"Devin nggak ada?" tanya Jeni bingung. Mengetahui Outlet Devin buka setiap hari, dia berencana untuk mampir weekend ini. Dan setelah melihat tidak adanya Amela, dia berinisiatif bertanya keberadaan Devin. Sayangnya, orang itu sedang tidak ada disini.
"Bos Dev, kalo hari minggu kayak gini, biasanya datengnya agak siangan," jawab Bagas dengan senyum konyol, "Tunggu disini aja dulu, nanti juga dia bakal dateng, hehe..."
Wajah Jeni berkedut, mendengar tawaran pria gondrong itu, niatnya jelas, ingin dekat dengannya, sesuatu yang membuatnya merinding tak nyaman. "Nggak deh, aku dateng lain waktu aja," katanya menolak, sebelum berjalan pergi.
"Eh, nggak apa-apa, tunggu aja disini," jawab Bagas tergesa-gesa. Jeni menggeleng. "Nggak usah, nanti malah ngerepotin."
"Nggak kok! gue siap direpotin, nanti gue buatin teh, es kelapa, atau bahkan es mambo juga bisa." Mendengarnya, Jeni menjadi kesal, terutama saat pria itu berjalan menyusulnya, dia menjawab. "Nggak usah, aku baru inget ada urusan lain diluar." Mengatakan demikian, Jeni berjalan lebih cepat. Bagas berhenti di depan Ruko, melihat kepada Jeni yang berjalan menjauh, dia menghela napas dengan ekspresi patah hati.
Sementara itu, Dilan dan Nathan, dua siswa magang yang melihat semua adegan barusan, mau tak mau berkomentar. "Mas Bagas yang malang."
Nathan mengangguk mendengar komentar Dilan. "Lo ganteng, lo aman." Mendengar kalimat filsuf Nathan, Dilan mengangguk setuju. "Untung muka gue mirip Iqbal Ramadhan." Nathan menoleh sejenak, sebelum bergumam pelan. "Untung juga muka gue mirip Jefri Nichol."
Keduanya mengangguk setuju, bersyukur mereka memiliki wajah yang mirip seperti para selebriti terkenal. Mereka hanya dua siswa SMK biasa yang kebetulan memiliki nama yang mirip dengan tokoh tertentu, ingat, kebetulan! hal-hal penting harus diucapkan dua kali!
Bagas berjalan kembali ke Outlet, melihat kedua anak magang yang entah mengapa tampak akur. Jarang melihat mereka seperti ini, biasanya ada saja hal yang mereka ributkan, sesuatu yang kadang membuatnya jengkel. 'Ini bagus, coba aja mereka bisa kayak gini setiap hari.' pikir Bagas, sebelum berjalan masuk, tanpa tahu bahwa keharmonisan keduanya berkat nasibnya yang malang.
***
Jeni, yang telah berjalan cukup jauh dari Outlet Devin, membuka ponsel, dia sudah tak punya urusan lagi disini, karenanya, dia bersiap untuk memesan Gocar, namun...
"Jen.. Jeni..." Suara bisik memanggil, Jeni dengan bingung menatap sekitar, mencari sumber suara. "Hey, disini."
Jeni berbalik, melihat mobil hitam yang tak jauh darinya, dia ragu untuk mendekat, bagaimana jika itu adalah mobil penculik, meski bukan mobil jip, tetap tidak merubah rasa khawatirnya. Jeni berjalan mundur perlahan, sampai ketika jendela mobil terbuka dan seorang wanita menjulur. "Jeni! ayo kesini."
Jeni terkejut, melihat wanita cantik familiar yang melambai mengundang padanya, itu adalah Amela, pacar Devin. Berpikir sejenak, dia akhirnya memutuskan mendekat. Sampai disana, Amela membukakan pintu mobil. "Ayo masuk."
Jeni menatap. "Mau ngapain?" tanyanya bingung. Amela menjawab. "Udah masuk aja dulu."
Jeni merasa ragu sejenak, namun mengetahui Amela bukan tipe wanita berkepribadian buruk, dia akhirnya mengalah, masuk kedalam mobil. Didalam, selain Amela, ada juga pria paruh baya yang duduk di kursi kemudi, mengenakan kemeja hitam.
"Lo ngapain disini?" tanya Amela. Jeni membeku, sedikit terkejut dengan pertanyaanya, dia segera menjawab. "Yah... itu, selepas video kita kemarin, banyak temen-temen aku yang nanyain bajunya, mereka mau beli tapi stoknya udah habis, mereka sering nanya nya ke aku, jadi aku coba dateng sendiri ke toko untuk tanya langsung ketersediaan barangnya."
Alasan yang bodoh sebenarnya, jika dia hanya ingin bertanya seperti itu, dia bisa melakukannya melalui medsos atau Whatsapp bisnis brand Clothing tersebut, tak perlu datang langsung. Namun, sepertinya Amela tak menaruh curiga, karena dia hanya mengangguk. "Devin nggak ada ya?"
"Eh, nggak tahu tuh?" jawab Jeni, seolah kedatangan dirinya tak dimaksudkan mencari Devin. Amela tersenyum. "Hehe... gue tahu dong, dia masih belum dateng, gue udah nunggu dia lebih dari dua jam disini."
Jeni menatap bingung. 'Ngapain dia nunggu disini? sampe dua jam lebih bahkan?' pikirnya, tak mengerti arti tindakan Amela. Sebagai pacarnya, dia bisa datang kapan saja, bahkan jika dia memang ingin bertemu, dia bisa langsung menghubunginya saat itu juga, mengingat kepribadian Devin yang ramah, tak sulit melakukannya, hal itu membuatnya bertanya. "Kamu ngapain disini? kenapa nggak dateng aja kedalam?"
Amela menggeleng. "Khusus hari ini nggak bisa, kita harus selidiki sesuatu." Melihat itu, Jeni semakin bingung, dan apa maskudnya 'kita', sejak kapan dia tergabung atas sesuatu yang merepotkan ini. Jeni menghela napas, jika bukan karena uang sepuluh milyar, dia mungkin akan memilih turun sekarang. Memikirkannya, dia melirik kesamping, kepada wanita cantik periang itu. Dia merasa sedikit tak enak, karena dirinya, secara diam-diam mencoba untuk merusak hubungan harmonis mereka. Jeni menelan rasa bersalah yang timbul dan terduduk diam.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, mobil warna putih datang, dan parkir di depan Ruko. Keduanya melihat Devin keluar dari mobil dan berjalan masuk Outlet. Jeni menatap Amela, yang hanya diam menonton, dia bertanya bingung. "Itu Devin, nggak kesana?" Amela melirik, sebelum menggeleng. "Nggak, kita disini aja dulu, harusnya nggak lama dia bakal keluar lagi."
Jeni mengerutkan kening, wanita ini sepertinya sedang merencanakan sesuatu, dan apa maksudnya 'kita', kenapa dia jadi ikut-ikutan terseret. Menggeleng, Jeni dengan pasrah duduk menunggu. Dan memang, tak lama Devin keluar kembali, masuk ke mobil dan pergi. "Pak Jamal, ikutin mobil putih itu ya," kata Amela, menunjuk mobil Devin. "Oke Mbak Amel," jawab Pak Jamal, selaku supir pribadi Amela.
Mobil hitam mereka berjalan, mengikuti Devin dari belakang. Setelah beberapa menit, mereka melihat mobil di depan mereka, masuk kedalam komplek Rumah Sakit. Pak Jamal mengikuti, berhenti di parkiran Rumah Sakit, tak jauh dari mobil Devin.
Amela dan Jeni melihat Devin keluar setelah memakirkan mobil dan berjalan masuk ke gedung Rumah Sakit. Jeni menatap Amela, terkejut menemukannya sedang dalam raut wajah yang tampak sedih dan tertekan. Jeni berpikir dengan ekspresi serius. 'Sebenarnya ada apa ini?'
Semantara itu, Amela sedang dalam kekalutannya sendiri. Dia bingung apakah harus keluar dan mengikuti Devin masuk atau menunggu disini. Dia dengan jelas tahu urusan kedatangan Devin ke sini, yakni untuk mengunjungi Ayahnya yang koma, sesuatu yang baru dia ketahui baru-baru ini.
Memikirkannya, Amela mau tak mau mengingat kembali kejadian beberapa hari lalu, ketika dia melabrak teman pacarnya, Lintang, yang tampak mengetahui sesuatu. Dia telah memaksa orang itu bicara, dari sana, dia mengetahui latar belakang masalah pacarnya.
Memikirkannya kembali, Amela tak menyangka, orang yang dicintainya, memiliki masa lalu yang begitu kelam. Bagaimana bisa orang yang diluar tampak begitu tenang, dewasa dan penuh canda, sebenarnya menyimpan luka di kedalaman hatinya.
Pacarnya terlalu pandai menutupi luka itu dengan segala humor yang sering dilontarkannya, membuatnya tak pernah berpikir bahwa sebenarnya ada kegelapan yang tersembunyi didalam. Perasaan bersalah timbul di hatinya, memikirkan bahwa dia tampaknya kurang peduli padanya, kurang mengenal dirinya.
Keraguannya ini pada akhirnya membuatnya memilih untuk tetap diam. Dia ingin mengikuti untuk melihat Ayah Devin, tapi bingung bagaimana dia akan berpapasan dengan Devin. Keputusannya untuk diam-diam menyelidik hari ini tak lebih dari buah tindakan impulsifnya. Sekarang, di tengah aksi, dia bingung bagaimana melanjutkannya.
"Amela? hey Amela!" Jeni berseru, sedikit menggoyang tubuh wanita itu. Dia telah memanggil-manggilnya hanya untuk diabaikan. Amela sedikit tersentak, bangun dari transnya. "Y-Ya?"
"Itu... Devin udah masuk kedalam, apa lagi yang mau lo lakuin? diem aja disini?" tanya Jeni. Wajah Amela berkerut bingung, perasaan ragu dengan jelas terlihat. Melihat itu, Jeni menghela napas. "Amela, aku nggak tahu tujuan kamu apa? tapi itu pasti bukan diem kayak ginikan?"
Amela menatap sejenak sebelum mengangguk. "Tapi... gue nggak tahu gimana-"