Pacarku Pecinta Angst

Allen Nolleps
Chapter #15

Bab 14. Penebusan Dosa

Gue berjalan menyusuri lorong demi lorong rumah sakit dengan tergesa-gesa, tanpa memperhatikan kondisi sekitar. Sejenak gue merasa kembali ke masa lalu, ke beberapa tahun silam, ketika dia berlari di lorong rumah sakit untuk melihat keadaan adiknya, Haikal. 

Ini adalah rumah sakit yang berbeda dan gue akrab dengan jalan ini, lagi pula, setiap hari Minggu dia akan mampir kesini. Namun anehnya, khusus hari ini, semuanya tampak begitu asing, seolah ini adalah pertama kalinya dia berkunjung ke sini. Gue tampak bingung menatap setiap tikungan, bertanya-tanya apakah harus berbelok atau tidak, pikirannya seolah telah melupakannnya. 

Namun syukurnya, tubuhnya sepertinya masih mengingatnya, karena meski dalam keadaan pikiran yang kacau, tubuhnya secara otomatis bergerak, terkadang berjalan lurus, terkadang berbelok, seolah telah mengingatnya dengan jelas, menuntun dirinya ke jalan yang benar. Tentu, tak setiap kesempatan itu benar.

"Beb!" seru Amela saat dia menatap pacarnya berjalan lurus. "Arahnya kesini," tunjuknya ketikungan. 

Gue yang mendengar itu tampak terbangun dari trans, sebelum menjawab dengan linglung. "I-Iya, bener bener... j-jalannya kesini."

Amela menatap dengan khawatir, dia mengikuti pacarnya dibelakang, yang sedang tergesa-gesa berjalan dengan isi kepala yang sepertinya tidak dalam keadaan yang benar. 

Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Beberapa saat yang lalu, Devin mengangkat sebuah telepon, sebelum menjatuhkan ponselnya. Dia cukup terkejut dengan itu, namun yang membuatnya semakin terkejut adalah bagaimana pacarnya menjadi aneh setelahnya. Devin tampak sangat shock atas sesuatu, dia menjadi linglung seolah pikirannya terjebak entah dimana.

Kami harus menyelesaikan kencan kami dan segera ke mobil. Di sepanjang jalan, Amela mencoba bertanya alasan perubahan mendadaknya, mempertanyakan wahyu seperti apa yang dia terima dari panggilan sebelumnya. 

Sayangnya, pacarnya, Devin, tak menjawab dengan jelas. Pria itu hanya mengatakan bahwa semuanya baik-baik saja. 

Meksi mengatakan demikian, Amela tak begitu bodoh untuk percaya. Dengan jelas dia melihat bagaimana cara kekasihnya itu menjawab, dia bergumam terus menerus, mengatakan semuanya akan baik-baik saja, dengan tangannya yang gemetar di kemudi mobil. Kami bahkan hampir mengalami kecelakaan di beberapa kesempatan karena pacarnya yang mengemudi dengan pikiran yang terganggu. Amela harus menegurnya dari waktu ke waktu untuk menarik kembali pria itu ke kenyataan.

Dan sekarang, mereka tengah berjalan menyusuri lorong rumah sakit. Amela sudah menaruh curiga saat Devin berkendara ke komplek rumah sakit. Wahyu yang mampu membuatnya tampak begitu shock dan perjalanannya ke rumah sakit dengan tergesa-gesa, adalah bukti yang cukup baginya untuk secara garis besar mengetahui apa masalahnya. 

Dia memiliki pemikiran tertentu, namun segera menggeleng untuk menyingkirkan pikiran itu, khawatir bahwa apa yang dipikirkannya menjadi kenyataan. 

Namun, meski hatinya ingin menolak, akal sehatnya dengan jelas telah merumuskan sebuah kesimpulan, kesimpulan yang terlalu memilukan.

Amela menatap punggung pria yang dicintainya, sejenak matanya memerah dengan rasa iba yang kuat, membayangkan apa yang akan dirasakan orang itu jika kesimpulan dalam pikirannya ternyata terbukti benar.

Kami bergerak dan akhirnya tiba di lorong tertentu. Seorang wanita usia 30 an yang familiar, berdiri dengan ekspresi khawatir di depan ruangan ICU. Melihat kepada dua orang yang baru muncul, dia berseru. "Mas Devin! i-itu... A-Ayah Mas..."

Tanpa menunggu Mbak Fina menyelesaikan kata-katanya, gue bergerak melewatinya, membuka pintu ruangan dan berjalan masuk. 

Di dalam, sekolompok orang berseragam putih, berdiri mengelilingi ranjang pasien yang terletak di tengah ruangan. 

Mereka semua menoleh, menatap kepada pemuda yang masuk. Salah satu dari mereka berjalan mendekat, orang itu menghadap padanya dan berkata dengan berat hati. "Mas Devin... kita semua, tim medis, sudah melakukan yang terbaik untuk keselamatan Ayah Mas, tapi... pada akhirnya takdir punya rencana lain."

Gue berdiri, mendengarkan perkataan dokter Arhan dengan ekspresi kosong. Di sampingnya, Amela juga ikut mendengarkan, kedua tangannya menutup mulutnya, tampak terkejut dan khawatir. 

Dokter Arhan melirik sebentar wanita itu sebelum melanjutkan. "Sekitar tiga jam yang lalu, pasien mengalami gagal jantung, sebelum akhirnya mengalami mati otak total. Kami sudah melakukan penanganan sesuai prosedur dengan bantuan alat kejut jantung, tapi... hasilnya sepertinya sudah ditetapkan."

Melirik sejenak kepada pasien dibelakang, dokter Arhan berkata dengan enggan. "Kita sudah melakukan beberapa pemeriksaan dan mampu memastikan bahwa pasien... telah dinyatakan tiada." Menghela napas berat, dokter Arhan melanjutkan. "Pasien telah dipastikan meninggal pukul 14:27 pada..."

Sementar dokter Arhan melanjutkan penjelasan lebih lengkap prihal kematian Ayahnya, gue sudah tak mampu mendengar apapun lagi setelah mendengar kalimat 'telah dinyatakan tiada'. 

Disisi lain, Amela berdiri dengan tubuhnya yang gemetar, tampak shock saat air matanya jatuh. Meski dia hampir tak pernah berinteraksi dengan Ayah Devin, mendengar berita kematiannya masih memberinya pukulan emosi, terlebih lagi, ini adalah Ayah kekasihnya. 

Amela melirik kepada pacarnya, menemukan pria itu hanya berdiri dengan wajah kosong.

"Beb?" Amela memanggil. "Beb!" Dia menarik bahunya, membuat pria itu tersentak kaget dan menatap padanya. "I-Iya? Mel? k-kenapa?"

Amela mengerutkan kening pada pertanyaan linglung pacarnya. "A-Ayah kamu, itu..." 

Amela berkata dengan nada serak, dia ingin mengatakan sesuatu namun bingung apa itu, dia juga tidak tahu harus melakukan apa di situasi seperti ini.

Dokter Arhan menatap iba pada keduanya yang tampak terpukul dengan berita itu, sampai bingung harus melakukan apa. Dia akhirnya memberi saran. "Mas Devin," katanya, menarik perhatian pria itu. "Coba Mas hubungi orang terdekat, kasih tahu mereka kabar duka ini."

"I-Iya, bener bener... k-kasih tahu orang terdekat," gumam gue dengan linglung. Tangannya meraih saku celana, mengambil ponselnya sebelum membeku ketika sebuah pertanyaan bergema di kepalanya: 'Hubungi siapa?' 

Sejenak gue bingung, bertanya-tanya siapa yang harus dia hubungi. 'Orang terdekat? siapa? Lintang?' Dia tak bisa menemukan jawaban yang tepat, lagi pula, dia tak punya banyak orang terdekat.

"Beb!" Seruan Amela kembali membangunkannya. 

Gue menoleh, melihatnya berbicara. "Kamu kenapa sih! sadar dong!" kata Amela dengan geram, melihat Devin yang seperti kehilangan jiwanya. "Hubungi Mamah kamu! kenapa kamu diem aja sih!"

Omelan Amela sepertinya mampu mengembalikan sedikit kewarasannya. Mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri, gue akhirnya mampu berpikir dengan lebih baik. "O-Oke, kamu tunggu disini, aku mau kasih tahu Mamah dulu," kata gue, sebelum berjalan pergi keluar ruangan. 

Amela tampak ragu sebelum berjalan keluar juga, dia melihat pacarnya berjalan jauh di lorong. Ada keinginan yang kuat di hatinya untuk mengejar. Namun, pada akhirnya dia memilih untuk tetap di tempat, menatap pada punggung kesepian pria itu yang berjalan menjauh.

Sendirian, gue berjalan dengan bingung. 'A-Ayah meninggal?' tanya gue di dalam hati. 

Dia selalu mengharapkan kematian Ayahnya, berpikir bahwa dirinya akan terbebas dari orang itu, orang yang begitu dibencinya karena menjadi penyebab utama atas kehancuran keluarganya. 

Namun sekarang, setelah dia benar-benar ditinggalkan, dia mendapati dirinya tak tahu harus melakukan apa. Wahyu tersebut terlalu mengejutkan untuk diterimanya. Baru saja kemarin dia berkunjung, dan hari ini...

Gue terbangun dari trans, menyadari dirinya tengah berada di dalam kawasan toilet pria. Awalnya dia berniat untuk mencari tempat terpencil untuk menghubungi ibunya. Namun sepertinya, jauh didalam, dirinya menginginkan lebih dari itu, dia ingin tempat untuk mengisolasi diri, hingga secara tak sadar berjalan dalam keadaan linglung sampai ke toilet.

Gue melirik, melihat ke jejeran wastafel di sisi ruangan dan jejeran bilik toilet di sisi lain, tak ada siapapun disana kecuali dirinya. Berjalan dan masuk ke salah satu bilik, menguncinya dari dalam dan duduk di closet

Sejenak gue merasa lebih tenang, seolah kotak kecil ini adalah zona nyaman yang memberinya rasa aman. Terdengar konyol, tapi itulah yang gue rasakan.

Gue mengangkat tangan yang memegang ponsel, menemukan tangan itu sedang gemetar. Menggigit bibir untuk memaksa dirinya tenang, gue membuka Whatsapp hanya untuk bingung saat teringat sesuatu: 'Gue nggak punya kontak Mamah.'

Setelah mengetahui hubungan gelap ibunya, gue sudah menghapus semua kontaknya, dan sekarang gue tidak tahu bagaimana cara menghubunginya.

'Instagram, iya itu, Instagram,' pikir gue, saat teringat ibunya dulu pernah berkata bahwa dia mengetahui update dirinya melalui akun Instagramnya, yang berarti ibunya memfollow akun tersebut.

Membuka aplikasi Instagram, gue memeriksa list akun siapa saja yang mengikutinya. Syukurnya itu tak banyak mengingat dia mengatur akunnya menjadi private

Menggulir layar ponsel yang retak, gue akhirnya menemukan akun dengan nama yang sama dengan nama ibunya. Membukanya, gue bersiap untuk mengirim pesan, namun...

Tangan gue berhenti, mata gue melebar saat dia melihat isi feed Instagram ibunya. 

Mengklik postingan terbaru, dia dihadapkan dengan sebuah foto. Terdapat tiga orang di dalamnya, wanita paruh baya, pria paruh baya dan seorang anak laki-laki berumur sekitar delapan tahun. Mereka terlihat sedang berada di taman hiburan, tersenyum lebar, memandang ke kamera, mengabadikan momen bahagia mereka.

"HAHAHA!!" gue tertawa keras saat melihat foto ibunya dengan keluarga barunya. "Bener juga! kenapa harus bingung! tinggal lupain semuanya dan memulai hidup baru! hidup yang bahagia!! HAHAHA!!"

Meski gue tertawa, ada aliran air mata yang turun, jatuh ke layar retak ponsel yang menampilkan foto keluarga bahagia tersebut. Tangan gue yang lain mencengkram dada, merasakan sesuatu yang begitu sakit didalam. 

Sejenak, tawa histeris yang pilu, bercampur isakan tangis, bergema di dalam toilet laki-laki sebuah rumah sakit.

***

Hari ini, Selasa, 17 November. Gue mengenakan pakaian serba hitam, berdiri menatap kepada dua makam di depannya. Yang kanan memiliki batu nisan bertuliskan Haikal Angkara, adiknya. Sementara yang di kiri, bertuliskan Davino Hilman, ayahnya.

Baru sekitar satu jam yang lalu proses pemakaman ayahnya diselesaikan. Mayoritas orang sudah kembali, sementara gue tetap berdiri disini, menatap kedua makam dalam diam. Tentu, sebelumnya ada beberapa orang yang mencoba untuk bertahan bersamanya. Lintang, Bagas dan Yuni, pergi setengah jam yang lalu. Kedua orang tua Amela juga pergi tak lama kemudian. Kini hanya ada tiga orang yang tersisa disini, dirinya, Amela dan ibunya sendiri, Denita.

Denita menatap punggung putranya dengan sedih. Sepanjang proses pemakaman, putranya hanya menunjukkan ekspresi netral, dengan sorot matanya yang redup, seolah ada sesuatu yang telah hilang darinya. Denita dengan jelas tahu jika anaknya itu sangat terpukul atas kematian Ayahnya. 

Biasanya putranya akan marah dan jengkel hanya dengan kehadirannya, namun sekarang, dia bahkan tidak berkomentar apapun. Putranya menjadi jarang bicara, hanya menganguk atau menggeleng ringan sebagai respon. Bahkan jika dia bicara, itu selalu dilakukan seminimal mungkin dengan nada yang hampa, seolah tak ada emosi didalamnya.

Hatinya sakit melihat putranya seperti itu. "Nak, dia sudah tenang di sana, kamu yang kuat ya," katanya, berharap menaikkan suasana hati putranya. 

Denita menghela napas berat saat dia diabaikan, dia menatap ke atas, menemukan langit tengah mendung dengan awan gelap yang menumpuk. Dia tahu bahwa sebentar lagi akan hujan dan benar saja, dia merasakan beberapa tetes air jatuh ke wajahnya. 

Lihat selengkapnya