Hari ini, Senin pukul 15:20, gue memakirkan mobil di area parkir Kampus Amela, bersiap untuk menjemputnya selepas kuliah hari itu. Mengirimnya pesan yang memberitahunya bahwa dia telah tiba dan duduk menunggu di dalam mobil. Sekitar lima menit kemudian, gue melihat seorang wanita berjalan ke arahnya lalu mengetuk kaca mobil.
Gue mengerutkan kening, merasa bingung karena Amela tidak seperti biasanya yang langsung masuk ke dalam mobil. Membuka kaca, gue bertanya. "Kenapa Mel? kamu masih ada acara?"
Amela yang berdiri di luar, menggeleng. "Nanti dulu pulangnya, kita jalan-jalan dulu yuk." Mendengar ajakan Amela, gue bertanya. "Jalan-jalan? maksudnya di sekitaran Kampus?"
Amela mengangguk. "Iya, sekalian nostalgia gitu," jawabnya tersenyum.
Gue mengangkat bahu, dengan santai menerimanya, membuka pintu mobil dan keluar. "Nggak biasanya kamu ngajak jalan di Kampus kayak gini," tanya gue, penasaran dengan permintaannya.
Amela melirik. "Emang kenapa? Lagian tempat ini punya banyak kenangan buat kita tahu." Melihat senyumnya, gue menyadari bahwa Amela mungkin ingin mengingat kembali kenangan lama mereka. Gue juga adalah lulusan dari Kampus ini, Kampus yang mempertemukan dia dengan Amela.
Mungkin karena insiden kemarin, Amela ingin mengajak gue bernostalgia, menikmati sensasi manis melankolis dari peristiwa yang pernah mereka lalui bersama. Gue tersenyum di dalam hati, memikirkan bahwa ini mungkin cara Amela untuk memperkuat hubungan mereka.
"Ya udah, boleh deh ayo," kata gue menawarkan tangan. Namun, Amela tak meraihnya.
"Mel?" tanya gue dengan bingung saat melihatnya tampak fokus untuk menatap hal lain. Berbalik, gue melihat apa yang menarik perhatian Amela dan agak terkejut saat menemukan apa itu.
Tak terlalu jauh dari mereka, sekelompok pengendara motor tampak berkumpul. Total ada tujuh dari mereka, masing-masing mengenakan jaket hitam, dengan perawakan khas Bad-boy.
Gue mengenal mereka, terutama dengan siapa yang memimpin kelompok tersebut, itu adalah Rama, beserta anggota gengnya yang pernah mampir ke Outlet.
'Apa maksudnya ini?' Gue mengerutkan kening saat melihat mereka yang menatap kesini. Ada perasaan yang tak nyaman, seolah sedang dipantau dan diteror. Gue ingin berpikir bagaimana mengatasi para bajingan ini, namun...
"Beb, ayo jalan," kata Amela, meraih tangan gue, dan menariknya berjalan.
"Mel, kamu nggak lihat mereka?" tanya gue saat kita berjalan menjauh.
"Lihat kok, emang kenapa?" kata Amela, mengangkat bahu.
Melihat reaksi santainya, gue menggeleng. "Mereka kayaknya punya niat buruk deh, kenapa nggak aku antar kamu pulang aja sekarang."
Gue nggak keberatan kalo mereka mau cari masalah sama gue, tapi beda cerita kalo Amela juga terlibat.
Amela berhenti berjalan, berbalik untuk menghadap gue sebelum akhirnya berjinjit. Detik berikutnya, adalah kejadian yang membuat otak gue membeku. Sensasi lembut bisa dirasakan dari pipi sebelah kiri saat Amela memberinya kecupan ringan.
Tangan gue bergerak dengan kaku seperti robot, menyenyuh bekas kecupan itu sebelum menatap Amela, menemukannya sedang menatapnya dengan malu-malu ditemani rona merah di pipinya.
"Udah yuk, kita jalan," katanya, meraih tangan gue dan berjalan.
Dengan itu, kami berjalan pergi bertautan tangan. Ada keheningan canggung di antara keduanya. Sementara Amela menatap ke lain sisi untuk menghindar, gue sendiri sedang menatap awan sambil bergumam di dalam hati, terus menerus selayaknya kaset rusak. 'Tadi itu apa ya? tadi itu apa ya? tadi itu apa ya?'
***
Rama merasakan hatinya seperti dipukul kuat oleh benda tumpul. Melihat bagaimana cinta masa kecilnya pergi bertautan tangan dengan pria lain, membuatnya merasakan rasa sakit yang menyengat.
Dan apa yang barusan terjadi? apakah Amela mencium pria itu? Dia tak bisa melihatnya dengan jelas, tapi Amela pasti berjinjit untuk melakukan sesuatu, sesuatu yang begitu intim.
Rama meletakan tangannya di dadanya, bertanya-tanya apa obat dari rasa sakit yang dirasakannya. Dia memiliki banyak pemikiran untuk merebut Amela dengan cara yang lebih ekstrim, hanya untuk diredam oleh harga dirinya. Dia mungkin seorang bajingan, tapi dia bukan seorang kriminal.
Tapi apa lagi caranya? Dengan pemandangan yang dia lihat barusan, meski enggan menerima, dia mau tak mau merasa bahwa semuanya memang telah berakhir, Amela telah terlalu jauh dari genggamannya. Apakah dia hanya bisa menerimanya dan membiarkan waktu untuk menyembuhkan lukanya?
Bicara soal waktu, jika ada kesempatan untuk memilih, dia berharap untuk memutar kembali waktu, untuk memperbaiki dirinya yang dulu, yang pernah menyakiti wanita itu. Rama merasakan penyesalan yang kuat saat dia mengingat gaya hidupnya saat berkuliah di luar negri dahulu.
Bebas dari jangkauan orang tua mereka, Rama sering kali mengajak Amela, yang saat itu masih berstatus sebagai pacarnya untuk tidur bersama. Namun, dia selalu ditolak olehnya, mengatakan bahwa dia hanya mau melakukannya setelah mereka menikah.
Dia yang menikmati hidup dengan pergaulan bebas, tak bisa menerimanya dan melampiaskan hasrat itu kepada wanita lain. Amela terkadang sering memergokinya berjalan dengan wanita lain. Tentu, dia hanya perlu berdalih, yang seiring waktu membuatnya semakin berani, sampai dia bahkan tidak terlalu peduli jika Amela memergokinya.
Puncaknya terjadi ketika Amela menangkap basah saat dia tidur dengan wanita lain di Apartemennya yang kebetulan bertetangga dengan Apartemen Amela. Namun bodohnya, dia tidak terlalu memperdulikan wanita itu yang marah dan menangis sambil meneriakinya. Waktu itu dia hanya melihat keberadaan Amela begitu mengganggu dan berisik.
Terlalu sering dimaafkan, dan terlalu sering ditolak, membuatnya merasa dibenarkan atas segala tindakannya. 'Lo nggak mau having fun sama gue, maka gue akan having fun sama yang lain.' Itulah yang dia pikirkan.
Ditambah dengan Amela yang waktu itu hanya memiliki dirinya, membuatnya mengembangkan mentalitas kepemilikan, melihat Amela semacam objek yang secara resmi dimiliki olehnya. Sebuah pemikiran yang secara signifikan menurunkan rasa hormatnya kepada wanita itu, kepada cinta masa kecilnya.