Gue berkeringat deras, sementara otot di hampir seluruh tubuh terasa sakit. Dengan satu tarikan terakhir, gue menurunkan barbel tangan seberat lima kilo ke matras lantai.
"Hah... cukup kali ya," gumam gue terengah-engah, sebelum berjalan ke arah cermin.
Saat ini, gue sedang melakukan workout di sebuah Gym. Ini adalah hal yang secara konsisten gue lakukan setiap tiga kali seminggu, yakni setiap hari Selasa, Kamis, dan hari ini, Sabtu.
Sampai di depan cermin, gue menatap pantulan yang menampilkan diri sendiri, mengenakan kaos lekbong ketat warna hitam dan celana pendek. Wajah gue sedikit memerah karena latihan sebelumnya, sementara butiran keringat dapat terlihat diantaranya.
Gue melihat hasil dari workout hari ini, otot lengan yang terbentuk jelas, otot dada yang terlihat dari dalam kaos, otot paha dan betis yang juga terbentuk dengan baik.
Gue biasa menghabiskan waktu satu jam setiap sesi dan melakukan berbagai latihan untuk membentuk otot di masing-masing area tertentu. Semua ini dilakukan tentu demi memiliki tubuh yang bagus. Meski tidak seluar biasa para binaragawan, tubuh gue tetap terbentuk dengan baik dan cukup memberi kesan manly yang kuat.
Yah... itu bagus, lagi pula gue sendiri nggak mau punya badan seberotot itu, selain malah bikin serem, pasti susah juga kalo mau garuk punggung. Mengesampingkan pikiran konyol itu, gue berjalan pergi, mengambil ponsel dan air mineral, sebelum duduk dan minum.
Setelah memuaskan dahaga, gue melihat kepada ponsel yang menunjukkan pukul delapan pagi. Masih ada dua jam sebelum kencan gue sama Amela. Tak berlama-lama lagi di Gym, gue segera pergi ke Ruko tempat usaha Clothing gue.
Memakirkan mobil di halaman bangunan tiga lantai yang familiar, gue masuk kedalam, menemukan isi Outlet dengan jejeran produk fashion.
"Pagi Mas Dev," sapa Nathan, sebagai orang pertama yang melihat kedatangan gue. Dilan juga ada disana, dia menyapa yang gue balas dengan anggukan singkat.
Karena ini adalah weekend, Lintang dan Yuni tidak hadir, sebaliknya, dua siswa magang inilah yang datang. Seharusnya weekend akan menjadi hari libur untuk semua, namun semenjak Bagas tinggal disini, Outlet ini jadi buka setiap hari. Sungguh menyenangkan memiliki budak korporat yang rela bekerja setiap hari tanpa kenaikan gaji.
Gue berbincang sebentar dengan Bagas sebelum bersiap pergi kelantai atas, namun...
"Permisi," suara wanita terdengar, membuat gue dan yang lain, melihat ke pintu masuk Outlet, menatap kepada pengunjung baru.
Dia adalah seorang wanita yang tampak berusia pertengahan 20, dengan rambut panjang hitam bergelombang dan mata hitam. Wajahnya cantik dengan bulu mata yang lebih lentik, alis tebal dan bibir merah menyala. Sayangnya, meski tampak natural, gue masih bisa mengidentifikasi bahwa itu merupakan hasil dari sedikit riasan wajah. Dia datang mengenakan pakaian gaun warna hitam yang indah.
Kami berempat melihatnya masuk, berjalan sambil melirik kesekitar Outlet. Sementara yang lain masih menatap terpesona, gue dengan santai menjamu. "Halo Kakak, perlu apa ya?" sapa gue ramah.
Dia berbalik, menatap kesini. Kepalanya agak dimiringkan saat dia melihat gue, menonjolkan kesan kelucuan tertentu. "Oh ya, aku lihat di Instagram bajunya bagus-bagus, jadi aku mau cek langsung ke tokonya, kebetulan deket," jawabnya.
"Ohh... boleh kok, nanti kasih tahu aja mau pilih yang mana. Juga kita ada promo untuk pembelian beberapa produk sekaligus," kata gue, tak lupa menawarkan promo harga bundle yang sebelumnya telah gue dan Lintang atur.
"Wihh... boleh banget!" katanya antusias.
Gue meminta anak magang untuk mengurusnya. Tidak ada urusan lagi, gue berbalik untuk pergi ke lantai atas, namun...
"Sebentar," katanya segera, ketika dia melihat gue bersiap pergi. Wanita itu mengambil ponselnya, dan berkata dengan manis. "Kebetulan aku Influencer, boleh Ngevlog disini juga nggak?"
Senyum indah dari paras cantiknya, cukup untuk membuat para bujangan di toko ini merasakan pukulan telak di hati mereka. Tentu, gue adalah orang yang paling tidak terpengaruh. Gue bersiap untuk menjawab, namun...
"Boleh banget Kak!" jawab Bagas penuh semangat, dia segera berjalan cepat mendekat sambil merapikan rambut gondrongnya.
Bertolak belakang dengan antusiasme Bagas, wanita itu tampak agak muram, sebelum dengan cepat kembali ke sikap anggunnya. Tapi momen singkat barusan dengan jelas gue perhatikan. Melihatnya, gue berpikir: 'Pemain?'
Ada semacam aura unik dari wanita ini. Meski menampilkan citra diri yang anggun dan manis, ada kesan kenakalan tertentu didalam sikap alaminya. Sebuah pesona yang menunjukkan kualitasnya sebagai wanita yang berpengalaman.
Namun, masih agak aneh kenapa dia menampilkan citra yang bukan dirinya. Tapi gue nggak berpikir lebih jauh. Setiap orang punya rahasianya masing-masing, termasuk gue sendiri. Tak aneh melihat seseorang yang menampilkan sesuatu yang bukan dirinya di depan publik. Itu bukan urusan gue, dan gue nggak tertarik untuk tahu.
Memberi anggukan kepada Bagas, gue bersiap untuk pergi, namun...
"Bentar," Wanita itu memanggil. "Kalo bisa sih sama ownernya juga, karena sekalian mau tanya-tanya, boleh nggak?" katanya dengan sanyum malu-malu yang membuat Bagas tersenyum konyol.
Gue agak bingung mendengarnya. 'Gimana dia tahu kalo gue ownernya?' Sebuah kecurigaan terbentuk di pikiran gue. Berpikir dengan hati-hati, gue akhirnya mengalah. 'Mari kita lihat kemana ini akan menjadi,' gumam gue dalam hati.
"Boleh kok," kata gue dengan senyum ramah.
"Ah ya, anyway... aku Jeni" katanya sambil menawarkan jabat tangan. Gue dengan sopan menjabat tangannya yang lembut. "Devin."
"Ah ya, gue Bagas." Tepat setelah gue berjabat tangan, Bagas datang menawarkan diri, yang dijawab singkat oleh Jeni tanpa menerima jabat tangannya. "Jeni."
Gue terkekeh didalam hati setelah melihat raut wajah kecewa Bagas. Selanjutnya Dilan dan Nathan juga mengenalkan diri. Mereka meski terpesona, tidak terlalu antusias seperti Bagas, karena selain perbedaan usia yang cukup jauh, mereka juga masing-masing memiliki pacar di sekolah. Hahh... anak zaman sekarang, sekolah bukannya belajar malah cinta-cintaan.
Dengan itu, wanita bernama Jeni membuka kamera ponselnya dan melakukan vlog, memperlihatkan produk, suasana Outlet dan juga mereka yang bekerja didalamnya. Terkadang dia akan mengobrol dengan kami, lebih tepatnya gue.
Dan meski seringkali Bagas mencoba untuk mendapatkan lebih banyak perhatian, wanita ini hampir selalu mengabaikannya sebelum kembali bicara dengan gue. Sungguh bajingan malang.
Gue nggak terlalu peduli dengan sikap pilih kasihnya, hanya berharap agar wanita ini akan membayar barang yang ingin dibelinya, tidak menukarnya dengan jasa influencenya. Persetan dengan jumlah followers anda! kalo mau beli ya bayar!
Setelah setengah jam, Jeni akhirnya mengakhiri vlognya, dia berkata dengan manis ke gue. "Makasih, ini bisa jadi bahan konten yang bagus."
"Oke, nggak apa-apa," jawab gue, sebelum bertanya dengan senyum menggoda. "Nggak sekalian beli juga nih?"
"Oh iya," jawabnya, memukul ringan kepalanya dengan imut, sebelum memilih beberapa barang. Bagas dengan senang hati mengurus pesanannya, dengan rapi membungkusnya.