Ada suasana aneh yang terjadi di dalam mobil, dimana sepasang pria dan wanita terduduk diam dalam keheningan yang canggung. Gue mengendarai mobil, menuju Apartemen kediaman Jeni. Meski di luar tampak tenang dan fokus ke jalan, ada kebingungan yang melanda isi otak gue. 'Nyari topiknya gimana ya? canggung banget ini cok!' gerutu gue dalam hati.
Keheningan ini membuatnya tak nyaman, gue merasa harus berbicara untuk meredakan suasana, tapi tak tahu topik macam apa yang harus dibahas.
Untungnya atau sialnya, hal yang sama juga berlaku untuk pihak lawan, Jeni terduduk diam, menatap keluar jendela dengan pikirannya yang berkecamuk.
Dia sudah memutuskan untuk menghentikan aksinya dalam merusak hubungan mereka, merelakan uang itu. Lagi pula, dengan apa yang dia lihat hari ini, bahkan jika dia berhasil dalam rencananya, dia tidak akan senang dengan itu. Ini akan menjadi beban hatinya karena telah merusak hubungan temannya.
'Tunggu, sejak kapan gue melihat Amela sebagai teman?' pikirnya dengan bingung. Dia ingin merenung lebih dalam, namun...
"Ehem..." Gue berdehem. "Buat yang sebelumnya... gue mau bilang makasih," kata gue dengan canggung. Jeni melirik sejenak, sebelum mengangguk. "Iya, bukan apa-apa."
Segera, suasana hening kembali, sesuatu yang membuat gue agak masam. Berpikir sudah waktunya untuk jujur satu sama lain, gue mengangkat topik yang paling penting. "Lo bisa berhenti sekarang tahu."
Wajah Jeni berkerut bingung. "Berhenti apa?" Gue meliriknya dan menjawab. "Semua kepura-puraan ini, lo bisa berhenti sekarang."
Mata Jeni membelalak terkejut, sebelum dia dengan cepat menenangkan diri. Menghela napas, Jeni bertanya, tak lagi mempertahankan gaya anggunnya. "Jadi lo udah tahu?"
"Tahu?" gue tersenyum tipis, "Bahkan sejak pertama lo dateng juga gue udah curiga." Kali ini Jeni tak bisa menyembunyikan ekspresi keterkejutannya. "Tunggu! kalo lo udah tahu sejak awal, berarti yang kemarin itu..."
Dia tak perlu menyelesaikan kalimatnya, senyum lebar pria di sampingnya sudah menjelaskan semuanya. 'Sial! berarti gue sengaja dikerjain waktu itu!' gerutunya, mengingat hari dimana dia terpaksa melakukan photoshoot dan menari untuk mencuri perhatian Devin. Siapa sangka bahwa pria itu tahu betul akan niatnya.
Jeni berbalik, menghindar dengan wajah malu, dia merasa seperti seorang idiot.
Gue terkekeh melihat ekspresi malunya, sebelum bertanya. "Lagian ngapain sih lo ngelakuin ini semua?"
Mendengarnya, Jeni memiliki raut wajah yang kompleks, tak mungkin dia mengatakan bahwa itu karena Rama. Namun, kata-kata Devin selanjutnya membuat tubuhnya membeku.
"Itu karena Rama kan?"
Gue tak perlu mendapat konfirmasi langsung setelah melihat reaksinya. "Hah, lo kenapa sih mau ngikutin apa yang dia suruh?"
Jeni tak menjawab, hanya menatap ke kejauhan.
Melihat diamnya dia, gue lanjut berkata. "Gue nggak tahu apa hubungan lo sama dia, tapi mending lo jauhin dia, dia bukan orang baik."
Jeni mengerutkan keningnya dan membalas. "Lo nggak kenal dia, jadi lo nggak tahu dia itu kayak apa."
"Oh tentu gue tahu." Dengan seringai jijik gue melanjutkan. "Cuma bajingan sampah nggak berguna, idiot yang berpikir dunia dibuat untuk dirinya sendiri."
Ekspresi Jeni berubah muram, meski dia memahami dari mana sumber ketidaksukaan Devin, itu tetap tidak memberinya rasa nyaman saat mendengar crush-nya dihina tepat di depannya. "Dia cuma agak nakal aja, dia nggak seburuk itu, jadi tolong jangan caci maki dia kayak begitu."
Dahi gue berkerut saat mendengar jawabannya. Rasa ketidaksenangan dengan jelas terasa dari nada bicaranya.
'Apa yang bajingan Rama itu lakuin ke dia?' pikir gue dengan bingung.
Gue merasa cukup berterimakasih dengan apa yang dilakukannya hari ini, karenanya gue ingin memberinya nasihat yang bermanfaat, apa lagi kalo bukan untuk menjauh dari bajingan Rama itu.
"Yah... gue cukup yakin, orang yang berencana merusak hubungan orang lain layak disebut begitu," kata gue dengan ringan, sebelum menoleh padanya. "Tapi serius deh, apa sih yang dia kasih ke lo, uang kah?"
Tubuh Jeni tersentak sedikit mendengarnya, sesuatu yang dengan jelas gue lihat. "Kalo itu bener, nggak usah khawatir, usaha gue lagi maju-majunya sekarang, gue bisa kasih lo juga, anggep aja bayaran buat yang kemarin, mungkin nggak sebanyak yang dikasih Rama sih, tapi masih oke kok."
Jeni merasa tak nyaman. Dia tidak kekurangan uang, tapi memang sepuluh miliar masih menggodanya. Sebelumnya, dia merasa tidak ada yang salah dengan itu, wajar jika seseorang tergiur dengan sejumlah besar uang.
Namun, setelah mendengar tawaran dari Devin, Jeni merasa pahit didalam, entah mengapa dia merasa dirinya seperti objek yang bisa diperjual belikan. "Nggak perlu, anggap aja itu bentuk maaf gue buat skema ini."
"Hahaha... oke," gue dengan riang menerima. Lagi pula siapa yang akan menolak lebih banyak uang? 'Persetan di cap pelit dan tidak tahu malu, yang penting banyak uang!' Berpikir demikian, gue berkata. "Lagian skema yang kalian buat itu, bener-bener kacau, terlalu banyak lubang."
Jeni menatap, tak menginterupsi Devin yang melanjutkan. "Apa lagi waktu Amela dapet foto skandal itu, Amela pasti ngasih tahu gue dong, dan dari situ selesai sudah."
Mata Jeni melebar, terkejut dengan informasi barusan. Dia tahu akan foto itu, lagi pula dialah yang membuatnya. Tapi dia tidak tahu jika Rama telah mengirimkannya ke Amela. Setelah mendapatkan foto tersebut, Amela pasti akan mencoba mendapatkan klarifikasi dari pacarnya, dan setelah Devin melihat foto itu, semuanya sudah selesai.
Mungkin Rama berpikir bahwa Amela akan menaruh curiga saat melihat foto tersebut, membuat hubungan mereka secara perlahan rusak. Sayangnya, Rama tak tahu betapa kuatnya hubungan keduanya.
Jeni hanya bisa menghela napas memikirkan betapa cerobohnya Rama.
Gue terkekeh melihat wajah lesunya. "Lihatkan? dia bener-bener bajingan idiot."
Jeni mengerutkan kening, tak senang dengan perkataannya. "Gua udah bilang sebelumnya, bisa nggak sih untuk nggak ngomong kayak begitu tentang dia."
Gue memutar bola mata. "Oh ayolah, buktinya ada didepan mata. Gue curiga kalo kepalanya dibedah, mungkin otaknya cuma segede biji kacang pfft..."
Sementara gue tertawa, wajah Jeni semakin muram, tidak merasa terhibur dengan gurauan barusan. "Berheni," katanya dengan tegas.
Gue yang merasakan jejak keseriusan dari nada bicaranya, memutuskan berhenti mengolok-olok. "Oke oke."
Sejenak keheningan kembali menyelimuti kami sampai...
"Berhenti," Jeni berkata lagi.
Gue mengerutkan kening mendengarnya. "Berhenti apa?"
Gue awalnya berpikir maksud berhenti barusan adalah berhenti meledek Rama, tapi sepertinya bukan itu.
"Iya, gue bilang berhenti," Jeni mempertegas kata-katanya.
"Maksudnya lo mau turun disini?" tanya gue dengan ekspresi tak nyaman.
Jeni mengofirmasi. "Iya, gue mau turun disini, sekarang."
"Nggak usah, tanggung, biar gue anter sampai-"
"Nggak perlu," potong Jeni. "Gue bisa pulang sendiri."
"Yah kan tanggung atuh, ini udah-"
"Gue bilang berhenti ya berhenti!"
Gue menurunkan kecepatan mobil dan menatapnya, menemukan Jeni sedang melotot tak senang padanya. "Oke, gue minta maaf kalo kata-kata gue menyinggung lo, gue akan diem, sekarang kita lanjut jalan ya," kata gue dengan lembut, berharap akan menenangkan hatinya.
Jeni menggeleng, dia sudah keburu jengkel. "Nggak, gue mau turun sekarang juga."
Gue menatapnya dengan intens sebelum bertanya. "Serius?"
Jeni menatap balik dan dengan tegas menjawab. "Turunin gue disini, atau gue bakal turun dengan paksa."
Melihat ketegasannya, gue menghela napas. Memakirkan mobil di bahu jalan, Jeni membuka pintu dan berjalan pergi.
Gue yang melihat itu agak merasa tak enak. Membuka kaca mobil, gue menjulur. "Jen, gue minta maaf buat yang barusan."
Jeni tak menggubrisnya, hanya berjalan menjauh dengan langkah cepat.
Gue bersandar ke kursi kemudi dengan lesu. 'Hati perempuan sensitif banget dah,' keluh gue dalam hati. Gue nggak menyangka, olok-oloknnya barusan akan membuatnya baper dan tersinggung.
'Kejar nggak ya?' pikir gue dengan eskpresi serius. Gue sering mendengar Amela bercerita jika ada karakter perempuan yang ngambek dan pergi, biasanya karakter pria akan mengejarnya. Jadi, perlukah dia melakukan yang sama? Tapi itukan cuma di novel, masa iya gue lakuin itu juga? Ini itu dunia nyata bukan fiksi. Gue ulangi, ini dunia nyata! bukan dunia fiksi! hal-hal penting harus diucapkan dua kali!
Pada akhirnya gue mengambil ponsel dan menghubungi seseorang yang merupakan pakar dalam kehidupan penuh drama. "Halo Mel?"
"Iya, halo Beb." Suara indah yang familiar bergema dari sisi lain, secara efektif menaikkan mood gue yang agak suram.
Tanpa basa-basi, gue menjelaskan apa yang baru saja terjadi, menghindari memberitahunya tentang fakta bahwa Jeni berkoalisi dengan Rama demi merusak hubungan mereka, hanya menjelaskan bagaimana gue tampak menyinggung perasaannya, membuatnya marah sampai dia memilih untuk diturunkan di jalan.
Selesai menjelaskan, suara di sisi lain terdengar. "Ihh... kamu itu, mulutnya nggak bisa dijaga banget sih!"
Gue tersenyum kecut saat mendengar keluhan Amela. "Ya aku nggak tahu kalo itu bakal buat dia tersinggung," kata gue membela diri. "Aku kan niatnya mau bercanda aja."
Meski mengatakan demikian, di dalam gue bergumam: 'Nggak sih, niatnya emang mau ngeledek aja.'
"Ini dari tadi atau baru?" tanya Amela dari ponsel. "Sekitar lima menit sejak dia keluar dari mobil," jawab gue.
"Belum jauh itu, cepetan kejar dia!" Amela berseru, sementara gue mengerutkan kening. "Kamu mau aku ngejar dia?" tanya gue.