Pegang tanganku ini~
Dan rasakan yang kuderita~
Genggam tanganku ini~
Genggam perihnya kehidupan~
Alunan musik melow dengan lirik indahnya, bergema di kamar ukuran 3x4 yang sederhana. Gue terbaring dengan lesu, mendengarkan lantunan musik dari band favoritnya, Noah, dengan judul lagu Dibalik Awan.
Sama seperti anak muda Gen-Z pada umumnya, gue juga menikmati lagu galau untuk menemani hatinya yang sedang bersedih.
Waktu berlalu dan ketika lagunya berhenti, itu akan memutar lagu lain dari playlist yang berisi kumpulan lagu Noah pilihannya. Dan jika semua lagu dalam playlist telah habis, itu akan memulai kembali dari awal, memutar lagu-lagu yang sama terus menerus.
Gue nggak tahu berapa kali playlist itu diulang, hanya membuka mata saat gue merasa ada seseorang yang memanggil di depan rumah.
Bangun dengan enggan, mempause lagu dan berjalan keluar kamar. Berdiri di depan pintu masuk rumah, gue bisa mendengar suara familiar yang memangil-mangil.
Membuka pintu, gue menemukan seorang wanita cantik berambut hitam kecoklatan dengan warna mata yang sama, mengenakan hoodie putih, berdiri di depannya dengan membawa tas belanja di tangannya.
Tersenyum lemah, gue menyapa. "Halo, Amela sayang."
Wajah Amela sedikit cemberut, dia telah menunggu selama lima belas menit disini, menggedor pintu, memanggil-mangil dan mencoba menghubunginya.
Jika ini terjadi di situasi normal, dia pasti akan mengeluhkannya. Namun saat ini, dihadapkan pada kondisi pacarnya yang tengah berduka, dia menelan rasa kesalnya dan bertanya dengan lembut. "Beb, kok kamu bukanya lama benget sih dan kenapa telepon aku nggak kamu angkat?"
Gue sejenak mengerutkan kening dengan bingung, sebelum sadar atas sesuatu. "Oh itu, maaf, kayaknya mode jangan ganggu hp aku nyala, jadi nggak ngeh deh," kata gue, tersenyum minta maaf.
Amela menggeleng dengan helaan napas sebelum bertanya. "Aku kesini mau ngecek keadaan kamu, gimana? kamu udah makan belum?"
Gue membuka mulut untuk menjawab bahwa dirinya sudah makan, namun segera terdiam saat dia melihat keluar, langit sudah gelap yang berarti ini sudah malam. Terakhir kali gue makan adalah saat sarapan, itupun dibawakan oleh Amela, dan sekarang sudah malam, sudah lebih dari sepuluh jam berlalu sejak dia terakhir kali makan.
Amela yang melihat pacarnya terdiam, menghela napas, ini bukan pertama kalinya terjadi. "Hah, ini aku bawain makanan," katanya sambil berjalan masuk, dan duduk di kursi kayu ruang tamu.
Meski di luar gue tersenyum pahit, didalam gue merasa senang atas perhatiannya. Tidak seperti kebanyakan pacar klise diluar sana yang hanya bertanya apakah sudah makan atau belum tanpa memberi, Amela langsung datang ke rumahnya dengan membawa makanan, bahkan tanpa bertanya sekali pun, benar-benar tipikal pacar green flag.
Duduk di sebelahnya, gue membuka bungkusan yang dibawa Amela, menemukan sebuah kotak makanan. Membukanya, gue melihat nasi dengan beberapa lauk. Meraih sendoknya, gue mulai menyantapnya.
Disisi lain, Amela hanya terduduk diam, melihat sekeliling, kepada ruang tamu sederhana ini. Tak seperti rumahnya yang besar, rumah Devin jauh lebih sederhana, rumah satu lantai berukuran 8x15 meter, ini adalah rumah peninggalan orang tuanya.
Mengalihkan perhatian, Amela menatap pacarnya yang tengah makan dengan lahap. Ada senyum kecil di bibirnya, menemukan bahwa cukup dengan melihatnya makan, memberinya rasa kebahagiaan tertentu.
Tak sampai lima menit gue menghabiskan makanannya, menunjukkan betapa laparnya dia. Menoleh kepada wanita yang melamun menatapnya, gue bertanya. "Minumnya mana Mel?"
Amela berkedip dan sadar. "Iya, itu ada di-eh?" Amela ingin mengatakan bahwa minumnya ada di dalam tas belanja, sebelum dia teringat bahwa dia hanya membeli makanan dan lupa membeli minumnya.
"Itu... aku lupa." katanya dengan suara kecil, menundukan kepala karena malu.
Gue tersenyum masam, berdiri dan berjalan ke dapur, sebelum kembali setelah beberapa detik kemudian. Amela menatap bingung saat dia menemukan Devin menggaruk belakang kepalanya dengan canggung. "Kamu kenapa?"
Gue terkekeh pahit dan menjawab. "Air di rumah ternyata habis."
"..."
Amela menatap kosong pada keteledoran pacarnya, dia menepuk jidatnya. Terkadang pria ini bisa sangat ceroboh, bagaimana dia bisa hidup tanpa memiliki air? Amela tak bisa tidak bertanya-tanya bagaimana dirinya bisa berpacaran dengan pria semacam itu, tanpa menyadari bahwa dirinya juga sama teledornya.
Menghela napas, dia berdiri. "Ya udah, aku ke Minimarket dulu aja."
"Oh nggak perlu, aku aja yang jalan," kata gue, bergegas keluar rumah. Tidak enak membiarkan Amela yang rela jauh-jauh datang kesini malah menjadi pesuruh.
"Tunggu!" seru Amela, menghentikan langkah Devin yang sudah sampai di teras. "Kamu bawa uangnya kan?"
Mendengarnya, gue merogoh kantung celana dan tak menemukan uang sama sekali. "Bener juga, aku lupa dompetku masih di dalam," kata gue, sebelum masuk kembali kedalam, mengambil dompet dan berjalan keluar.
Amela menatap bodoh pada pria ceroboh yang bulak-balik itu. Melihat Devin keluar pagar rumah, dia berpikir: 'Nanti pas pulang, dia inget kalo ini rumahnya kan?'
***
Berjalan dengan kantung belanja di tangannya, gue menyeruput botol minuman yang dipegangnya, menikmati sensasi dingin dan manis yang turun ke tenggorokan. Mengelap bibir, gue manatap kantung belanjaan, tersenyum lucu saat dia mengingat bagaimana Amela datang membawa makanan tanpa membawa minumnya.
Yah... gue telah membelikan makanan ringan dan minuman dari Minimarket untuknya. Sejak kematian ayahnya, gue sudah tidak mengisi persediaan air lagi, hanya makan dan minum dari pesanan online atau yang dibawakan oleh Amela.
Gue tersenyum, mengingat bagaimana wanita itu hampir tak pernah meninggalkannya selama masa duka ini. Amela secara rutin akan datang untuk melihat keadaannya, mengingatkannya untuk makan, mandi, berolahraga, mengajaknya jalan keluar rumah, memberinya serangkaian nasehat dan filosofi hidup yang mungkin dia temukan dari cerita novel yang sering dibacanya.
Tentu, yang memberinya dukungan tak hanya Amela, ada beberapa. Namun jika harus menempatkan orang kedua yang paling memberinya perhatian setelah Amela, jelas ibunya akan menempati posisi itu.
Meski tak sesering Amela, ibunya akan mampir untuk melihat keadaanya. Dan seperti biasa, gue menanggapinya dengan netral. Tidak menunjukkan tindak impulsif, namun juga tidak begitu ramah tamah.
Gue menghela napas berat saat hatinya merasa sedikit bersalah atas itu. Hubungan buruk mereka dimulai saat dia mengetahui hubungan gelap ibunya. Namun, gue hanya mulai benar-benar membencinya selepas kematian adiknya.
Sering kali, gue menyalahkan ibunya, berpikir bahwa jika seandainya dia lebih memperhatikan keluarganya sendiri, Haikal mungkin masih hidup sekarang.
Tentu, dia tahu bahwa ibunya saat itu juga tengah hidup dalam tekanan. Ayahnya yang sering melayangkan kekerasan, membuatnya enggan untuk kembali ke rumah, membuatnya juga hampir tak menyadari bagaimana kehidupan anak-anaknya.
Jika dipikirkan kembali, mungkin sejak awal gue hanya memiliki dua pilihan, membiarkan adiknya tewas atau membiarkan ibunya terus menderita di tangan ayahnya.
Tentu, gue punya harapan bahwa ibunya untuk sementara waktu bisa tetap bertahan, menjaga Haikal sampai gue cukup untuk menampung hidup kita bertiga, sebelum memisahkan diri dari ayah. Tapi sayangnya, dunia ini bukan negri ajaib yang dibentuk dengan mengabulkan harapan.
Berpikir demikian, gue mempercapat langkah, mengabaikan kendaraan yang terkadaang lalu-lalang di sampingnya. Jarak dari rumahnya ke Minimarket agak jauh, untuk jalan kaki butuh waktu sekitar tujuh menit untuk sampai. Dia agak lama juga di Minimarket, memilah makanan dan minuman yang ingin dibawanya. Sebelumnya juga dia pulang dengan berjalan santai sambil minum.
Amela mungkin mulai jengkel karena betapa lamanya dia keluar. Gue terkekeh, membayangkan wajah kesalnya yang menunggu di rumah, berharap makanan ringan yang dibawanya, cukup untuk menyenangkan wanita itu.
***
Sunyinya malam, harus dinodai dengan bisingnya suara beberapa kendaraan bermotor. Ada enam dari mereka dengan masing-masing membawa motor sport mewah.
Yang berada di ujung depan, sejenak menurunkan kecepatannya sebelum berhenti tepat di tengah jalan. Yang lain juga mengikuti, berhenti di tengah jalan.
Bukan hanya karena mereka tidak peduli pada pengendara lain, tapi jalan ini juga jarang dilalui kendaraan, jadi tak perlu untuk menepi, itulah yang ada di dalam otak penuh ego mereka, benar-benar sekumpulan sampah masyarakat.
"Lo kenapa Za?" Javiko bertanya saat temannya memutuskan untuk berhenti.
Reza membuka helmnya, menoleh dengan tatapan tajam.
Melihatnya, Javiko menurunkan pandangan dan menghela napas, temannya Reza tidak dalam suasana hati yang baik. Akhir-akhir ini, Reza lebih sensitif dari biasanya, dan tentu dia tahu alasannya, itu karena Rama.
Entah mengapa, Rama dan Jeni tampak lebih dekat dari sebelumnya. Javiko tahu bahwa Reza naksir dengan Jeni, tapi tidak berani menunjukkannya karena takut pada Rama.