastinya, antara gue dan Lintang yang di haruskan untuk mengisi kas.
Yang jelas, setelah bagi hasil, terserah kita mau taruh berapa. Meski tentu gue dan Lintang cukup solid dengan menggelontorkan sebagian besar gaji kita ke dalam sana.
Lagi pula, bukan berarti uang kita tercampur dan menjadi bias kepada siapa kepemilikan uang itu menjadi. Karena meski di satukan, pencatatannya jelas dibedakan, sehingga masing-masing bisa tahu seberapa besar kontribusi satu sama lain.
Juga, sebenarnya kami bisa saja menarik kembali uang itu kapan saja selama ada komunikasi yang jelas. Karena pada akhirnya, itu masihlah uang pribadi masing-masing, dan tak salah untuk menariknya kembali jika perlu. Karenanya, uang kas ini juga bisa bersifat tabungan pribadi.
Dan untuk menghindari inflasi, kita sudah meletakkan dana ini kedalam sebuah instrumen investasi dengan resiko yang relatif rendah.
Gue menatap kepada nominal uang kas yang telah gue kumpulan, dan menemukan bahwasannya itu sudah terkumpul sekitar setengah milyar! angka yang cukup besar, tapi tidak ada ekspresi senang di wajah gue saat menatapnya. Sebaliknya, gue menghela napas dengan kecewa. "Ini terlalu sedikit."
Nominal di atas adalah hasil jerit payahnya selama ini, jatuh bangunnya dalam membangun bisnis selama dua tahun terakhir. Ini merupakan hal yang harus di apresiasi, dan faktanya gue sendiri cukup bangga karenanya.
Tapi, ada satu kenangan dari kejadian kemarin yang masih membekas dan menjadi pill pahit.
'Semua tamu yang di undang disini adalah masyarakat kelas atas, jadi lo nggak pantas buat ada disini.'
'Lo sama Amela itu hidup di dunia yang beda. Emangnya apa yang bisa lo kasih ke dia hah?! mobil rongsokan sialan lo itu?!'
'Untuk bikin pernikahan kayak gini aja, butuh budget sekitar lima milyar! dan apa yang bisa lo kasih hah?!'
Itu adalah perkataan Rama. Hari ini adalah hari minggu, dan meski sudah sehari berlalu, gue masih nggak bisa melupakan kata-kata itu. Jika ditanya apakah gue merasa tersinggung, maka jawabannya sudah pasti iya.
Tapi tentu, itu bukan karena Rama. Lagi pula, bajingan yang hanya menikmati warisan keluarganya, tak pantas dari mulutnya mengeluarkan kata-kata seperti itu, itu tidak apple to apple.
Alasan gue nggak bisa melupakannya adalah karena itu merupakan fakta.
Gue bukan orang yang mudah tersinggung. Jadi gue nggak terlalu peduli apa yang orang itu katakan. Namun, meski yang mengatakannya adalah seorang bajingan, apa yang dikatakannya tetaplah sebuah realita.
Dengan kemampuan finansial gue saat ini, gue nggak akan mampu untuk melaksanakan pesta pernikahan sebesar itu. Dan kenapa gue begitu peduli? Sejujurnya gue sendiri nggak tertarik untuk membuat pernikahan yang glamor.
Tapi, bagaimana dengan Amela? Meski gue percaya bahwa dia nggak keberatan dengan pesta pernikahan yang lebih sederhana, bagaimana dengan teman-temannya? Dia tentu akan mengundang mereka, jadi bagaimana tanggapan mereka atas itu?
Dari kejadian kemarin antara gue dengan teman-teman Amela, serta interaksi dan pengamatan gue kepada tamu undangan lainnya, ada semacam aturan tidak tertulis yang menyatakan bahwa lo harus memiliki standar tertentu untuk berada di kelompok masyarakat ekonomi atas.
Sebuah standar yang belum bisa gue penuhi.
"Apa yang bisa gue kasih ke dia ya?" gumam gue lemah, memikirkan masa depannya dengan Amela. Bertanya-tanya hal baik apa saja yang bisa gue berikan.
Dan tolong jangan romantisasi kemiskinan gue ini. Mengatakan bahwa cinta dan kasih sayang cukup untuk membangun masa depan yang indah.
Oh ayolah... kami tidak kekurangan fenomena dimana ada pasangan yang sudah berpacaran selama bertahun-tahun, tiba-tiba putus karena sang wanita telah menemukan pria yang lebih mapan dari pacarnya saat ini. Kami bisa menemukan banyak kasus seperti itu di internet.
Tentu, gue yakin Amela bukan termasuk orang-orang itu. Tapi tetap saja, gue masih harus menemukan solusi nyata, bukan solusi sentimental guna mengangkat semangat hidup yang sudah menyedihkan ini.
Juga tak perlu untuk menyalahkan kaum wanita, itu adalah insting dasar bertahan hidup, untuk memilih pasangan yang paling bisa menjaga dan memberikan kestabilan hidup.
Gue merebahkan diri ke kursi kerja, mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiran. Karena gue belum menemukan solusinya, selain untuk berkerja lebih keras tentunya, gue segera mengalihkan perhatian dan mulai fokus pada pekerjaan, menyiapkan dana untuk pengeluaran bulan ini.
Dengan itu, gue membayar segala macam layanan bulanan, termasuk mentransfer gaji ke para karyawan. Mengingat gue menggunakan layanan software pengelolaan perusahaan. Hanya butuh beberapa menit saja untuk menyelesaikan segala urusan, termasuk pencatatan keuangan.
Selesai dengan itu, ponsel gue yang berada tak jauh dari laptop berdering. Gue tak langsung menjawab, menatap sejenak, sebelum dengan helaan napas, gue mengangkatnya. Ini adalah panggilan rutin yang selalu gue terima setiap hari minggu, dan sayangnya, itu bukan berasal dari Amela.
"Oke, kayak biasa, nanti saya kesana, makasih Mbak." mengatakan itu, gue segera mengakhiri penggilan. pembicaraannya tak lama memang, karena tidak banyak yang perlu dibahas.
Merapikan meja kerja, gue turun kelantai bawah, bertemu dengan pemuda usia awal 20 an dengan rambut hitam panjang gondrong, sedang duduk di kursi dengan laptop di depannya. Dia adalah Bagas, seorang graphic designer, karyawan gue. "Gas, bulan ini udah di transfer ya," kata gue.
Mendengar itu, Bagas, menatap gue dan menyeringai konyol seraya memberi salam hormat bendera. "Tararengkyu Bosque!"
Gue menggeleng saat melihat antusiasmenya, dan mengalihkan pandangan, menatap dua remaja laki-laki yang sedang merapikan barang-barang di outlet.
"Dilan, Nathan," panggil gue, membuat keduanya menatap kesini, "Saya mau keluar, nanti buat makan siang, minta sama Bagas aja ya."