Pacarku Pecinta Angst

Allen Nolleps
Chapter #8

Bab 7. Skema Rama

"Jadi, kita bakal tembak Tiktok Ads untuk dua minggu kedepan?" Lintang, yang berdiri disamping gue, bertanya sambil melihat kepada slide presentasi di laptop.

"Begitulah, ditambah sama spesial promo 11:11, ini seharusnya bisa cukup mendongkrak penjualan," jawab gue yang tengah duduk di tempat kerja yang biasa.

Saat ini, gue dan Lintang sedang berdiskusi, membuat rencana untuk penjualan kita di bulan ini. Dan seperti biasa, dalam bisnis E-commerce, akan ada event bulanan di tanggal cantik. Misalnya di bulan November ini, akan ada event yang namanya 11:11, dimana banyak platform E-commerce menawarkan promo menarik untuk para konsumen. Memang, umumnya arus penjualan akan berada dalam puncaknya di masa-masa event seperti ini, dan gue jelas tidak ingin ketinggalan momentum itu.

"Gue yakin, rencana ini bukan cuma kita doang yang kepikiran," kata Lintang dengan ekspresi berpikir. "Kita mungkin butuh value lebih untuk menonjol dari semua kompetitor lain."

Gue mengangguk setuju. "Memang, kita harus pikir apa yang bisa bikin kita jadi beda dari yang lain, terutama tanpa harus perang harga."

Salah-satu rencana paling sederhana namun efektif adalah dengan menekan harga jual semurah-murahnya. Gue ingin menghidari hal itu. Meski tetap memberikan harga promo, gue ingin itu tidak akan membuat harga jual terlalu anjlok ke bawah. Bagaimanapun, event ini diharapkan akan mendatangkan keuntungan besar. Akan terlalu sia-sia jika banyak produk yang terjual, namun secara keseluruhan keuntungan yang diproleh tak begitu signifikan.

"Mungkin kita bisa kasih harga bundle?" tanya Lintang. "Kita kasih potongan promo yang cukup gede, tapi cuma berlaku untuk pembelian beberapa produk sekaligus."

Mendengar itu, gue berpikir sejenak, sebelum mengangguk. "Boleh tuh, sekarang kita buat rencana aja mau aturnya kayak gimana."

Dengan itu, gue dan Lintang menghabiskan waktu untuk membahas promo apa yang akan kita buat, produk mana yang akan kita bundle dan berapa nilai harga beserta promonya. Tak hanya itu, kita juga membahas settingan Ads yang akan kami pasang di platform Tiktok. Semuanya dilakukan sampai tak terasa sudah tengah hari. Di jam ini, Lintang turun kebawah, memberitahukan Bagas untuk membeli makan siang.

Sendirian di lantai tiga, gue memeriksa ponsel, dan mengerutkan kening melihat kepada banyaknya notifikasi WhatsApp yang memenuhi top bar ponsel. Gue tentu tahu siapa pelakunya. Dengan helaan napas, gue membuka aplikasi, dan melihat sudah ada puluhan chat dan voice note dari Amela.

Mengabaikan chat panjang yang sudah seperti koran itu, gue hanya membuka voice note yang dia kirim.

"Ugh... Beb! aku bingung mau baca novel Angst tentang anak yang ditindas keluarganya atau istri yang ditindas suaminya, menurut kamu bagusan yang mana dulu?"

'Menurutku, lebih baik untuk nggak baca satupun.' sahut gue secara spontan didalam hati. Menggulir layar dan membuka voice note yang lain.

"Ih gila! anak itu padahal udah berusaha sebisa mungkin lho, seengaknya keluarganya hargai perjuangannya kek!! Lagian emang salah ya punya kekurangan dan nggak sempurna kayak saudaranya yang lain. Bikin sebel deh!!"

'Kalo nggak mau sebel, jangan dibaca dong.' Berpikir demikian, gue terus memeriksa voice note lain.

"Eh eh... apaan nih! setelah si anak kecelakaan dan koma, keluarganya baru sadar atas kesalahan mereka dan menyesal. Mampus!! nyesel sono lo semua, dasar bego!"

'Amela, tolong bahasanya dijaga sayang.'

"Kurang puas sama endingnya, aku mau baca novel lain aja. Yang ini tentang istri yang ditindas suaminya, kata temen Bookstagram aku, ini sih Angst parah."

"Eh, aku baru ngeh lho kalo sekarang udah tengah malem, Ayah negur aku barusan untuk tidur, jadi aku matiin lampu biar dikira tidur, padahal diem-diem aku lanjut baca pakai senter hp, hehe... pinter kan aku Beb?"

'Tidak nona, anda durhaka kepada orang tua. terus lanjutkan dan suatu hari anda mungkin akan menjadi batu.'

Gue tersenyum, merasakan dorongan untuk mengirim voice note barusan ke Ayah Amela, itu akan jadi pemandangan yang layak dilihat. Terkekeh, gue lanjut mendengarkan voice note lain yang dikirim oleh Amela sejak kemarin.

Setelah mendapatkan 40 buku Angst yang dipesannya, tidak ada hari tanpa serangan rentetan pesan yang datang ke WhatsApp gue. Dan keseluruhan pesan itu nggak jauh dari rangkuman cerita + keluhan Amela didalamnya. Chat bertumpuk bagai koran, lusinan voice note, bahkan ada yang sampai berdurasi satu jam! Berbagai hal gila memenuhi WhatsApp gue.

Jika ada satu hal yang disyukuri, maka itu adalah fakta bahwa Amela, cukup mengerti untuk tidak menelpon gue di waktu kerja. Umumnya dia hanya akan mengirim chat dan voice notenya. Sementara mereka akan video call di waktu malam, setelah gue selesai dengan urusan pekerjaan. Juga sering kali di saat kita jalan di luar, pembicaraan tak akan jauh dari curhatan novel Angstnya.

Meski tampak merepotkan, jauh didalam, gue menemukan penghiburan diri dengan mendengarkan rentetan voice note yang konyol ini. Bahkan ketika kita diluar dan Amela masuk kedalam mode Gramedia Berjalannya, bercerita tanpa rem. Walau tidak menunjukkannya diluar, didalam gue senang melihat dan mendengarkannya. Segala keluhannya, wajah cemberutnya, kata-kata kutukan yang dilontarkannya, sudah seperti percikan api yang menghasilkan dopamin, membuat gue lebih bahagia.

Sambil menghabiskan makan siang, gue mendengarkan sisa voice note Amela. Terkadang Lintang akan menegur gue, bertanya kenapa gue tiba-tiba senyam-senyum nggak jelas. Tentu, gue hanya menjawab bahwa gue sedang mendengarkan podcast bergenre komedi. Yaps... curhatan Amela, buat gue setara dengan konten komedi.

Tak lama, gue menghabiskan makan siang dan bersiap untuk lanjut kerja. Namun, Yuni, karyawan gue, datang dengan ekspresi khawatir, dia berkata. "Bos Dev, itu... di depan."

Merasa sesuatu yang tidak beres, gue bertanya dengan serius. "Di depan kenapa?"

"Itu... ada sekolompok orang bawa motor, kayak geng gitu didepan." jawabnya.

Mendengar itu, gue mengerutkan kening. 'Geng motor?' Tanpa pikir panjang, gue berjalan turun kelantai bawah yang diikuti oleh Yuni. Sampai dibawah, gue menemukan sekelompok pemuda, mengenakan jaket kulit hitam, bergerak di sekitar outlet, melihat dan menyentuh barang-barang. Beberapa dari mereka ada yang memakai bandana di kepala, kalung rantai besi, dan pernak-pernik lain yang tampak menekankan kesan bad-boy mereka, bahkan ada satu orang yang membawa tongkat baseball. Sungguh pemandangan yang mengintimidasi.

Gue melihat Lintang dan Bagas yang berdiri mengawasi mereka. Memastikan untuk menunjukkan bahwa mereka tidak terintimidasi dengan kedatangan para berandalan ini. Sayangnya, karena ini adalah hari rabu, karyawan magang gue, Dilan dan Nathan lagi nggak ada disini.

"Jav, lihat nih, yang ini jelek banget desainnya," kata salah satu dari mereka, kepada temannya yang menjawab. "Yang mana... anjir! sampah banget! coretan di dinding yang gue buat kemarin aja masih lebih bagus hahaha..."

Gelak tawa mereka, berhasil membuat gue dan yang lain mengerutkan kening, terutama Bagas. Bagaimanapun, dialah yang mendesainnya.

"Eh, eh... lo liat deh raknya, keliatannya rapuh banget," kata berandalan yang memegang tongkat baseball. "Menurut lo pada, ini kalo gue pukul langsung patah ga?" Mengatakan itu, dia mengarahkan tongkatnya ke rak dimana banyak baju-baju digantung.

"Hahaha... gila lo Za, jangankan itu, seluruh toko ini aja bisa ancur cuma sekali tendang, hahaha..."

Total ada enam orang dari mereka, mengejek dan menertawai apapun yang mereka lihat disini, persis seperti bajingan klise di novel-novel yang sering Amela ceritakan. Tanpa perasaan takut, gue berjalan mendekat.

"Permisi bro semua, lagi mau cari apa ya?" kata gue dengan ramah, selayaknya penjual pada umumnya.

Mereka sejenak terdiam, menatap kepada seseorang yang tampaknya pemilik tempat ini. Tentu, di awal mereka telah melihat dua orang pria sebelumnya, tapi mereka mengabaikannya. Dan sekarang, ada orang baru yang muncul, dan berani menginterupsi mereka.

Si pembawa tongkat baseball yang sebelumnya di sapa Za, berjalan mendekat, berhenti tepat di depan gue. Sejenak ada keheningan mencekam saat dia hanya berdiri menatap tanpa mengatakan apapun.

Gue tanpa merasa terintimidasi sedikitpun, berdiri tenang dengan senyum tipis. Gue nggak terlalu khawatir, bagaimanapun, gue nggak sendirian. Dan selayaknya bangunan Ruko pada umunya, tempat ini bukanlah satu-satunya, ada Ruko lain di kiri-kanan yang juga menjalankan usaha masing-masing. Jika seandainya ada keributan, mereka akan menjadi saksi. Ditambah lagi, ada CCTV disini, yang sudah merekam kejadian sejak awal.

Senyum Reza melebar, dia mengangkat tongkat baseball ke bahunya. Tentu dalam prosesnya, dia melakukan gaya berlebih, sehingga tampak seperti akan memukul. Sepertinya ini cukup berhasil, mengingat Lintang dan Bagas, tampak akan melesat kedepan, membantu Devin, adapun Yuni, dia sudah menutup wajahnya dengan ngeri. Namun, anehnya untuk Devin sendiri, dia masih tenang, tetap berdiri dengan senyum tipisnya, sesuatu yang membuat Reza agak tak senang.

"Lo pasti Devin kan?" tanya Reza.

"Begitulah, gue pemilik toko kecil ini... butuh apa ya bro?" jawab gue dengan ramah, meski di dalam gue berpikir 'Orang ini tahu gue?'.

Gue nggak kenal siapa orang ini, dan jika dia langsung menanyakan identitas gue, maka mereka jelas datang secara khusus untuk gue. Dan dari bagaimana etika mereka yang tak ramah, gue bisa mengambil kesimpulan: 'Ada orang yang kenal gue, dan orang itu punya masalah sama gue, dialah yang ngirim sekumpulan idiot ini.' Mengingat akhir-akhir ini gue hanya memiliki masalah dengan satu orang, tak sulit untuk menebak siapa pelakunya.

"Gue lagi pengen beli baju," kata Reza, melirik ke sekitar outlet, sebelum melanjut dengan cibiran. "Tapi baju yang lo jual jelek banget, keset di rumah gue aja masih lebih bagus."

Lihat selengkapnya